Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Monday, October 31, 2011

Konflik Libya, Cermin Perubahan Politik Global?

 Konflik Libya, Cermin Perubahan Politik Global?

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6228&type=4

Penulis : M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Catatan ini diilhami asumsi Mahdi Darius Nazemroaya, sosiolog dan peneliti pada Central for Research on Globalization (CRG) di Montreal, bahwa sebuah skenario kekacauan seperti di Afghanistan doeloe, kini tengah berlangsung di Benua Afrika. Ia menyebut sebagai kisah yang berulang.Ya. Manakala Amerika Serikat (AS) dan sekutu “menciptakan” Taliban, akhirnya justru dikobarkan perang global terhadap Taliban itu sendiri.


Itulah yang sering terjadi. AS dan sekutu asyik membuat berbagai skenario “musuh masa depan” --- sedang sebelumnya saling bekerja sama, kemudian “musuh ciptaan”-nya distigma sebagai penabur benih kekacauan di internal negara dan kawasan negeri sekitarnya untuk kemudian dijadikan lawan. Mungkin yang perlu dikaji secara tajam ialah motivasi kenapa ia berbuat demikian?

Sedang asumsi lain yang mendasari coretan ini berasal dari Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times. Ia mengatakan bahwa politik praktis itu bukanlah apa yang tersurat tetapi apa yang tersirat. Kemudian dicontohkan, ketika Bush Jr menyatakan terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), genosida, atau tidak demokratis terhadap suatu pemerintahan negara tertentu, maka sesungguhnya negara dimaksud (mungkin) tengah diincarnya sebab memiliki kandungan emas, minyak dan gas bumi.

Dalam politik praktis, isue-isue seperti HAM, korupsi, demokratisasi dan lain-lain hanyalah dalih. Pada konstelasi kekuasaan sebagaimana kini bergolak di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara), isue yang diusung sesungguhnya cuma kulit luar guna merasuk pada agenda lebih dalam yakni destabilisasi, pergantian rezim, dan berujung kolonialisme gaya baru. Retorikanya, apakah hal ini terjadi juga pada banyak negeri di dunia yang saat ini tengah bergolak akibat terpaan isue di atas?

Geostrategi dan geopolitik di Afrika menarik disimak bersama. Mulanya Prancis dianggap sebagai Polisi Regional di benua tersebut, namun masuknya pengaruh Cina menyebabkan hegemoni Prancis ---master ex penjajah di Afrika--- menurun. Inilah persoalan. Bagi AS dan sekutu, ancaman asimetris Cina yang berupa ekspansi ekonomi, politik, budaya dan lainnya telah mampu mengubah kebijakan serta mapping politiknya. Dan perubahan langkah politis negara-negara Barat terindikasi jelas, antara lain: (1) masuknya kembali Prancis ke struktur NATO tahun 2009 setelah 30-an tahun lebih (sejak 1966) melaksanakan “cuti” panjang; dan (2) methode kolonialisme kini tidak lagi mengkedepankan hard power (invasi militer) tetapi cenderung menggunakan smart power melalui gerakan rakyat via media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di internal negeri yang diincar, walau untuk beberapa target, misalnya di Libya terdapat sinergi (smart and hard power) keduanya.

Tak boleh dipungkiri, meskipun Perang Dingin dianggap usai 1992-an dengan runtuhnya Uni Sovyet selaku “mbah”-nya komunisme, agaknya benturan peradaban antara kapitalis versus komunis belum rampung dan terus berlangsung di beberapa negara dengan ragam kemasan. Akhirnya muncul asumsi bahwa konflik lokal adalah bagian konflik global. Dua pertanyaan timbul, apakah ancaman Cina mengakibatkan militer Prancis rela menjadi subordinasi dari Pentagon, ataukah Afrika cuma lapangan tempur (proxy war) bagi AS dan sekutu melawan hegemoni Cina? Ini memang sebuah premis (minor) prematur. Terlalu terburu-buru. Tetapi setidaknya bisa dijadikan catatan sementara, bahwa ancaman Cina mampu mengintegrasikan kembali kebijakan dan langkah politik AS dengan beberapa negara Uni Eropa yang dulunya saling bersaing.

Adalah National Endowment for Democracy (NED), sebuah LSM-nya Pentagon yang  didanai Kongres AS dengan “1000-an proyek” per tahun. Sebagai LSM negara superpower, sering dijuluki sebagai organ spesial ganti rezim. Dan sudah barang tentu ia “banyak kaki” yang nota bene adalah para LSM juga di  berbagai belahan dunia. Inilah yang akan didiskusikan dalam tulisan sederhana ini, dimana Afrika cq Libya sebagai salah satu contoh aktual.

Terkait menurunnya hegemoni Prancis, terlihat AS hendak mengambil-alih peran tersebut. Entah apa motivasinya. Namun bagi Nicolas Sarkozy, sang presiden pemrakarsa kembalinya Prancis dalam struktur NATO, keinginan AS untuk take over Afrika sepertinya tak menjadi masalah. Artinya kebijakan Sarkozy pun ternyata selaras dengan semangat itu, oleh karena melalui LSM Federasi Internasioal untuk HAM (FIDH) asal Prancis justru bermitra dengan NED, termasuk merangkul LSM internal yakni Liga Libya HAM (LLHR) dan lainnya. Gayung bersambut. Lalu NED pun menghibahkan dana pertama sebesar $ 140.186 US untuk “proyek” di Afrika. Intinya adalah: menuntut adanya intervensi internasional dan menghadirkan pasukan asing di Libya!

Untuk proyek ganti rezim di Libya, sejatinya NED telah melangkah jauh sebelum bermitra dengan FIDH-nya Prancis. Misalnya menjadikan LSM Front Nasional Keselamatan Libya bahkan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai kakinya, termasuk beberapa warga Libya yang menjadi anggota NED seperti Ashur Shamis, tercatat sebagai salah satu direktur di NED pada Forum Pembangunan Manusia dan Politik di Libya bersama-sama Aly Ramadhan Abuzakuk; kemudian Norman Benotman mantan pendiri dan pemimpin Kelompok Pejuang Islam Libya (LIFG) yang terkait dengan jaringan televisi Al Jazeera. Ketiganya merupakan burunon Interpol dalam kasus narkoba, kejahatan pemalsuan bahkan terorisme namun selama ini aman-aman saja tinggal di Inggris. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa agenda NED di Libya juga difasilitasi oleh MI-6 dan CIA, badan Intelijen Inggris dan AS.

Selanjutnya ialah Beta Wozniak, warga Libya yang senantiasa hadir selaku dewan di semua LSM dan organisasi kaki NED, misalnya di webb Akbar bersama Aly dan Ashur, kemudian di Transparacy Libya Limited serta beberapa perusahaan Inggris.

Peristiwa penting yang layak dicermati adalah konferensi tahun 1994 di London yang akhirnya melahirkan Dewan Peralihan di Libya hingga saat ini. Ya. Konferensi London diselenggarakan oleh Pusat Studi Internasional dan Strategis (CSIS) bersama dengan Ashur Shamis dan Aly Abuzakuk dengan judul: “Libya-Pasca Gaddafi: Prospek dan Janji”. Inti pertemuan ialah membangun rencana perubahan rezim di Libya.

Bahwa sepanjang 20 tahun terakhir, setiap pemberontakan yang di dukung CIA guna menggulingkan Gaddafi tidak pernah berhasil. Seperti upaya National Front for the Salvation of Libya (NFSL) dekade 1984-an hendak menggulingkan Gaddafi dalam kudeta bersenjata pun mengalami kegagalan. Tercatat tahun 2005 Ibrahim Sahad mendirikan National Conference of Libyan Opposition (NCLO) di London. Dan awal 2011-an, berdasarkan konferensi tersebut, maka panggilan atau slogan gerakan-gerakan massa di Libya adalah “Hari Kemarahan”. Ya. Konflik Libya menjadi bukti riil bahwa antara smart dan hard power bergerak secara simultan dengan intensitas berbeda tergantung perkembangan situasi di lapangan.

Merujuk judul di atas, bahwa perubahan peta politik global memang ada dan nyata, terutama di Afrika yang tengah mengalami pergeseran, dari sebelumnya di bawah komando Prancis kini berubah dalam kendali AS meski tidak secara langsung; sedang perubahan methode politik cenderung menggunakan smart power via gerakan massa menggunakan LSM setempat (internal) berkolaborasi dengan NED mengusung isue HAM, korupsi, transparansi, demokratisasi dan lainnya. Langkah dan kiat gerakan menggunakan media massa untuk membentuk opini supaya (rakyat) publik tidak percaya kepada pemerintahan syah; lalu diciptakan lambang-lambang tertentu dan sebaris slogan pemersatu serta penyemangat gerakan!

Disadari oleh penulis bahwa sajian ini memang belum komprehensif. Kurangnya referensi, waktu dan keterbatasan kemampuan penulis menjadi kendala utama, sehingga banyak faktor penting lain tidak terbahas. Apaboleh buat, tulisan ini hanya mengupas pada kajian perubahan peta politik global yang kini tengah berlangsung. Dan sebelum mengakhiri catatan ini, retorika menarik yang menyeruak ialah: adakah gelombang NED bersama para kakinya kini juga menerpa banyak negara dan beberapa kawasan di dunia dengan isue sama dan langkah-langkah yang sama pula?

Silahkan saudara-saudara mencermatinya.

Sunday, October 16, 2011

Focal-Points (Titik Distribusi)

Hub Port (Focal-Points)

    Dalam era globalisasi ekonomi, pelabuhan berkembang dari penghubung tradisional antara darat dan laut menjadi penyedia jaringan logistik yang lengkap. Dimana pada studi logistik modern saat ini Hub Port (pelabuhan pengumpul) sering disebut sebagai the new Chokepoint karena merupakan titik terpadat lalu lintas barang dan mempunyai koneksitas yang tinggi baik itu lokal, regional bahkan global. Pelabuhan pengumpul (Hub Ports) yang dibangun sebagai terminal distribusi maritim bertindak sebagai pusat distribusi yang menghubungkan ke transportasi daratan dan udara, dan memainkan peranan sentral dalam sistem dukungan logistik (logistic support systems) yang menyangga ekonomi global. Berikut adalah 4 (empat) hub ports yang dinilai sebagai focal points di Asia Pasifik : [1]
1. Singapura
2. Hong Kong
3. Kaohsing
4. Pusan
Perkembangan globalisasi perdagangan maritim telah melahirkan tuntutan distribusi yang lebih cepat dan volume produksi yang lebih besar, sehingga sistem logistik modern yang kita kenal sebagai “one stop services” atau “total package services” yang mendukung just-in-time production, just-in-time shipping schedules dan just-in-time delivery yang sangat mengandalkan kecepatan, ketepatan dan efisiensi waktu pengapalan akan sangat membutuhkan Hub Port atau pelabuhan raksasa yang bisa memproses puluhan ribu perputaran supply & demand dalam perdagangan ekonomi global. [2]
Selain itu, jaringan layanan feeder yang menghubungkan hub port dengan pelabuhan regional dan sistem transportasi darat dan udara, secara bertahap mengambil bentuk dalam proses hub and spoke network. Sehingga perkapalan harus dilihat tidak hanya sebagai sistem untuk transportasi laut, tetapi sebagai sub sistem-esensial dari Total Logistic Support System yang menjadi penyangga ekonomi global.


[1] Kazumine Akimoto, Structural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes,Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001
[2] R. Tumbelaka, Mengantisipasi kemungkinan Terorisme Maritim sebaga Kuda Troya Intervensi Asing di Selat Malaka, Jurnal Intelijen CSICI no. 36, 2011

Choke-Points (Titik Sumbat)

Choke-Points

Chokepoints adalah konsep umum dalam geografi transportasi, karena merujuk pada lokasi yang membatasi kapasitas sirkulasi dan tidak dapat dengan mudah dilewati, karena sangat mudah untuk diblokir. Ini berarti bahwa setiap alternatif dari chokepoint melibatkan sebuah rute memutar atau penggunaan alternatif yang berimplikasi pada biaya keuangan dan penundaan waktu yang signifikan.[1]
Chokepoint bisa berupa selat atau alur pelayaran yang sempit dan padat sebagai akibat terpusatnya lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari berbagai jalur perdagangan dunia yang biasanya berlokasi dekat dengan Hub-Port atau paling tidak berada di lintasan alur pelayaran kapal-kapal dari dan ke suatu Hub-Port. Terdapat 5 (lima) chokepoints di kawasan Asia Pasifik : [2]
1. Selat Malaka
2. Selat Sunda
3. Selat Lombok dan Makassar
4. Laut Cina Selatan
5. Laut Cina Timur

Chokepoints nomor 2 dan 3 harus disebut sebagai ALKI (alur laut kepulauan Indonesia). Untuk nomor 4, Laut Cina Selatan, mengacu pada area yang dikelilingi oleh pantai timur Vietnam, Kepulauan Spratly, Selat Bashi / Luzon dan pulau Hainan. Sedangkan nomor 5, Laut Cina Timur, adalah wilayah laut berbatasan dengan Taiwan, Diaoyu / Kepulauan Senkaku, Kyushu, Selat Tsushima, Cheju Island, dan pantai Timur Cina selatan Shanghai. Berbagai faktor kepentingan strategis dan ketidakstabilan kelima area ini sebagai titik konvergensi, maka semua diklasifikasikan secara kolektif sebagai "chokepoints."


[1] Jean-Paul Rodrigue, Straits, Passages and Chokepoints A Maritime Geostrategy of Petroleum Distribution, Cahiers de Géographie du Québec,Volume 48, no 135, Desember 2004, Pages 357-374
[2] Kazumine AkimotoStructural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes,Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001

GLOBALIZED MARITIME'S WORLD TRADE

GLOBALISASI PERDAGANGAN MARITIM

Pelayaran dunia secara umum dibagi menjadi dua kategori yaitu Bulk Carrier dan Container Shipping. Bulk carrier adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut minyak mentah, bijih besi dan kargo curah lainnya dalam volume besar. Muatannya secara umum ada dua kategori yaitu "kargo kering" dan "kargo cair." Kargo kering mencakup bijih besi, batubara, biji-bijian dan lainnya, kargo curah kecil seperti baja dan kayu. Kargo cair adalah minyak mentah. Sementara itu yang dimaksud dengan Container Shipping adalah Kapal kontainer yang memuat perangkat industri dan produk jadi.
Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah keseimbangan kekuatan laut dunia sebelumnya, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Selain itu, globalisasi aktivitas ekonomi telah menghilangkan perbatasan antar negara dalam industri perkapalan, dan struktur hukum pada eksploitasi maritim berubah sebagai hasil dari Konvensi PBB tentang Hukum laut. Sehingga terjadilah pergeseran paradigma dalam dunia maritim dan meninggalkan dampak yang kuat pada jalur laut (sea lines).
Seperti laba-laba memintal jaring (web) di udara bebas, Sea Lines of Communication (SLOC) membentuk "web" itu. Ketika terintegrasi dengan berbagai sistem distribusi, beberapa SLOC akan membentuk kompleks organik yang menyangga logistic support system yang sangat penting bagi perekonomian dunia. Sebuah jaring (web) dari banyak sea lane di seluruh lautan dunia akan membentuk jalan-jalan raya maritim di samudera-samudera dunia. Consolidated Ocean Web of Communication (COWOC) mungkin istilah ini lebih tepat untuk menggambarkan dunia baru ini. [1]
Sebagai pusat gravitasi perekonomian global, Kawasan Timur Asia (termasuk Asia Tenggara) memiliki jumlah penduduk sekitar 50 persen dari penduduk dunia. Cina memiliki sekitar 1,3 miliar penduduk, sementara India menyumbang sekitar 1,2 miliar orang, dan ASEAN dihuni oleh sekitar 600 juta jiwa. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik.
Sea Lines of Communication (SLOC) seperti batang dari tanaman teratai: Di lautan terbuka, di luar pelabuhan keberangkatan, jalur ini secara bertahap berpencar menjadi lebih luas, kemudian berkumpul di kemacetan bottleneck ketika melalui chokepoint. Setelah melewati kemacetan, mereka berpencar sekali lagi, sebelum akhirnya fokus dalam pada pelabuhan lain untuk mengumpulkan kargo. Titik-titik konvergensi ini dan hambatan lain digambarkan sebagai "choke-points", sementara hub port, yang digunakan sebagai pusat distribusi, disebut "focal-points." [2]


[1] Kazumine Akimoto, Structural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes, Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001
[2] Kazumine Akimoto, ibid

KONDISI GEOSTRATEGIK SELAT MALAKA

Fakta pergulatan kekuatan dan situasi keamanan di kawasan Samudera Hindia yang berdinamika tinggi, terus memuntahkan tantangan segar bagi keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka. Selat Malaka secara geopolitik sangat vital sebagai jalur laut terpendek antara Samudera India dan Laut China Selatan atau Samudera Pasifik, yang memiliki nilai strategis tidak hanya bagi negara pantai (littoral states) tetapi juga bagi negara pengguna (user states). Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kepentingan banyak negara di Selat Malaka, yaitu (1) peperangan dan proyeksi kekuatan militer melintasi dunia, (2) kepentingan komersial dan perdagangan maritim, (3) Eksploitasi ekonomi sumber daya laut. Negara-negara besar yang menjadi aktor ekstra-regional dan pengguna selat memiliki kepentingan besar pada dua faktor pertama. Sedangkan negara-negara pantai Selat Malaka lebih punya kepentingan pada faktor yang ketiga. [1]
Relevansi posisi Selat Malaka ini jika dihadapkan dengan perkembangan lingkungan strategis global, regional maupun nasional akan menciptakan korelasi bersifat kausalitas antara situasi yang cenderung saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sangat logis jika eksistensi Selat Malaka turut menjadi faktor pertimbangan geo-strategi, geo-politik maupun geo-ekonomi bagi kepentingan seluruh negara di dunia.
Letak dan posisi Selat Malaka di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya yang membujur dari utara ke selatan hingga Kepulauan Riau dan membelok ke Timur.  Selat Malaka panjangnya kurang lebih dari 900 mil laut, dengan lebar rata-rata 8,3 mil laut dimana tempat tersempit terletak di Pulau Karimun Kecil (Indonesia) dan Pulau Kutub (Malaysia) yang lebarnya hanya 8,4 mil laut. Sedangkan tempat tersempit di Selat Singapura berada antara Pulau Senang (Singapura) dan Pulau Takong Besar (Indonesia) selebar 3,2 mil laut serta antara Pulau St. John dan Pulau Anak Sambo selebar 3,4 mil laut. [2]
Curah hujan yang tinggi, adanya pasang surut dan terdapatnya angin musim (Monsoon) semakin menambah kompleksitas Selat Malaka. Selain kondisinya yang sempit, kedalaman laut dan pasang surutnya juga tidak beraturan, mulai lebih dari 73 meter hingga kurang dari 25 meter. Sehingga kondisi pasang surut berkisar dari 3,7 meter di sekitar perairan One Fathom Bank dan 1,6 meter di perairan sekitar mercusuar Horsburgh. Kondisi demikian diperlukan kehati-hatian ketika melintasi perairan sekitar lokasi tersebut. Selain itu terdapat pula kedalaman laut yang sangat dangkal dengan kedalaman 4,9 meter, yaitu di sekitar perairan Raleigh Shoal yang terletak antara Indonesia dan Malaysia atau di sekitar kepulauan Aruah. Secara garis besar, kondisi perairan Selat Malaka di wilayah perairan Indonesia relatif lebih dangkal daripada di wilayah perairan Malaysia, padahal sebagian besar alur pelayaran internasional berada di wilayah perairan Indonesia. [3]
Gambar 3.8 Peta Detail Selat Malaka [4]

Jika kondisi geografis Selat Malaka dikontekstualisasikan dengan kondisi geostrategik Indonesia, dimana secara geostrategis Indonesia punya posisi yang sangat strategis, antara lain :
1)          Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari Eurasian Blue Belt.
2)         Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global Logistic Support System dan khususnya terkait dengan SLOCS (Sea Lanes Of Communications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web Of Communication).
3)   Wilayah lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu India, Southeast dan South Pacific bertemu didalamnya
4)    Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo. [6]



Maka selanjutnya pembahasan mengenai tantangan Selat Malaka di abad 21 ini akan dibagi menjadi tiga kelompok isu besar, yaitu : (1) Isu Keamanan (Security) di Selat Malaka, (2) Isu Keselamatan Pelayaran dan Lingkungan (Navigational Safety and Environment), (3) Isu Logistik Perdagangan Maritim di Selat Malaka. [7]
1)   Domain pertama yaitu ranah ancaman keamanan (security), untuk menangkal ancaman pembajakan, penegakan hukum dan menjaga kedaulatan Indonesia.
2) Domain kedua adalah ranah keselamatan pelayaran dan lingkungan (Navigational Safety and Environment), untuk meminimalisir bahaya pelayaran akibat kondisi fisik selat yang rawan.
3)     Sedangkan domain terakhir adalah ranah logistik perdagangan maritim  dalam rangka mengembangkan peluang dan potensi Selat Malaka sebagai jalur perdagangan dunia (SLOT) demi ketahanan ekonomi Indonesia.


[1] Joyce Dela Pena, Maritime Crime in the Strait of Malacca: Balancing Regional and Extra-Regional
Concerns, Stanford Journal of International Relations, Spring 2009.
[2] Daniel P. Fin dan Y. Hanayana, Oil Pollution from Tankers in the Strait Malacca, East – West Centre, 1979. Halaman 20
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut , Kumpulan Karangan...
[4] Sumber gambar : file presentasi Dirgo D. Purbo, analis geopolitik energi PASKAL dan dosen tamu PKN UI
[5] Barret Bingley, Security Interest of the Influencing States : The Complexity of Malacca Straits, The Indonesian Quarterly Vol.32 no.4. halaman 354-359
[6] http://indomaritimeinstitute.org, Alur Laut Kepulauan Indonesia: Peluang dan Ancaman bagi NKRI
[7] Analisis ini disarikan dari wawancara narasumber Dirgo D. Purbo dan Djumantoro Purbo

Saturday, October 8, 2011

AROMA KUAT IMPERIALISME DALAM COMPREHENSIVE PARTNERSHIP AS-INDONESIA (TINJAUAN KRITIS BIDANG PENDIDIKAN)

 AROMA KUAT IMPERIALISME 
DALAM COMPREHENSIVE PARTNERSHIP AS-INDONESIA 
(TINJAUAN KRITIS BIDANG PENDIDIKAN) 
Oleh : Zidniy Sa’adah, ST., M.Si

I. MEMBACA KEPENTINGAN AS TERHADAP INDONESIA
   Kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) antara AS dan Indonesia yang digagas sejak 2009 masih terus bergulir sampai sekarang, meski gaungnya di media tidak terlalu nyaring. Bagi kalangan intelektual, hal ini harus dicermati dengan baik karena setiap hubungan antar negara pasti berhubungan dengan politik luar negeri negara tersebut dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara tersebut. Apalagi kita tahu bahwa Amerika Serikat adalah negara adidaya yang berbasis ideologi Kapitalisme.
   Tidak sulit dibantah bahwa sebagian besar materi kerjasama komprehensif kedua negara sesungguhnya mengacu pada kepentingan nasional Amerika Serikat. Kalau kurang yakin, silakan periksa Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 yang resmi diluncurkan oleh pemerintahan Obama pada bulan Mei 2010 lalu. Dokumen itu menyebutkan bahwa beban dunia tidak lagi bisa dipikul oleh Amerika Serikat sendirian, apalagi Amerika Serikat juga sedang mengalami keterpurukan ekonomi, maka sangat diperlukan adanya kerjasama dunia terutama dengan negara-negara kuat dan berpengaruh.

“The starting point for that collective action will be our engagement with other countries. The cornerstone of this engagement is the relationship between the United States and our close friends and allies in Europe, Asia, the Americas, and the Middle East—ties which are rooted in shared interests and shared values, and which serve our mutual security and the broader security and prosperity of the world. We are working to build deeper and more effective partnerships with other key centers of influence—includ¬ing China, India, and Russia, as well as increasingly influential nations such as Brazil, South Africa, and Indonesia—so that we can cooperate on issues of bilateral and global concern, with the recognition that power, in an interconnected world, is no longer a zero sum game.”


   Amerika Serikat dengan jelas menyebutkan bahwa kerjasama antar negara harus berakar pada nilai-nilai yang sama (shared values) dan juga kepentingan yang sama (shared interests). Amerika Serikat jelas punya kepentingan besar untuk menyebarkan nilai-nilai yang mereka yakini ke seluruh dunia yakni Demokrasi dan HAM, yang dinilai sebagai aset terbaik Amerika, karena nilai-nilai itu bukan saja menguatkan negaranya, namun juga membuat Amerika tetap aman.


“We uphold our most cherished values not only because doing so is right, but because it strengthens our country and keeps us safe. Time and again, our values have been our best national security asset—in war and peace, in times of ease, and in eras of upheaval. Fidelity to our values is the reason why the United States of America grew from a small string of colonies under the writ of an empire to the strongest nation in the world.” (President Barack Obama, National Archives, May 21, 2009)


   Karena itulah dalam konteks Indonesia, AS sangat berhasrat menjalin hubungan yang “komprehensif”, hubungan yang satu paket dari tataran nilai hingga tataran praktis. Menurut AS, Indonesia adalah mitra penting di kawasan bagi isu kawasan dan lintas negara, seperti perubahan iklim, counterterrorism, keamanan maritim, pemeliharaan perdamaian dan disaster relief.


“Indonesia—as the world’s fourth most populous country, a member of the G-20, and a democracy—will become an increasingly important partner on regional and transnational issues such as climate change, counterterrorism, maritime security, peacekeeping, and disaster relief. With tolerance, resilience, and multiculturalism as core values, and a flourishing civil society, Indonesia is uniquely positioned to help address challenges facing the developing world”


   Apalagi secara geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka yang merupakan chokepoint (titik sumbat) dunia. Sedangkan secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara-negara imperialis untuk menguasainya, langsung ataupun tidak langsung. Disamping itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 243 juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara-negara industri.
   Perhatian AS di kawasan Asia Tenggara sebenarnya bukan hanya kepada Indonesia, melainkan lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan Cina di berbagai bidang, karena AS memprediksikan Cina dapat menjadi negara yang paling berpengaruh setelah AS dalam 20 tahun kedepan. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia, dan negara-negara di Asia Tenggara, telah melakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China pada 2010.
   AS saat ini tengah kewalahan akibat banjirnya produk China di pasar Asia. Wajar saja karena perdagangan bebas yang dilakukan China dengan ASEAN bisa menggerus keuntungan perdagangan Amerika hingga 25 miliar dolar setiap tahun. Tidak hanya kerugian perdagangan, Amerika pun takut tingkat pengangguran di negaranya meningkat seiring hilangnya pasar produk Amerika di kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, AS berusaha lebih keras untuk menggarap pasar Asia. Pangsa pasar yang sangat besar di kawasan Asia Tenggara (Asia Pasifik) dapat menjadi bumper bagi masalah akut perekonomiannya. Dalam kontes inilah, Indonesia dilihat AS sebagai negara yang memiliki posisi penting bagi kepentingan nasionalnya.
   Jadi sangat jelas bahwa apa yang tercantum dalam dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 sangat mewarnai agenda kemitraan komprehensif Indonesia-Amerika Serikat di semua bidang.


II. PENDIDIKAN TINGGI : FONDASI PENJAJAHAN KOMPREHENSIF
   Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan selain menjadi epistemic community yang menyangga peradaban mereka secara fundamental; pendidikan tinggi juga merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain.
   Lihatlah sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth. Sehingga wajar, lembaga perdagangan dunia yakni WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier .
   Bisa disimpulkan pendidikan tinggi mampu memainkan peranan utama dalam banyak konteks. Mulai dari ekonomi, pembangunan, stabilitas sosial, politik sampai bagaimana mengelola globalisasi. Karena strategisnya peran perguruan tinggi inilah Amerika Serikat melakukan langkah-langkah strategis taktis, dengan melibatkan para pemimpin perguruan tinggi mereka di garis start untuk masuk ke Indonesia. Dengan begitu kerjasama yang akan terjadi diharapkan mampu terbentuk secara “komprehensif”.
   Sebagai langkah awal adalah kunjungan pimpinan beberapa universitas di AS ke Indonesia untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Departemen Pendidikan Nasional, dan melakukan site visit ke beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia yang berpotensi dan memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan universitas-universitas di AS. Kunjungan ini diharapkan dapat mendefinisikan bidang-bidang kerjasama secara lebih spesifik serta mengatur strategi dan langkah-langkah yang diperlukan. Kunjungan berlangsung dari tanggal 26 Juli hingga 1 Agustus 2009, dan delegasi yang melakukan kunjungan ke Indonesia ini berjumlah 31 orang, terdiri dari 26 orang pimpinan dari 25 universitas, Deputy Assistant Secretary of States, DoS, Presiden USINDO, Presiden dan Direktur East West Center. Hasil kunjungan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Presiden Obama tentang kerjasama RI-AS di bidang pendidikan sebelum melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada tahun ini.


III. STRUKTUR IMPERIALISME YANG PARALEL
   Praktek imperialisme merupakan praktek yang sesungguhnya belum hilang dari muka bumi. Masih banyak fakta yang menunjukkan bahwa praktek tersebut masih ada dan cenderung menguat. Hanya saja, praktek imperialisme pada masa kini lebih menyentuh pada sisi “dalam” sebuah negara, kebudayaan, atau peradaban. Salah satu praktek imperialisme yang sangat relevan dengan dunia intelektual disebut sebagai imperialisme akademis (academic imperialism) atau intelektual. Istilah ini dikeluarkan oleh Syed Hussein Alatas. Baginya, struktur imperialisme politik dan ekonomi menyebabkan berdirinya strukur yang parallel dalam cara berpikir golongan yang ditindas. Menurut alatas, terdapat enam ciri imperialisme politik dan ekonomi yang juga dapat digunakan untuk mencirikan imperialisme intelektual.



   Hubungan paralel seperti ini sangat jarang bisa dipahami oleh kalangan intelektual saat ini, karena kebanyakan intelektual atau akademisi di negeri ini hanya menganggap peran mereka sebatas ikatan profesi semata tanpa basis ideologi. Kiprah mereka akhirnya sebatas mengejar target profesionalisme tanpa arah sistem yang jelas. Bahkan kemitraan komprehensif dengan AS ini justru sangat menyilaukan bagi kebanyakan kalangan intelektual di negeri ini.
   Kondisi ini sungguh ironis, karena justru profesionalisme tanpa ideologi inilah yang bisa dengan mudah ditunggangi oleh kepentingan ideologi lain yang merusak. Akhirnya sebagian besar kiprah kaum intelektual muslimah Indonesia terarahkan hanya untuk melaksanakan program dan proyek asing yang notabene kontraproduktif bahkan destruktif bagi bangsanya sendiri.
   Padahal keenam ciri berikut ini demikian logis dan masuk akal, pada prakteknya sudah banyak akademisi-akademisi negeri ini yang menjadi korban.
1. Eksploitasi. Seperti halnya eksploitasi ekonomi, dimana bahan mentah diserap dari daerah jajahan, diproses di Barat dan kemudian dijual kembali sebagai barang siap pakai dengan harga yang sangat tinggi kepada negara jajahan, eksploitasi intelektual juga terjadi. Banyak ilmuwan dari Barat datang ke negara berkembang guna mengumpulkan data. Sekembalnya mereka ke Barat, data ini diproses sehingga menghasilkan pemikiran yang kemudian dijual dan disuguhkan kembali kepada negara-negara berkembang. Terkadang ilmuwan-ilmuwan Barat tidak menuliskan sumber-sumbernya.
2. Pengajaran. Dahulu, pada saat ingin mempekerjakan bangsa yang dijajah, kaum penjajah memberikan mereka pendidikan. Bagitu juga dalam konteks akademis, mentalitas yang mengatakan jka ingin meraih pendidikan bagus, pergilah ke universitas di Amerika, juga masih sangat nyata. Contoh lain adalah dahulu bangsa Eropa beranggapan bahwa jika mereka memberikan kemerdekaan pada bangsa jajahan, maka mereka tidak akan mengerti cara menjalankan negara. Oleh karena itu mereka harus diajarkan caranya oleh bangsa Eropa melalui proses kolonialisasi.
3. Konformitas. Konformitas adalah normalitas atau hal-hal yang sudah semestinya. Dahulu untuk dapat diterima, kaum terjajah harus berpakaian, makan, dan berbicara seperti orang Eropa. Hari ini, dalam bidang teori dan metodologi, para sarjana muslim diminta untuk menggunakan metode analisa yang sesuai dengan keinginan mereka di Barat. Sehingga jika kita menggunakan metode yang berbeda, pemikiran kita akan sulit untuk diterima.
4. Peranan sekunder yang diberikan pada bangsa terjajah. Dahulu bangsa Eropa mendudukui posisi penting , baik dalam pemerintahan, perkebunan, maupun instansi-instansi lain. Golongan pribumi hanya diberikan pekerjaan pembantu, buruh kasar dan petani. Sekarang para ilmuwan muslim dan ilmuwan dari negara berkembang hanya melakukan penelitian yang teraplikasi, bukan pemikiran kreatif. Bagi para ilmuwan di Barat, ilmuwan dari negara berkembang tidak perlu ikut serta dalam pemikiran kreatif karena hal tersebut sangat mahal. Untuk itu, lebih baik mereka memfokuskan diri pada penelitian yang dapat diaplikasikan.
5. Rasionalisasi misi peradaban. Dahulu, kaum kolonial mencoba merasionalisasi penjajahan dengan mengutarakan maksud untuk memajukan dan memperkenallkan peradaban kepada mereka yang tidak beradab. Saat ini, di negara berkembang terdapat perdebatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan yang telah ditentukan. Dari sinilah bangsa eropa memonopoli dan mendominasi ilmu pengetahuan.
6. Kecakapan inferior. Dahulu bangsa Eropa datang ke daerah jajahan adalah mereka yang mempunyai kecapakan inferior dbanding mereka yang tinggal di Eropa. Hanya orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di Eropalah yang datang ke daerah jajahan untuk bekerja. Saat ini, begitu banyak ilmuwan asing yang bekerja di negara berkembang. Namun dapat kita lihat bahwa sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan di negara asal mereka. Namun bagi kita yang tinggal di negara berkembang, keberadaan mereka adalah suatu berkah.

IV. SIKAP INTELEKTUAL MUSLIM
   Intelektual muslim adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Islam meletakkan para intelektual dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi umat. Umat membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan menanamkannya ke tengah-tengah umat. Umat membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Allah menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab.


“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab.” (QS: Al Baqoroh :269)


   Maka tentu terhadap kerjasama kemitraan komprehensif dengan AS ini, intelektual Muslim punya sikap yang jelas dan lugas. Bahwa intelektual Muslim harus menolak segala bentuk penindasan terhadap umat dan setiap kerjasama yang menodai harga diri umat dan negaranya.


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.(QS. Ali Imran [3]: 118)


   Menjalin kemitraan dengan AS tidaklah akan menjadikan umat Islam mulia, maju dan berwibawa. Resep-resep ramuan kapitalisme seperti demokratisasi, HAM, liberalism, dialog peradaban, kerjasama militer dan lain sebagainya yang ditawarkan AS hanya akan menjadikan penyakit yang telah menjangkiti negeri ini yakni berbagai goncangan politik dan ekonomi serta moral semakin parah dan akut sebagaimana negeri Islam lainnya yang berujung keporakporandaan dan kebinasaan.
   AS dan Kapitalisme bukanlah sumber kemuliaan dan kemajuan. Karena kemuliaan hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Siapa saja yang mengharapkan kemuliaan pada AS dan ideologinya, jelas keliru. Allah berfirman:


“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. Fathir[35]:10)


Wallahu A’lam bishshowab

Sumber :
1.Dokumen U.S National Security Strategy, Mei 2010
2.James E. Mauch, The Emerging Market and Higher Education, Routledge Falmer,New York and London, 2000
3. Tabloid Diplomasi, Kunjungan Pimpinan Universitas AS dalam Kerangka Comprehensive Partnership, Edisi Agustus 2009 
4. Syed Hussein Alatas, Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems, Southeast Asian Journal of Social Science, 2000