Jakarta (ANTARA News) - Pada era Orde Baru, pers Indonesia yang seharusnya menjadi watchdog (anjing penjaga), malah menjadi watched-dog, anjing yang diawasi (oleh penguasa). Saat awal era Reformasi, pers yang diberi kebebasan, menjadi wild dog, bahkan mad dog. Pers yang langsung bebas tanpa mengalaman dan pelatihan memadai dalam menggunakan kebebasannya itu, lalu kerap melanggar etika pers, norma masyarakat, bahkan melanggar hukum.

Sekarang, pers sudah tidak seliar saat awal Reformasi. Kualitas jurnalistik membaik. Mudah-mudahan saja pers tak menjadi lapdog, anjing yang dipangku dan dielus-elus oleh pemiliknya. Siapa pemilik pers lapdog? Bisa pengusaha, partai politik, bahkan penguasa yang berkepentingan mempengaruhi opini publik. Oleh sebab itu, masyarakat harus menjalankan perannya mengawasi media, sesuai amanat UU Pers No 40/1999 Pasal 17.

Watch the dog! Apa yang mesti di-watch? Saat ini misalnya, tiba-tiba muncul berita Umar Pathek. Kita kuatir berita Umar Pathek akan mengacaukan konsentrasi wartawan. Berita Nazarudin menjadi kabur. Menutup-nutupi informasi atau mengaburkannya, adalah salah satu bentuk manipulasi informasi. Pers yang tendensius tak hanya memlintir atau melakukan framing, tetapi juga sengaja mengabaikan fakta tertentu.

Pemulangan Nazaruddin yang menelan biaya sedikitnya Rp4 miliar, misalnya, harus disorot. Itu hanya biaya sewa pesawatnya, belum SPJ para penjemput, dan biaya lain-lain. Itu semua menggunakan uang negara, jatah rakyat (bayangkan anak-anak yang tak bisa sekolah, guru tidak tetap yang bergaji Rp 300 ribu sebulan, buruh yang kehilangan pekerjaan).

Bukankah untuk urusan Nazarudin seharusnya digunakan uang Nazaruddin sendiri, terutama yang hasil korupsi? Konon di China, peluru yang digunakan menembak mati koruptor, dibebankan/ditagihkan kepada keluarga sang koruptor!

Media massa juga cenderung memperoleh beritanya dari narasumber mainstream, khususnya para yang berwenang: presiden, kapolri, ketua KPK, dll. Alhasil, informasinya normatif. Presiden berkata: "Kita terus mengupayakan pemulangan Nazaruddin". Polri: "Kami siap mengawal kepulangan Nazaruddin". KPK: "Kami akan melakukan proses hukum secara transparan".

Semuanya retorika yang normatif, klise, tak ada hal-hal baru. Padahal di kalangan rakyat, melalui milis, facebook, twitter, banyak sekali hal-hal yang dirindukan untuk diungkap. Media massa mestinya peka terhadap kehendak publik ini, dan menggali informasi dari kalangan grass-root, selain dari kalangan prominent.

Beberapa hal yang ingin diketahui publik (berdasarkan pantauan di berbagai milis jurnalisme, facebook dan twitter) adalah berapa biaya yang dihabiskan Nazaruddin dalam pelariannya? Dengan siapa saja dia lari? Siapa yang menolongnya lari? Apakah dia masih menerima gaji sebagai anggota DPR dari negara? Mengapa dia diperlakukan seperti penjahat biasa atau teroris di negeri orang? Bukankah dia adalah representasi bangsa Indonesia, mengingat statusnya sebagai anggota DPR? Mengapa kepolisian Columbia bertindak demikian? Apakah ada lampu hijau dari Jakarta?

Publik harus terus melakukan watch the dog. Bila pers senantiasa mengawasi orang-orang sebagai pengejawantahan atas fungsi kontrol sosialnya, publik harus juga mengawasi pers. Tak boleh ada entitas yang luput dari pengawasan pada  era demokrasi dan transparansi ini. Kata pengamat media Indonesia asal Australia David T. Hill: “Pers yang sering mengkritik pemerintah, harus siap pula dikritik.”

Kita mengalami pengabaian pers atas fakta-fakta berita. Sebelum heboh korupsi Wisma Atlet, Nazaruddin disebut-sebut dalam pemberitaan kasus percobaan perkosaan di Bandung. Berita itu dibantah oleh Nazarudin di depan pers. “Itu kan katanya, katanya, tak ada fakta hukumnya,” ujarnya saat itu.

Berita itu menjadi pudar, pelapor tenggelam bak ditelan bumi, karena pers tidak cukup konsisten untuk meneruskannya. Tak akan mengherankan kita bila media massa sekarang kembali mencari pelapor percobaan perkosaan itu dan mengangkat kasus itu ke permukaan.

Namun bagaimanapun, pers tetap harus menjunjung tinggi etikanya. Pers tak boleh melakukan trial by the press (pengadilan oleh pers), menjatuhkan vonisnya, melakukan presumption of guilt (praduga bersalah).

Semua yang dituduhkan kepada Nazaruddin sifatnya masih dugaan. Dugaan-dugaan yang kuat ini tetap harus dimintakan klarifikasi pada yang bersangkutan dan sumber-sumber otoritatif (berwenang), misalnya: Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua KPK, Ketua Dewan Pembina PD, pihak-pihak yang dianggap sebagai “korban pemerasan” atau “pemakain uang hasil korupsi”, bahkan pada orang-orang dekat yang diperkirakan mengenal sepak terjang Nazarudin.

Demikian pula sebaliknya, standar fairness and balance (keadilan dan keberimbangan) juga perlu dijaga untuk nama-nama yang dituduh oleh Nazaruddin. Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan nama-nama lain yang dituduh, mesti diberi porsi yang sama agar media dapat menyajikan informasinya secara komprehensif. Bila sumber-sumber dan fakta-fakta disajikan lengkap oleh pers, rakyat mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk membentuk opininya sendiri dan untuk memilih mana yang lebih dipercayainya.

Tanpa upaya fainess & balance ini, rakyat menjadi buta pengetahuan, atau berpengetahuan namun misled (salah arah), sehingga tidak capable dalam memutuskan pilihannya.

Apalagi yang mesti dipertimbangkan dalam semangat Watch the Dog ini? Setelah persoalan validitas narasumber (Kolom Antara 1 Agustus), fairness & balance, juga persoalan proporsi. Apakah berita topik tertentu sudah cukup proporsinya? Berita Nazaruddin belakangan ini begitu menyita space n duration di media massa, sehingga isu-isu lain terbengkalai.

Isu Umar Pathek menurut saya agak dipaksakan agenda settingnya oleh pihak kepolisian. Ini terkesan sekadar mengalihkan perhatian publik, namun kurang laku. Ini kurang laku karena isu terorisme sudah basi bagi rakyat Indonesia.

Ada beberapa isu lain yang mestinya tetap dijaga oleh pers: kasus Gayus Tambunan, Susno Duaji, Antasari Azhar, Bank Century. Jangan sampai isu-isu penting ini tenggelam karena heboh Nazarudin. Saya perlu mengucapkan salut pada redaksi RCTI yang tetap istiqomah (konsisten) memberi perhatian pada isu TKI-TKW di Arab saudi. Meskipun tampaknya isu ini basi, namun ini persoalan laten yang akan terus muncul sewaktu-waktu, karena belum ada solusi konkretnya. Persoalan TKI-TKW tidak selesai hanya dengan memberikan dana bantuan sekian milyar seperti yang dialami Darsem.

Saya kira, itulah tugas kita, publik konsumen media; yakni ikut mengawas pers. Bila pilar keempat agak loyo dalam mengawasi tiga pilar lainnya, kita bantu menegakkannya. Kita sampaikan kebutuhan-kebutuhan kita akan informasi. Pada era demokrasi dan transparansi ini, semua berhak dan berkewajiban saling mengawasi demi kondisi bangsa yang lebih baik. Bila pemerintahan diawasi oleh Government Watch dan Indonesian Corruption Watch, parlemen diawasi oleh Parliament Watch, kepolisian oleh Police Watch; mari kita tumbuhkan semangat Media Watch di lingkungan kita. Ingat bahwa power tends to corrupt, dan powerful media are potential to corrupt.
(***)

@sirikitsyah
www.indonesianmediawatch.wordpress.com