Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Thursday, December 29, 2011

Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (Refleksi Geopolitik Papua)



Penulis : M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya, target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011), adanya informasi Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Departemen Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.

Ia memberi analogi kasus Libya yang mirip lepasnya Timor Timur doeloe. Ya, melalui dalih hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, lalu Australia, AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekan Pemerintah Habibie, padahal minyak di celah Timor merupakan tujuan dan kini tengah digarap Australia. Begitu pula Libya, kembali alasan HAM dan demokratisasi mengemuka, kemudian AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyerang Pemerintah Gaddafi, sedang ujungnya ingin menguasai minyak Libya (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com, dan Perampokan ala NATO by Dina Y. Sulaeman). Agaknya sinyalemen KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semakin mempertebal pernyataan Connie tadi, “bahwa NKRI di ujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (RIMANEWS, 5/12/2011).

Adalah keprihatinan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, perihal hiruk-pikuk Papua seperti menyentak kita bersama:

.. tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. AS sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad ..”.

Hendrajit meneruskan:

..mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi AS, anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan orde baru, mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. AS mengantisipasi bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasinya di Papua, maka nasionalisasi atas perusahaan dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu ..

Penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia ini menekankan lebih lanjut:

.. kekerasan di Papua, bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan diluar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka. Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti ketika berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto. Mereka adalah satu. Tapi Pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merakuke (tambahan penulis:”dari Miangas hingga Rote”) ..

Pernyataan ketiga person di atas, mungkin mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekedar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isue HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isue-isue aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.

No free lunch. Tak ada makan siang gratis di Barat. Niscaya ada agenda tersembunyi hendak dicapai. Tengok saja. Tatkala ada gelontoran dana asing baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, apalagi jika gelontoran itu tak terbatas --- maka sudah boleh dipastikan operasi intelijen asing tengah bermain di republik tercinta ini (baca: Indonesia Diserbu! www.theglobal-review.com). Pertanyaanya ialah, adakah hal ini disadari oleh para individu, ormas dan LSM setempat bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi (kaum komprador) bagian dari skenario penghancuran negeri dan bangsanya sendiri, dari sisi internal?

Dari kajian eksternal, kegagalan invasi militer AS dan sekutu pada tiga wilayah terakhir seperti Afghanistan, Iraq dan Libya dipastikan semakin menghancurkan pundi-pundinya di tengah krisis ekonomi dan finansial. Hugo Chaves mengisyaratkan ada seri-seri baru perang kolonial sedang dimainkan guna memulihkan sistem kapitalis global, dan itu telah dimulai dari Libya dengan “modus utang dibayar dengan bom”. Namun betapa para loyalis Gaddafi melawan secara super dahsyat atas “keroyokan” negara-negara Barat, bahkan mampu membuat NATO pontang-panting.

Akhirnya berbagai deception atau pengalihan perhatian dijalankan sebagai alasan untuk meninggalkan perang di Libya. Agar tak malu dibuatlah pengalihan perhatian via video kematian Gaddafi, ataupun skenario palsu Saif al Islam, putra Gaddafi tertangkap dan lainnya. Ya, ada edit dan counter berita, itu memang bagian dari methode invasi militernya. Bukankah hampir semua media mainstream dikuasai Barat? Dan meski kini ekonomi negaranya semakin “dedel duel” bahkan merambah pada bidang-bidang lain, namun hasil yang diperoleh oleh AS dan NATO hanya sebatas menjarah harta-harta Libya di luar negeri berkedok pembekuan aset.

Sudah barang tentu, rencana serangan ke Iran sesuai statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO doeloe perihal peta (roadmap) penaklukan dunia oleh Pentagon yang telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan ---kemungkinan TERTUNDA--- bila tak boleh menyebut gagal. Oleh sebab Syria sebagai sasaran invasi setelah Libya, tak disangka melawan total. Menentang habis-habisan. Tak bisa dipungkiri, keberanian Bashar al Assad melawan tekanan Liga Arab dan Barat, selain menyadari adanya “kebangkitan Islam” dimana-mana, mutlak karena ada dukungan Cina dan Rusia, terkait berbagai kepentingan kedua adidaya di Syria. Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus punya modal dan andalan), kata ujaran kuno Jawa.

Ya. Gagal menekan Syria, NATO kembali “mengobok-obok” Libya namun disambut dengan perlawanan super dahsyat oleh loyalis Gaddafi, yang kini bernama Tentara Pembebasan Libya. Dan wilayah-wilayah Libya pun kembali riuh oleh tembakan senjata serta ledakan-ledakan bom. Tripoli, Benghazi, Misrata, Bregah, Gharyan, Baidah, Sirte, Zawya dan wilayah lainnya terus membara oleh peperangan. Apaboleh buat, kendati kemarin ia telah  menyatakan misinya usai, akhirnya PBB memperpanjang misi (dukungan) NATO di Libya dari mulai 16 Desember 2011 sampai Maret 2012.

Tampaknya AS dan sekutu ngeper (gentar) melanjutkan roadmap-nya di Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah). Indikasi ini jelas terlihat, antara lain: (1) Israel tidak membalas sama sekali ketika baru-baru ini puluhan roket Hizbullah menyerangnya dari Lebanon. Ini berbeda dengan kelaziman dimana ia cenderung agresif; (2) Merapatnya kapal perang Rusia di Laut Syria merupakan isyarat Moskow, bahwa ia akan memblokir setiap serangan yang dipimpin NATO dengan kedok intervensi kemanusiaan, dan (3)  Resolusi PBB untuk sanksi terhadap Syria pun diperkirakan gagal terbit setelah Rusia dan Cina menggunakan hak veto, demikian seterusnya.

Maka jika diibaratkan penjarah, sesungguhnya misi AS dan sekutu di Libya cuma sebatas “merobek-robek” kantong namun belum sempat mengambil isi rumah, keburu diteriaki rampok oleh pemilik dan sekelilingnya. Termasuk rencana menyerang Syria dan Iran melalui “organ pemecah belah”-nya yakni Israel pun terbaca oleh publik global. Pola atau modus-modusnya sudah basi, hampir sama atau mirip-mirip sehingga mudah diterka.

Apapun istilah, gerakan politik AS dan sekutu di Jalur Sutra, entah ia smart power, entah itu revolusi warna, atau provincial reconstruction team, bahwa geliat operasi silumannya out of control dari rencana semula. Upaya ganti rezim yang diawali destabilisasi politik ternyata berputar 180 derajat, berubah menjadi ganti sistem. Warna yang muncul lagi populer di Timur Tengah dan sekitarnya adalah KEBANGKITAN ISLAM. Termasuk tertangkapnya pesawat mata-mata RQ 170 milikAS oleh militer Iran, menimbulkan fenomena terbaru bahwa DUNIA TAK LAGI PERCAYA DENGAN TEKNOLOGI BARAT, terutama teknologi perangnya!

Sepertinya seri baru perang kolonial sebagaimana isyarat Chaves, kini hendak digelar di Asia Pasifik, akibat ketidaksuksesan (atau gagal) di Jalur Sutra. Diawali operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union. Sasaran strategis AS ialah mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan  Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya (Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, 15/11/2011 ).

Sekurang-kurangnya, ada dua peristiwa bersejarah yang dapat digunakan rujukan sementara untuk mengurai kiprah AS dan sekutunya, antara lain adalah (1) Kuliah Bung Karno (BK) kepada Che Guevara tahun 1959-an, ketika Che diperintah Fidel Castro berguru kepada BK tentang Sosialisme. Inilah sebagian materi kuliah yang diterima Che perihal Kedaulatan Modal dan Imperialisme Modern:

.. watak imperialisme kuno yang menghasilkan kapitalisme kuno itu beda dengan watak imperialisme modern. Imperialisme kuno bersandar pada kekuatan militer, imperialis-kapitalis modern didasari kekuatan finanz-kapital. Kelak konflik internasional bergeser pada modal, bukan lagi pada perang koloni atau wilayah. Inilah kenapa aku ingin negeriku menjadi raksasa terhadap modal itu sendiri, berkedaulatan politik, daulat atas ekonomi dan berkebudayaan otentik ..",

Sedang peristiwa ke (2) Adalah  great depression  yang pernah menerpa Paman Sam dekade 1930-an doeloe. Diawali kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ia mampu  bangkit kembali akibat meletus Perang Dunia (PD) II. Ya, persoalan apakah PD II itu diciptakan atau terjadi secara alamiah, tidak akan dibahas dalam tulisan ini (baca: Teror dan Catatan Kecil Perang Dunia, di www.theglobal-review.com). Artinya roda perekonomian AS kala itu bisa bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan AS menerima banyak pesanan berbagai senjata dan pesawat terbang dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia.

Benang merah hal di atas, sepertinya mampu menjawab kontradiksi selama ini, kenapa pemerintah Obama dan sekutu berjuang memperbaiki krisis ekonomi negara, sedang militernya justru menghambur-hamburkan uang untuk perang. Agaknya terdapat korelasi kuat antara perang dan modal. Dengan kata lain, perang memang harus bermodal namun peperangan justru dapat menghancurkan modal itu sendiri. Modal adalah alat utama memulihkan perekonomian, dan perang merupakan salah satu sarana terbaik mengembalikan dan mencari modal. Agaknya kepulihan great depression di AS tempo doeloe boleh dijadikan contoh riil atas asumsi ini.

Kembali ke Asia Pasifik, bahwa skenario Obama atas pangkalan AS di Darwin ialah dalam rangka membantu Indonesia bila terjadi bencana alam. Barangkali itu cuma open agenda. Ketika jarak Papua cuma 800-an mil dari Darwin maka kelaziman hidden agenda sebagai tujuan pokok membonceng diam-diam. Papua memang merupakan kawasan Indonesia yang kini tengah terlibat konflik intrastate baik vertikal maupun konfik horizontal akibat krisis politik berlarut.

Isue yang ditabuh oleh beberapa elemen bangsa guna memisah Papua dari NKRI ialah HAM, kemiskinan dan lainnya. Ketidakmampuan Pusat mengentaskan kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama separatis tumbuh subur, sedang kemiskinan disana hakikinya akibat sistem kapitalisme yang diterapkan. Baik KORUPSI yang sengaja “diciptakan” oleh sistem, juga pola pembagian royalti yang “njomplang” dan lainnya. Bagaimana dikatakan adil dan beradab, jika tukang cangkulnya mendapat 99 %, sedang pemilik tanah memperoleh 1 % saja? Gunung emas yang seharusnya memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh asing.

Kembali soal Darwin, konon sekitar 2500 marinir AS akan ditempatkan. Secara hitam putih terlihat sedikit, namun bila kapal induk merapat disana niscaya membawa 10.000-an serdadu lengkap dengan peralatan perang dan pesawat-pesawat tempur siap laga, belum termasuk instrumen pengiring baik kapal perang kecil maupun kapal-kapal selam. Itu sudah prosedur  tetap pergerakan kapal induk dimanapun.

Pertanyaan kenapa demikian, bahwa kesulitan AS dan sekutu menguasai (mengembalikan modal) di Jalur Sutra sebagai alasan pokok, bukankah lebih baik langsung masuk ke sasaran lain yakni: Indonesia Raya, negeri “miskin” di Asia Tenggara namun kaya akan sumberdaya alam. Banyak sumberdaya yang ada di Jalur Sutra dipastikan melimpah-ruah di Indonesia cuma belum tergali; sementara berbagai sumberdaya dimiliki Indonesia banyak yang tidak ditemui di Jalur Sutra. Konon Charlie Illingworth, Bos-nya John Perkins sewaktu berada di Bandung pernah bilang, bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004).

Lagaknya, apa yang dikerjakan AS kini ibarat memakan bubur panas, artinya memulai dari pinggiran-pinggirannya. Misalnya (rencana) pangkalan militer di Singapura, pangkalan di Subic, meskipun data terakhir AS  telah meninggalkan Philipina dekade 1992-an, dan paling terakhir adalah Darwin, Australia.

Dalam perspektif hegemoni AS, menerkam Indonesia sebenarnya tinggal menunggu saat serta momentum saja, sebab “pembusukan dari dalam” telah berjalan mulus dan lancar sejak Orde Baru lengser doeloe. Seperti perubahan total UUD dan intervensi puluhan UU lainnya (baca: Perlu Diselidiki Kebenarannya : Bantuan Asing Untuk Amandemen UUD 1945 dan Beberapa Paket Undang-Undang, 8/12/2011 di www.theglobal-review.com), “korupsi yang diciptakan” , atau “Perang Candu” dengan berbagai kemasan, pola adu domba berbungkus ego sektoral dan lainnya. Entah momentum nanti menumpang pada hiruk-pikuk politik internal negeri, atau bakal diletuskan ketika pemilu presiden (2014) nanti dan sebagainya. Wait and see. Sekali lagi, inilah mengecoh langit menyeberangi lautan. Lalu, masihkah anak bangsa ini asyik dengan “mainan ciptaan asing”, sedang itu bagian dari trap modus potong babi?

(Dari berbagai sumber)

Pangkalan AS di Darwin untuk Rebut Papua Bertahap




Pangkalan AS di Darwin untuk Rebut Papua Bertahap

PERKEMBANGAN lingkungan strategis secara Internasional , yang terjadi belakangan ini,negara yang kaya secara finansial dan memiliki kekuatan militer modern , trennya akan mencaplok negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, namun lemah kepemimpinan nasionalnya. Indikasinya, ada skenario besar dari negara super power seperti Amerika Serikat ( AS) ingin menguasai SDA Indonesia maupun dunia.

Seperti kita ketahui bersama, AS merupakan konsumen minyak terbesar di dunia yang mengonsumsi minyak sekitar 22 juta barrel per hari, sedangkan pasokan di dalam negerinya hanya mencapai enam juta barrel. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka harus didatangkan dari luar negeri.

Untuk mengamankan pasokan dan mengendalikan harga minyak mereka, maka AS akan mencari minyak ke mana saja, jika perlu dengan perang. Selain minyak, tentunya SDA yang lainnya seperti tambang emas dan tembaga.

Dengan penguasaan SDA Indonesia oleh asing, maka bangsa Indonesia tidak akan pernah mandiri. Jika kemudian di belakang hari ada masalah, maka akan dipakai sebagai alat untuk mengendalikan bangsa Indonesia.

Contohnya konflik yang terjadi belakangan ini di Papua yang eskalasinya terus mengalami peningkatan, menurut Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Sutowo, disebabkan provokasi asing yang sangat berkepentingan dengan SDA di Papua yang kaya raya. Dengan kekayaan alam yang dimilikinya, Papua diincar oleh banyak pihak, terutama negara yang mempunyai kepentingan atau membutuhkan SDA.

Apalagi dalam waktu dekat, AS akan membangun pangkalan militer di Darwin, Australia Utara, dengan menempatkan 2500 orang personel maninir. Sedangkan jarak antara Darwin dengan Papua, hanya 850 km. Pembangunan pangkalan militer AS di Darwin itu, menurut Presiden AS Barrack Obama, untuk mengamankan Asia Pacifik dan menghambat gerak laju negara super power Asia, Cina. Seperti diketahui , Cina kini menambang di Papua Barat.

Seperti biasanya isu-isu central yang dikedepankannya adalah pelanggaran HAM, ketidakadilan dan kemiskinan. Padahal kekeyaam alam Papua selama 50 tahun telah dikeruk oleh asing.
Untuk meredam konflik di Papua, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu ,pemerintah harus tegas menangani semua konflik di Papua. Ketegasan aparat keamanan sangat dibutuhkan agar Papua tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan itu adalah harga mati."Tangkap yang melawan aparat. Jangankan yang sampai menembaki aparat, yang membawa senjata juga harus ditangkap",katanya.

Terkait upaya penegakan hukum dan penegakan kedaulatan bangsa Indonesia di Papua yang selalu dikaitkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ryamizard berkomentar : HAM kita adalah HAM Pancasila. HAM yang melindungi 237 juta rakyat Indonesia, bukan melindungi satu, dua atau tiga orang di sana (Papua)."

Memang dibutuhkan ketegasan dari pemerintah pusat di Jakarta untuk meredam konflik di Papua.Jika tidak tegas, maka Papua bisa melepaskan diri dari NKRI dengan bantuan pihak negara asing yang berkepentingan dan sangat membutuhkan SDA di Papua.

Harapan kita, konflik Papua harus diselesaikan secara internal, karena Papua merupakan bagian dari NKRI, tidak boleh ada campur tangan asing dalam menyelesaikan konflik Papua. Selain itu, anggaran otonomi khusus ( otsus) yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah untuk menyejahterakan rakyat Papua, perlu dievaluasi kembali, karena program tersebut hanya menyejahterakan para pejabatnya, bukan rakyat Papua. Lain daripada itu, percepatan pembangunan di semua aspek , perlu ditindaklanjuti dengan target dan limit waktu.[]

Oil: Iran's Hormuz Strait Threats Could Wreak Global Economic Havoc

 http://www.forbes.com/sites/afontevecchia/2011/12/13/oil-irans-hormuz-strait-threats-could-wreak-global-economic-havoc/

Crude oil prices surged on Tuesday on reports that Iran was set to begin war games in the Strait of Hormuz to practice closing down the key chokepoint which concentrates 30% of global seaborne oil shipments.  Prices retracted a little after Iran’s Foreign Ministry confirmed the Strait remained open, and as OPEC cut its 2012 demand forecast by 100,000 barrels per day to 1.1 million daily barrels given a cooling global economy.
There is little doubt that geopolitical concerns will remain a key factor for commodity prices in 2012.  Added to the Eurozone sovereign debt and competitiveness crisis and a surging budget deficit in the U.S. and U.K., conflict risk in the Middle East has escalated.
Exemplified in Tuesday’s price action, Iran’s influence on global crude oil prices is substantial.  West Texas Intermediate crude prices broke the $100 mark after surging 3.5% in New York Tuesday morning to $101.25 per barrel while Brent crude, the international benchmark, jumped 3.6% to $111.10.  Prices retraced part of their gains, with WTI closing the day at $99.64.
The pop in crude oil prices came after Iranian MP Parviz Sorouri of the Majlis National Security and Foreign Policy Committee said:
Currently, the Middle East region supplies 70 percent of the world’s energy needs, (most of) which are transported through the Strait of Hormuz. We will hold an exercise to close the Strait of Hormuz in the near future. If the world wants to make the region insecure, we will make the world insecure.
The comments, picked up by the quasi-official Iranian Student News Agency, and reported by the Tehran Times, were later complemented by a statement by the Iranian Foreign Ministry noting the Strait remains open, according to Bloomberg.
Hormuz is one of the world’s most important waterways, with daily flow of about 15 million barrels of oil.  That’s 90% of Persian Gulf Exports and 40% of global consumption, according to geopolitical analysts at Stratfor.
“The importance of this waterway to both American military and economic interests is difficult to overstate. Considering Washington’s more general — and fundamental — interest in securing freedom of the seas, the U.S. Navy would almost be forced to respond aggressively to any attempt to close the Strait of Hormuz,” explained analysts at Stratfor.  Iran’s intentions, though, are to avoid an attack and therefore would use the threat for deterrence rather than as an offensive or defensive action.
Iran is being pushed by what the analysts call a “covert intelligence war” carried on by the U.S., Israel, and other U.S. allies.  A recent U.S. drone, shot down over Iranian airspace, added to other recent examples of escalation like “the defection to the West of Iranian officials with knowledge of Tehran’s nuclear program; the Iranian seizure of British servicemen in the Shatt al Arab Waterway; the assassination of Iranian nuclear scientists; the use of the Stuxnet worm to cripple Iranian uranium enrichment efforts,” according to Stratfor.
On the markets front, Iran could cause substantial crude oil price movements if it chose to take action.  From Stratfor:
A single ship striking a naval mine (or even a serious Iranian move to sow mines) could quickly and dramatically drive up global oil prices and maritime insurance rates. This combination is bad enough in the best of times. But the Iranian threat to the Strait of Hormuz could not be more effective than at this moment, with the world just starting to show signs of economic recovery. The shock wave of a spike in energy prices — not to mention the wider threat of a conflagration in the Persian Gulf — could leave the global economy in even worse straits than it was a year ago.
Crude oil prices are set to remain high, despite OPEC’s bearish call that demand will be lower than expected.  Citi’s analysts expect global oil demand, and supply, to hit 90.3 million barrels per day, pushing Brent to an average $110 per barrel and WTI to $100 through 2012.  The reversal of the Seaway Pipeline, recently sold by Conoco Phillips to Enbridge, will provide further support for WTI prices, as the bottleneck at Cushing, Oklahoma is eased and crude begins to flow into refineries owned by Exxon Mobil, BP, Marathon Petroleum, Valero Energy, and others.

Iran Ancam akan Tutup Selat Hormuz

Iran ancam akan tutup Selat Hormuz

28 Desember 2011 20:45 WIB

Iran mengatakan mereka mungkin akan menutup salah satu jalur minyak utama jika Barat meningkatkan sanksi terhadap Teheran terkait dengan program nuklir.

Wakil Presiden Mohammad Reza Rahimi memperingatkan tidak setetes pun minyak bisa melewati Selat Hormuz bila sanksi terhadap Iran ditambah.

Kepala Staf Angakatan Laut Iran Laksamana Habibollah Sayari mengatakan menutup selat tersebut adalah hal yang mudah.

"Menutup Selat Hormuz lebih mudah dibandingkan meminum segelas air," kata Laksamana Sayari kepada stasiun televisi Iran Press TV.

"Namun untuk saat ini kami belum merasa perlu menutup selat. Ada Laut Oman yang berada di bawah kendali kami dan kami juga mengontrol transit di perairan ini," jelas Sayari.

Selat Hormuz menghubungkan negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia.

Sekitar 40% kapal tanker minyak dunia melewai selat tersebut. Sehingga Selat Hormuz dikenal sbg chokepoint (titik sedak) jalur perdagangan maritim dunia yg paling rawan dan strategis. Setelah itu juga dikenal Selat Malaka yg menempati posisi kedua.

Komentar:
Pakar geopolitik energi, Dirgo D.Purbo pernah mengatakan gampang saja membuat bangkrut AS dan China, yaitu dgn cara (1) embargo dan (2) blokade. Embargo pasokan minyaknya dan blokade jalur perdagangan maritimnya. Kedua langkah ini hanya bisa dilakukan oleh negeri-negeri muslim karena semua kekayaan minyak bumi dan kekayaan jalur strategis dunia dimiliki oleh Dunia Islam. Subhanallah!