Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Tuesday, January 14, 2014

Tanpa Khilafah, Rezim Brutal China Leluasa Mengaborsi Rahim Mulia Muslimah Uyghur

Tanpa Khilafah, Rezim Brutal China Leluasa Mengaborsi Rahim Mulia Muslimah Uyghur

Oleh: Fika Komara (Member of Central Media Office Hizb ut Tahrir)

Pada tanggal 30 Desember 2013 yang lalu Radio Free Asia memberitakan bahwa otoritas China di Xinjiang telah mengaborsi bayi dari empat orang Muslimah Uyghur karena mereka melanggar kebijakan satu anak yang diterapkan di China sejak tahun 1970-an. Tragisnya salah satu dari empat perempuan itu bahkan telah mengandung 9 bulan. Mereka diberi suntikan mematikan yang merangsang proses aborsi dari rahim-rahim mereka.
Memettursun Kawul, suami dari korban yang mengandung 9 bulan bercerita dengan getir “meskipun istri saya disuntik oleh dokter, namun bayi saya menangis ketika ia dilahirkan.” Ketika ia mendengar tangisan bayinya ia langsung meraih bayi itu dan membawanya ke rumah sakit terdekat dalam upaya untuk menyelamatkannya. “Para dokter di rumah sakit itu mencoba untuk menyelamatkannya tetapi mereka gagal. Akibat obat aborsi yang sudah telanjur disuntikkan, anakku meninggal satu jam setelah ia lahir.” Metkurban Nuri, suami dari korban lain yang mengandung empat bulan, mengatakan ia dan istrinya telah bersembunyi di kota Hotan selama seminggu tetapi pejabat keluarga berencana lokal menangkap mereka pada hari Sabtu, kemudian mereka ditahan di kantor polisi Arish selama 24 jam dan ia dipaksa untuk menyetujui agar istrinya menjalani aborsi di Rumah Sakit Nurluq.
Sungguh ini adalah tindakan biadab dan barbar yang dilakukan oleh rezim kriminal China yang amoral! Rezim yang dibutakan oleh kebencian terhadap Islam dan keserakahan terhadap pertumbuhan ekonomi ini telah mengaborsi putra-putri Islam dari rahim-rahim mulia Muslimah Uyghur. Atas nama kebijakan satu anak yang kontroversial China telah mengukir sejarah 336 juta aborsi dan 196 juta sterilisasi sejak tahun 1971, dan terus menuai hujatan dan kontroversi tanpa henti baik di dalam negerinya maupun dunia internasional. Puncaknya pada bulan November, sidang Pleno Partai Komunis mengumumkan reformasi kebijakan untuk melonggarkan kebijakan satu anak yang sudah diterapkan puluhan tahun. Akhirnya kini berdasarkan aturan baru, secara resmi disetujui oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional pada tanggal 28 Desember, pasangan yang keduanya merupakan anak tunggal dapat memiliki dua anak. Para pembuat kebijakan telah memperkirakan pelonggaran itu akan menguntungkan sekitar 15 sampai 20 juta pasangan di kota-kota besar China dan akan mengakibatkan 1 – 2 juta kelahiran tambahan per tahun dalam beberapa tahun pertama, di atas 16 juta bayi yang lahir setiap tahun di China .
Namun rupanya pelonggaran kebijakan ini tidak berlaku bagi entitas Muslim Uyghur di Xinjing, Turkistan Timur. Sepuluh juta Muslim Uighur di Xinjiang yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan milyaran penduduk China beretnis Han lainnya, pada realitanya sangat dibatasi pertumbuhannya oleh pemerintah China. Banyak pengamat mengatakan seharusnya Muslim Uyghur tidak dikenai kebijakan satu anak karena jumlah mereka tidak mengancam petumbuhan ekonomi di China. Namun realitasnya setiap pasangan Uighur yang tinggal di perkotaan hanya dibolehkan untuk mempunyai anak maksimal dua orang, sedangkan jika mereka tinggal di pedesaan dibolehkan mempunyai anak maksimal tiga orang. Jika jumlah anak mereka telah mencapai jumlah maksimal, mereka dipaksa untuk melakukan aborsi atau sterilisasi atau tindakan-tindakan lain yang dapat memberhentikan kehamilan dari pasangan tersebut. Tidaklah mengherankan jika selama ini, pertumbuhan jumlah penduduk etnis Muslim Uighur tergolong rendah.
Kejahatan ganda yang dilakukan rezim criminal China terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur adalah pertama menerapkan kebijakan kontrol populasi yang brutal dan kedua adalah kejahatan keji memerangi Islam dan umatnya di Xinjiang.

Kejahatan Kebijakan Satu Anak
Akibat dibutakan oleh keserakahan pertumbuhan ekonomi, China telah merendahkan nilai anak-anaknya sendiri selaku generasi penerus dan memandang mereka sebagai beban dan penghambat mesin pertumbuhan ekonomi mereka. Jutaan bayi khususnya bayi perempuan diaborsi di berbagai kota dan desa di China. Ratusan juta perempuan telah ditindas selama hampir setengah abad oleh kebijakan kejam ini. Ironisnya kebijakan ini dilakukan hanya semata demi alasan ekonomi, yakni mencegah ledakan penduduk demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Sesungguhnya alasan yang sama -yakni pertumbuhan ekonomi- juga menjadi pemicu dilonggarkannya kebijakan satu anak yang baru saja diresmikan Desember lalu. Rezim serakah China baru menyadari harga mahal yang harus mereka bayar bahwa akibat ditekannya jumlah populasi selama puluhan tahun mereka kekurangan tenaga kerja usia produktif untuk memicu mesin raksasa pertumbuhan ekonomi mereka, dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang bertahan rata-rata PDB dari 10,5 persen antara 2001 dan 2010 dan 9,7 persen antara tahun 1979 dan 2009 membuat China  muncul sebagai ekonomi terbesar kedua, manufaktur terbesar dan negara perdagangan terbesar di dunia. Namun prestasi gemilang itu ternyata membawa jejak kabut berat dan asap, dan polusi air dan tanah, yang melahirkan penyakit pernapasan massal dan menciptakan desa-desa penuh penyakit kanker, hingga merampas hak lebih dari 300 juta orang dari air minum yang aman. Jadi memang mahal sekali harga yang harus mereka bayar untuk sebuah pertumbuhan ekonomi, China bukan hanya kehilangan generasi muda usia produktif melainkan juga generasi yang sehat.
China telah dibutakan oleh ideologi Kapitalis yang memandang semua masalah dari perspektif ekonomi dan mengabaikan dampak sosial dari kebijakan-kebijakannya terhadap generasi dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kapitalisme membawa keyakinan yang salah bahwa sumber daya yang ada tidak cukup untuk menyediakan kebutuhan dasar dari semua orang, ini karena Kapitalisme adalah ideology yang secara konsisten menempatkan keuntungan materi di atas rakyat, keuangan di atas kemanusiaan, dan pertumbuhan ekonomi di atas jutaan nyawa generasi penerus.

Kebencian Terhadap Islam
Bukan rahasia lagi bahwa pemerintah China menganggap bahwa keberadaan Muslim Uyghur di Provinsi Xinjiang sebagai pihak yang mengganggu kestabilan dan keamanan. Menurut surat kabar Xinjiang Daily, Oktober lalu, pertempuran melawan ekstrimisme tidak dapat dihindari karena ekstrimis keagamaan ini adalah bentuk halangan bagi stabilitas keamanan. China terus menyebarkan retorika melawan Muslim Uyghur yang mereka sebut teroris dan ekstrimis.
Sungguh tindakan-tindakan permusuhan terhadap kaum Muslim di Turkistan Timur yang diduduki oleh Cina mencerminkan sejauh mana kebencian rezim komunis terhadap Islam, juga merupakan ketakutan dari negara Cina akan pengaruh Islam yang besar pada masyarakat Cina. Ini menunjukkan sisa-sisa doktrin komunis yang represif dan memiliki warisan sejarah penganiayaan agama minoritas masih tetap berakar kuat dalam negara. Meski ideology komunisme di dunia telah runtuh, Muslimah Uighur khususnya merasakan tekanan dalam kehidupan mereka dari segala penjuru. Bukan hanya hak mereka untuk mengenakan busana Muslimah yang dirampas secara sistematis dan keji, namun juga hak mereka untuk berkeluarga dan memiliki keturunan! Partai komunis yang berkuasa telah berupaya secara berkala untuk membasmi hijab dan busana Muslimah sejak mengambil kekuasaan di tahun 1949, pertama kali meluncurkan upaya-upaya atheisme dan kemudian melarang jilbab sama sekali di tahun 1960-an dan 70-an.
Muslimah Uyghur bukan hanya harus berhadapan dengan kebijakan represif yang mengancam identitas mereka dengan larangan hijab, namun juga harus dihadapkan dengan kebijakan brutal yang merusak rahim-rahim mulia mereka dengan program aborsi dan sterilisasi massal yang amoral! Program brutal yang lahir dari penguasa kriminal China yang membenci Islam dan ketakutan akan lahirnya generasi Mujtahid dan Mujahid Islam yang mampu mengembalikan kejayaan Islam di Turkistan Timur dan seluruh penjuru dunia Islam. Karena dari rahim-rahim mulia kaum Muslimah di Uyghur dan Muslimah di seluruh dunia akan lahir generasi pemimpin umat yang akan membawa umat ini dari kegelapan menuju cahaya.
Inilah salah satu realitas penderitaan kaum Muslimah yang menyayat hati, di timur dunia Islam. Mereka adalah korban tak berdaya dari predator-predator penguasa Kufar yang dibiarkan eksis oleh sistem dunia yang diskriminatif terhadap Umat Islam. Selama sistem dunia masih memuja demokrasi dan sekulerisme, maka penderitaan kaum Muslimah di Xinjiang, Turkistan Timur niscaya tidak akan pernah berakhir, karena pangkal masalah dari semua penderitaan ini tidak lain adalah tidak hadirnya Khilafah yang merupakan perisai bagi umat Islam, yang akan menghilangkan hegemoni kufar atas kaum Muslimin dan melindungi kehormatan kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh dunia Islam.

Khilafah: Perisai Bagi Muslimah Uyghur
Telah diriwayatkan dari Abi Hurairoh,dari Nabi SAW, beliau pernah bersabda:
‏إِنَّمَا الْإِمَامُ ‏‏جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim).”
Muslimah Uyghur sangat membutuhkan perisai sejati yang akan melindungi kehormatan dan keluarga mereka. Dan Khilafah ialah sebuah negara dengan konsep luhur tentang kehormatan perempuan dan generasi yang berkualitas, dimana kehormatan satu orang Muslimah menyamai nilai pembebasan kota Ammuriah seperti yang terukir dari sejarah Khalifah al Mu’tashim. Masya Allah! Khalifah al – Mu’tashim menyambut seruan seorang muslimah di kota Ammuriah yang dilecehkan tentara Romawi, dengan puluhan ribu tentara yang terbentang mulai dari gerbang ibukota di Baghdad hingga ujungnya mencapai kota Ammuriah.
Khilafah menolak pandangan kapitalis materialistik yang membatasi jumlah anggota keluarga untuk kepentingan ekonomi, sekaligus menolak penindasan atas perempuan dengan menekan naluri alamiah mereka untuk memiliki banyak anak. Hal itu karena Islam memiliki cara pandang yang khas dalam menyelesaikan persoalan manusia, yang tidak melulu melihat masalah dari perspektif ekonomi namun justru dari perspektif kemanusiaan. Islam justru menganjurkan untuk memiliki banyak anak tanpa takut miskin karena melalui banyak nash-nash al Quran Islam mengajarkan kepada kita akan keyakinan bahwa Rezeki itu berasal dari Allah, ini adalah sudut pandang yang unik yang didasarkan pada Aqidah Islam, yang percaya bahwa seluruh sumber daya dunia yang cukup untuk kehidupan manusia disediakan oleh Allah Swt yang Maha Memelihara dan Maha Memberi Rezeki. Nilai mulia ini membentuk mentalis penuh tanggung jawab dalam memandang generasi penerus, dan bukan memandang mereka sebagai beban/ penghambat ekonomi. Sebagaimana sabda Rasululullaah Saw yang mulia,
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS Luqman [31]: 20).
Wahai saudari-saudariku Muslimah Uighur, bersabarlah dengan tekanan dan penindasan rezim brutal China yang zhalim, karena Fajar Khilafah telah demikian dekat dan kita adalah umat yang satu, nabi kita satu, bendera kita satu dan perjuangan kita pun satu. Hanya negara Khilafah saja yang akan memungkinkan Anda untuk hidup dengan semua Perintah Allah (swt), dan memiliki kehidupan keluarga yang harmonis sejahtera sekaligus memiliki banyak anak-anak di saat yang sama juga sangat kredibel dan telah teruji oleh waktu dalam mencetak generasi pemimpin yang mampu menaklukan dunia.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku; dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik“. (TQS An Nuur [24] :55) [

 

 

JALUR SUTERA MARITIM DAN PENYEBARAN ISLAM DI ASIA TENGGARA



JALUR SUTERA MARITIM DAN PENYEBARAN ISLAM DI ASIA TENGGARA


Jalur Sutra (silk road) yang ada dalam benak kebanyakan orang adalah lintasan perjalanan darat panjang dari Xi'an hingga ke Konstatinopel, melintasi gurun Taklamakan dan daratan Eurasia. Tetapi, seiring dengan perkembangan dunia maritim di zaman Abad Pertengahan, Jalur Sutra yang kuno pun meredup, digantikan oleh lintasan perdagangan baru dari samudra ke samudra.





Rute inilah yang dikenal dengan Jalur Sutra Maritim. Para pedagang dari negeri Tiongkok melintasi Laut Tiongkok Selatan, sampai ke Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, dan menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Arabia.

“Indonesia merupakan poros bagi “Jalur sutera maritim kuno. Ahli maritim China, Cheng Ho, bahkan sudah berkali-kali mengujungi Indonesia serta meninggalkan jejak kebudayaan dan itu telah menjadi kenangan yang indah dan terlupakan,” jelas Li Congjun, Direktur Kantor Berita China Xinhua

Zaman keemasan perdagangan maritim bahari itulah yang menjadi washilah awal bagi penyebaran Islam di nusantara. Penyebaran Islam di Asia Tenggara di-drive secara terintegrasi pada jalur-jalur perdagangan maritim dalam waktu yang lama dan berkesinambungan yang melibatkan semua unsur umat Islam baik itu ulama, penguasa bahkan rakyat biasa.

Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai Cina melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14) dan Khilafah Umayyah (660-749). Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri Cina.



Geostrategi Dakwah Islam Melalui Jalur Perdagangan Asia Tenggara

Penyebaran dakwah Islam melalui aktivitas perdagangan (tanpa peperangan) bukan berarti menunjukkan aktivitas tersebut tidak politis atau tidak terorganisir. Istilah ‘pedagang Arab’ yang sering digunakan dalam literatur sejarah seolah mengesankan penyebaran Islam yang terjadi hanya secara perorangan dan sporadis.

Hubungan kaum Muslim Melayu Asia Tenggara dengan Ulama Timur Tengah sesungguhnya telah terjalin sejak masa awal-awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak benua India yang mendatangi Asia Tenggara tidak hanya berdagang, tetapi juga membawa misi tertentu untuk menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.

Meski cukup sulit dibuktikan secara ilmiah, dalam perspektif geopolitik kita akan mudah melihat bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak terjadi secara sporadis, melainkan terencana dan berkesinambungan.

Jika dilihat lebih jeli peta sebaran umat Islam di Asia Tenggara, maka kita akan mendapati hampir semua titik-titik kekuatan umat Islam di Asia Tenggara memiliki nilai geopolitik yang sangat strategis. Posisi Kesultanan Arakan yang berada di Teluk Benggala merupakan garis pantai yang sangat penting dalam jalur perdagangan dunia sampai hari ini. Posisi Kesultanan Pattani terletak di Tanah Genting Kra, sebuah jembatan darat sempit yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan daratan Asia, yang juga merupakan akses terdekat ke Laut Cina Selatan. Begitu juga letak kepulauan Sulu dan Mindanao yang tidak kalah strategisnya.



Ini merupakan bukti bahwa masyarakat Islam yang sering diilustrasikan sebagai “pedagang Arab” dalam ilmu sejarah adalah mereka yang memiliki kesadaran geografis tinggi; suatu masyarakat yang biasa diistilahkan sebagai spatially enabled society. Begitu pun negara/kepala negara yang ideal adalah yang memiliki visi geopolitik dikenal dengan istilah spatially enabled government. Kombinasi kesadaran antara dua pihak ini didukung oleh sebuah peradaban Islam yang tinggi, yang tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan ideologinya.

Allah SWT berfirman (yang artinya): Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (TQS al-Anbiya’ [29]:107).

Rasulullah saw. bersabda, “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya. Aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepada diriku.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

DIPLOMASI NEW MARITIME SILK ROAD CHINA



DIPLOMASI NEW MARITIME SILK ROAD CHINA 
(JALUR SUTERA MARITIM)


Oktober 2013 kemarin adalah bulan yang signifikan bagi diplomasi China. Di saat Presiden AS Barrack Obama membatalkan kunjungannya ke Asia Tenggara untuk menghadiri forum KTT APEC di Bali, justru manuver diplomatik China semakin terlihat di kawasan ini. Adalah kunjungan Cina ke Indonesia dan Malaysia pada beberapa hari sebelum dimulainya KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping, dimana pada saat kunjungan Xi Jinping berjanji untuk mendorong kemitraan strategis yang komprehensif dengan kedua negara dan menandatangani beragam kesepakatan penting dengan dua negara anggota ASEAN tersebut.
Apa yang mengejutkan banyak pengamat adalah China menawarkan re-building proposal "new maritime silk road” atau jalan sutra maritim baru di Asia Tenggara. Dalam pidatonya yang disampaikan di parlemen Indonesia pada 3 Oktober, Presiden China tidak ragu menggemakan rencana Cina untuk mengubah jalur-jalur maritim yang telah ada berabad-abad  -yakni Selat Malaka dan Laut Cina Selatan- menjadi satu kesatuan yang akan memacu konektivitas maritim abad ke-21. Kita seolah menyaksikan kebangkitan semboyan "jalur sutera" yang memiliki nilai histori yang tinggi dalam perdagangan dunia. Dan China menggunakan semboyan ini dalam diplomasinya yang terbaru, dimana dengan tegas Xi Jinping menyatakan kesiapan pemerintah China untuk mendanai proyek maritim ASEAN melalui badan investasi negara, yakni China-ASEAN Maritime Cooperation Fund. [1]
Pada kebijakan politik luar negerinya yang terbaru, pemerintah China mengungkap rancangan Jalur Sutera Baru (New Silk Road) terdiri dari dua sumbu kebijakan diplomasi; pertama "sabuk ekonomi baru jalur sutera" atau New Silk Road Economic Belt yang menunjukkan hubungan ekonomi kuat dengan Asia Tengah dengan fokus khusus pada perdagangan. Dan kedua adalah apa yang disebut dengan "jalur sutera maritim," atau New Maritime Silk Road yang dianggap sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Asia Tenggara demi keamanan perdagangan maritime China. [2]



Gambar 1. Ilustrasi Jalur Sutera darat dan laut yang dikenal berabad-abad

Pada saat yang sama, ASEAN – asosiasi negara-negara Asia Tenggara - memang sedang fokus pada isu konektivitas maritim untuk memperkuat kerjasama ekonomi kawasan, hal ini sejalan dengan tawaran China terkait jalur sutera maritim baru tersebut, apalagi mega proyek konektivitas ASEAN ini membutuhkan dana yang sangat besar. Karena telah disadari bahwa transportasi maritim adalah tulang punggung pengangkutan barang lintas-batas dimana 80 persen dari volume perdagangan global adalah melalui laut. Sejak masuknya China ke WTO, terlihat adanya penguatan kerjasama dengan  ASEAN. Ini terlihat dengan naiknya total volume ekspor dan impor ASEAN terhadap China. Dalam jangka waktu tujuh tahun total perdagangan ASEAN dengan China naik lebih dari empat kali lipat. Membanjirnya produk-produk China di ASEAN menjadi tanda kuatnya diplomasi perdagangan China di ASEAN yang  banyak diimplementasikan dalam skema ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan merupakan kerja sama FTA terbesar di dunia,
Menurut UNCTAD Liner Shipping Connectivity Index (LCSI), kecuali Singapura dan Malaysia, negara ASEAN lainnya belum memiliki konektivitas maritim yang baik, tidak heran akhirnya isu konektivitas ini menjadi agenda penting dalam pertemuan-pertemuan regional. Dan salah satu hal yang dapat membantu konektivitas adalah pembenahan infrastruktur pelabuhan, karena itu ASEAN saat ini sedang mendesain dan meningkatkan kapasitas pelayanan 47 pelabuhan di kawasan untuk menunjang jaringan transportasi trans-ASEAN. Konektivitas maritime ASEAN – China tampak dari posisi pelabuhan-pelabuhan seperti yang tampak pada gambar di bawah ini :



Gambar 1b. The Ports Intra ASEAN - China[3]

Sementara itu bagi Indonesia -sebagai negara terbesar di Asia Tenggara sekaligus negara kepulauan yang paling strategis di dunia-  tawaran dari raksasa ekonomi China ini tentu akan memberikan dampak yang signifikan. Secara geostrategis, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Konsekuensi negara kepulauan ini, Indonesia memiliki ALKI (alur laut kepulauan Indonesia) atau archipelagic sea lines yang dilalui oleh kapal-kapal asing, baik itu kapal niaga sampai kapal induk untuk kepentingan perang. Karena itu sangat menarik untuk dikaji sejauhmana dampak geostrategis dari diplomasi “jalur sutera maritim baru” yang ditawarkan China pada negara-negara ASEAN khususnya Indonesia, terutama dalam aspek geografi transportasi dan kapasitas pembangunan infrastruktur.
Bahkan seorang analis pertahanan Indonesia mengatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengambil peran aktifnya di perpolitikan kawasan, fakta bahwa Indonesia memiliki posisi intersecting dalam jalur laut dunia semakin "memikat" secara geopolitik harus diperhitungkan dalam menentukan arah kerja sama pertahanan bilateral Indonesia dengan China, yang secara alami harus menguntungkan Indonesia. Karena itu tugas prioritas Indonesia dan China hari ini adalah mengidentifikasi pola kepentingan yang saling melengkapi terutama dalam keamanan SLOC / SLOT (jalur laut dari jalur komunikasi / laut perdagangan), yang harus segera didukung oleh program kerjasama yang lebih strategis dan komprehensif. Karena jika ada perang terbatas pecah di Laut Cina Selatan, sebagian dari perairan tersebut akan menjadi zona perang, dimana akhirnya jalur laut internasional Indonesia dan Laut Jawa akan berfungsi sebagai rute alternatif dari Laut China Selatan untuk perdagangan internasional. [4]


[1] Karl Lee, analis dari lembaga think tank Anbound Research di China, What does China’s new maritime Silk Road mean for ASEAN? Dimuat di South China Morning Post, 15 Oktober 2013
[2] Justyna Szczudlik-Tatar, China’s New Silk Road Diplomacy, jurnal Policy Paper no.34 Desember 2013, PISM – Polski Institute Spraw Miedzynarodowych, The Polish Institute of International Affairs
[3] Sarah Bennett, Asian Ports Under Pressure, Lloyds List Intelligence, Agustus 2013
[4] Connie Rahakundini, executive director of the Institute of Defense and Security Studies Jakarta,  The 21st Century Regional Maritime Silk Road, dimuat di Jakarta Post, 22 November 2013