Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Wednesday, July 15, 2015

No #Sharia for Bangsamoro minorities, Philippine legal experts say

Muslim legal experts have assured Christians and other minorities that religious freedom will be respected in the proposed Bangsamoro region in the southern Philippines island of Mindanao. The establishment of the Bangsamoro, an autonomous Muslim region, is part of the peace deal signed by the Philippine government and Moro rebels last year to end a five-decade old insurgency.

"The proposed Bangsamoro is not even a separate state, much less an Islamic State," Ubaida Pacasem, head of the legal department of the National Commission on Muslim Filipinos, said July 9.

Christians and other religious minorities living in Mindanao — a predominantly Muslim region — have voiced fears they could be subjected to sharia law when the region gains autonomy.

Rodjipay Mangulamas, president of the Bangsamoro Shari’ah Lawyers League of the Philippines, said sharia law would respect religious differences in the region.

"The bottom line here is that the Bangsamoro government is neither about Islam nor about establishing an Islamic state," he said at a recent forum in Cotabato City.

"It's about respect for the long-sought Bangsamoro aspiration for self-determination and freedom from oppression and discrimination," he added. The Philippine government also offered assurances to religious minorities on July 9.

http://www.ucanews.com/news/no-sharia-for-bangsamoro-minorities-philippine-legal-experts-say/73904

The important lesson that we must take is the struggle to achieve the autonomy or an independent state will never really protect the blood and basic rights of Muslims. As happened in Gaza where “two-state solution” becomes a solution with hundreds of resolutions that have been signed over the years, but STILL failed to protect the blood, land, property, and the rights of Palestinian Muslims.

So we should say that the solution of autonomous or independent state is NOT WORTH solution at all to be championed by Muslims because it only creates false hope and places the fate of the Muslims and their lands in the clutches of the western imperialist power. On the other hand such a solution is not derived from Islam, but from Western imperialist interests as a continuation of 'colonization' of Muslim lands in their clutches.

In the context of Southern Philippines, the mode of granting of autonomy is essentially just a "democracy trap" that is often used by western imperialists specifically to annexing the southern Philippines region which is very rich in natural resources, crippling the movement of Islamic movement groups, and taming Muslim Moro to become more moderate and pragmatic thus believe that democracy is the ideal tools for Islamic struggle. Surprisingly, some Muslims still put hope into a solution like this. Muslim leaders in particular do not feel guilty by relying kuffar and foreign parties to resolve the problems faced by Muslims.

(Fika Komara)

Wednesday, July 8, 2015

Rute Maritim Domestik dan Internasional di Perairan Indonesia


Dalam perairan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia terdapat ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang berporos utara – selatan dan diakui oleh hukum laut internasional melalui UNCLOS 1982. Di sisi lain jalur pelayaran domestik di Indonesia berporos pada arah Barat-Timur, sistem rute ini kemudian dimantapkan dengan konsep pembangunan pelabuhan “pendulum nusantara” dan terakhir dengan rencana “tol laut” yang dikukuhkan dalam RPJMN 2015-2019 untuk mencapai pemerataan pembangunan nasional dari wilayah Barat ke Timur Indonesia.

Poros 
Utara-Selatan ALKI adalah rute pelayaran internasional, dimana kapal-kapal asing baik kapal niaga maupun militer diberi hak lintas damai di perairan Indonesia. Sementara urat nadi perekonomian domestik melalui poros Barat-Timur melalui jaringan pelabuhan nasional. Realitas adanya dua poros rute maritim ini perlu dikaji lebih lanjut agar Indonesia sebagai negara maritim - justru bisa mengambil manfaat yang besar dari kekayaan rute maritimnya, hal ini karena Indonesia memiliki posisi intersecting dalam jalur laut dunia yang semakin "memikat" secara geopolitik dan telah membuat negara-negara besar sangat tertarik bekerjasama dengan Indonesia.

Perempuan Papua adalah Korban Kekerasan Berlapis dari Rezim Inkompeten dan Jahatnya Penjajahan Asing


Pada 6 Juli kemarin, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia - Prof Yohana Yembise mengungkapkan, provinsi Papua menduduki peringkat pertama kasus kekerasan dalam rumah. Pemicu utama kasus KDRT terhadap perempuan dan anak di wilayah Papua dominan disebabkan karena pengaruh  mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Kasus kekerasan terhadap anak di Papua mencapai 3.250 kasus sedangkan KDRT dialami perempuan angkanya cukup tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Tiga hari sebelumnya Suara Pembaruan online melaporkan data bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak Papua meningkat tajam sejak tahun 2010-2014 yang diungkap oleh Levina Kalansina Sawaki, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Penanganan Kekerasan terhadap Anak dan Masalah Sosial Anak Provinsi Papua.

Kekerasan Berlapis terhadap Perempuan Papua
Lembaga eLSHAM Papua merilis data Maret 2015 lalu yang menyatakan bahwa kekerasan yang dialami kaum perempuan Papua, bukan hanya sekedar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lebih dari itu, kasus kekerasan oleh aparat militer di Papua lebih besar dampaknya pada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perempuan Papua. Kasus kekerasan militer di Tanah Papua, menurut data eLSHAM Papua periode 2012-2014, ada 389 kasus dengan rincian 234 orang tewas, 854 orang luka-luka, dan 880 orang ditangkap. Semuanya berdampak kepada kesejahteraan perempuan Papua. Secara langsung bentuk-bentuknya beragam misalnya kasus pemerkosaan, penganiayaan, penahanan, dan penghilangan nyawa. Secara tidak langsung perempuan Papua teraniaya secara emosional dan psikis akibat suami dan anak laki-laki mereka ditangkap atau dibunuh dan ini membuat kaum perempuannya harus menjadi tulang punggung keluarga dan menempatkan mereka dalam lingkaran kemiskinan tak berujung. 

Aparat keamanan Indonesia telah berdiri di samping korporasi asing demi mengeruk kekayaan alam Papua dan merampas tanah dan lahan rakyat Papua. PT Freeport telah merampas tanah adat suku Amungme selama hampir setengah abad. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami (Keerom, Jayapura) juga kehilangan tanah, dusun-dusun sagu serta hutan sumber daging dan sayur genemo, karena dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan kelapa sawit milik PT. Sinar Mas (National Papua Solidarity - NAPAS, 2013).

Sungguh perempuan Papua adalah korban kekerasan berlapis dan sistemik di Papua yang berasal dari tiga lapisan utama, dimana lapis pertama adalah lapisan keluarga dan masyarakat di Papua yang saat ini semakin dirasuki nilai-nilai kapitalis pemuja kebebasan liberal yang memelihara budaya pemenuhan kepuasan individu, maka wajar bila alkohol dan penyalahgunaan narkoba sering disebut-sebut sebagai faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan di Papua. Semua hal ini menempatkan perempuan Papua hanya sebagai obyek syahwat laki-laki, akibat  pola pikir liberal yang mengajarkan untuk mengejar kesenangan pribadi tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkannya kepada orang lain. Lapis kedua adalah inkompetensi negara yang mengeluarkan kebijakan ekonomi cacat ala kapitalis dengan menyerahkan kekayaan alam Papua kepada swasta asing, hingga menciptakan kemiskinan yang luas di Papua dan menggiring kaum perempuannya terjerumus pada jurang eksploitasi dan kekerasan massal. Begitu pula tidak adanya pendistribusian kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua yang kemudian memunculkan tuntutan rakyat Papua atas menentukan nasib mereka sendiri akibat terjadinya kezaliman dan ketidakadilan terhadap mereka. Lapis ketiga adalah penjajahan negara-negara Barat yang bermain di Papua mengincar kekayaan alamnya hingga menempatkan ribuan perempuan Papua sebagai korban dari permainan geopolitik Barat di wilayah Timur Indonesia, banyak di antara mereka yang kehilangan suami dan keluarga akibat konflik berkepanjangan dan operasi militer di sana. Barat berusaha memisahkan Papua dari Indonesia dengan menunggangi gerakan-gerakan separatis di Papua, memainkan isu perbedaan etnis dan budaya, dan menguatkan kerjasama negara etnis Melanesia di Pasifik. Semua itu dilakukan melalui tiga elemen yakni gerakan separatis bersenjata, diplomatik dan politik, yang sejalan dengan upaya mereka untuk melemahkan negeri Muslim, juga sejalan dengan upaya mereka mengeruk kekayaan dari bumi Papua melalui Freeport.

Islam akan Menghapus Kekerasan Sejak Lapisan Terdalam
Hanya Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan, bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kehormatan perempuan. Dan hanya sistem Allah saja, Khilafah, yang menawarkan strategi yang jelas untuk melindungi kehormatan perempuan di tengah-tengah masyarakat melalui nilai-nilai dan hukum Islam yang saling melengkapi dalam mewujudkan tujuan ini. Khilafah adalah negara yang menolak prinsip-prinsip kapitalisme dan liberal, sebaliknya menggaungkan nilai-nilai ketakwaan dan pandangan Islam terhadap perempuan melalui sistem pendidikan, media, dan politik  sebagaimana sabda Nabi SAW:
إنما النساء شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم
Perempuan adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan memuliakannya kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali lelaki yang hina.”

Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali.  Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing.  Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat termasuk pada kaum perempuan.  

Dalam hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan penguasa untuk berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia.  Dalam sistem Islam tidak boleh ada diskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat.  Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya.  Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Intervensi asing pun harus ditolak dan dihentikan segala bentuk usaha yang dilakukan oleh segala bentuk gerakan separatisme dan internvensi asing yang akan memisahkan Papua dari wilayah Indonesia. Secara syar’iy, pemisahan suatu wilayah dari sebuah negeri muslim yang saat ini sudah terpecah belah hukumnya adalah haram.

Jadi menyelesaikan masalah Perempuan Papua, adalah dengan menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi pada kaum perempuan sejak lapisan terdalam; yaitu membangun masyarakat yang sehat dan kuat melalui pengokohan bangunan keluarga dan ketaqwaan sosial, kemudian memerankan negara yang mampu mengelola kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya.  Juga dengan mewujudkan negara berdaulat yang mandiri, maju dan terdepan yang akan  menolak segala bentuk intervensi asing yang mengancam kedaulatan negara.  Semua itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang Islami yaitu al-Khilafah Rasyidah berdasarkan metode kenabian.

Fika Komara



Wednesday, July 1, 2015

Hanya Qutaibah Kedua yang Akan Menghentikan Penindasan China terhadap Muslim Uighur



Berulangnya penindasan China terhadap Muslim Uyghur di bulan suci Ramadhan menuai reaksi keras dari Umat Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk Mesir, Indonesia dan Amerika. Insiden terbaru telah menewaskan 28 Muslim Uyghur karena mereka melawan pembatasan ibadah puasa oleh China yang sejak tahun lalu secara resmi diberlakukan kepada anggota partai, pegawai negeri, siswa, dan guru. "Tindakan ini jelas-jelas telah menyakiti hati umat Islam dunia" ujar, Anwar Abbas, seorang intelektual Muslim dan salah satu ketua dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara komunitas muslim Amerika yang diwakili CAIR mengirim surat kepada Presiden Xi Jin Ping, mendesak untuk mengakhiri semua penolakan dan sanksi negara dari kebebasan beragama yang menargetkan Muslim, termasuk puasa di bulan Ramadhan. Bahkan Universitas Al Azhar beserta Imam Besarnya, Ahmed al-Tayeb, mengutuk keras otoritas Cina yang telah melarang kaum Muslim, terutama dari kawasan Xinjiang, berpuasa dan menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan. 

Sungguh, penindasan Muslim Uighur ini tidak bisa dilepaskan dari sistem tata dunia yang terus memelihara rezim predator China dan rezim-rezim boneka Muslim Asia Tengah yang terus menarget muslim Uighur. Tata dunia kapitalistik hari ini telah menempatkan kepentingan ekonomi dan politik lebih tinggi dari kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia, termasuk hak beribadah kepada Allah Swt.

Kepentingan Geopolitik China di Asia Tengah : Memangsa Muslim Uighur


Bagi rezim China, ratusan nyawa Muslim Uyghur seperti tidak ada harganya, dibandingkan nilai kepentingan geopolitiknya di Turkestan Timur. Mega proyek China New Silk Road yang baru saja diluncurkan adalah salah satu indikasi kuatnya motivasi China memenangkan persaingan geopolitik baru di kawasan Asia Tengah. Beberapa pakar memperkirakan bahwa China mungkin akan menggusur peran AS dan Rusia di Asia Tengah - sebuah kawasan geostrategis penting bagi semua pihak. Apalagi penarikan pasukan militer AS dari Afghanistan akan meninggalkan kekosongan kekuasaan, dan resistensi negeri-negeri Asia Tengah terhadap Rusia membuat Cina semakin popular di mata rezim-rezim “stan” di Asia Tengah sebagai mitra dagang, keamanan dan pembangunan bersama. [i]

Meskipun proyek ini merupakan kepentingan ekonomi China dalam energi, bahan baku, dan pasar yang akan terus mendorong pertumbuhan ekonomi, namun tidak dapat dipahami hanya dari segi ekonomi saja. Karena kesepakatan puluhan miliar dollar (40 milliar US$) antara China dan negara-negara Asia Tengah yang telah dibuat adalah tentang penyaluran minyak dan gas dari negara-negara tetangga Asia Tengah langsung ke China melalui wilayah Xinjiang yang bergolak dimana 10 juta jiwa Muslim Uighur tinggal. Lebih jahat lagi, di tengah transaksi bisnis itu, semua negara anggota dan negara pengamat dari Shanghai Cooperation Organization (SCO) - serikat politik dan ekonomi yang dipimpin Cina - hampir semua menjanjikan dukungan mereka untuk memerangi apa yang disebut Beijing sebagai "terorisme Uighur”. [ii]

Atas nama kepentingan ekonomi dan geopolitik, rezim pemangsa China telah dengan sengaja menargetkan Muslim Uyghur, dengan dalih memerangi terorisme. China telah menempatkan kepentingan ekonomi dan politik lebih tinggi dari kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia.  Betapa murahnya harga nyawa Muslim di mata negara komunis-kapitalis seperti China! 

Hanya Qutaibah Kedua yang akan mampu menghentikan China!
Selain kepentingan ekonomi dan geopolitik, sikap psikopat China terhadap Muslim sebenarnya juga dilandasi oleh pengalaman sejarah ketidakberdayaan mereka menghadapi kekuatan Aqidah Islam. China menyadari betul dahsyatnya kekuatan ideology Islam yang sudah mereka rasakan sejak abad ke 6 M dan begitu cepat mempengaruhi masyarakatnya yang berbondong-bondong masuk Islam. Khilafah Islam di zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik menaklukkan wilayah Asia Tengah di bawah panglimanya Qutaibah bin Muslim yang dimulai sejak tahun 86 H/705 M. 

China semakin gemetar setelah mereka menyaksikan kekuatan kaum Muslim saat itu, yang berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Asia, dan tidak bisa dibendung oleh para penguasa di sana. Bagaimana pengkhianatan penguasa Bukhara, yang sebelumnya melakukan perjanjian damai, setelah sebelumnya dikepung oleh pasukan Qutaibah, namun mereka berkhianat. Setelah itu, mereka digempur habis-habisan oleh pasukan kaum Muslim di bawah panglima Qutaibah, hingga tunduk dengan paksa (‘anwah) tahun 87 H/706 M. Pengalaman ini mempunyai dampak politik yang luar biasa yang terukir dalam memori sejarah China, apalagi ketika Qutaibah berhasil menaklukkan kota Kashgar, Samarkand hingga berhasil menguasai jalur sutera perdagangan di Asia Tengah yang sangat penting bagi Cina dan dunia.

Sejarah pun akan kembali berulang, rezim predator Cina akan kembali menghadapi sosok Qutaibah kedua di bawah komando Khilafah Islam untuk yang kedua kalinya. Panglima seperti Qutaibah di bawah panji Islam akan membebaskan Muslim Uighur dan mengembalikan kekuatan geopolitik Islam di Asia Tengah, dimana darah, harta dan kehormatan setiap jiwa Muslim akan terlindungi, karena Khilafah adalah negara yang menempatkan nyawa seorang Muslim lebih berharga daripada seisi bumi, seperti sabda Rasulullah Saw :
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.
Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Nasa’I dan Tirmidzi).

Khilafah akan menggunakan seluruh perangkat dan sarana, mengerahkan segenap daya upaya, baik politik, ekonomi, dan militer untuk melindungi umat Islam dari penindasan, dan membela darah dan kehormatan karena Islam telah mewajibkannya. Khilafah akan mengerahkan kekuatan militernya secara penuh untuk membela Muslim tanpa memandang lagi dimana mereka berada dan berapapun biayanya. Hal ini karena Khilafah adalah negara yang berprinsip, berdasarkan nilai moral Islam yang luhur yang menempatkan kehormatan jiwa manusia di tempat yang tinggi, yang mewajibkan untuk melindungi darah kaum Muslim, dibandingkan sekedar melakukan tindakan hanya berdasar kepentingan nasional yang egois ataupun karena keuntungan ekonomi, sebagaimana Rasulullaah (Saw) bersabda :
إِنَّمَا الْإِمَامُ ‏‏جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya” (HR. Muslim)

Fika Komara





[i] The Diplomat  - China’s New Silk Road and Its Impact on Xinjiang http://thediplomat.com/2015/03/chinas-new-silk-road-and-its-impact-on-xinjiang/
[ii] Al Jazeera -  Bolstered Silk Road trade could hurt China’s Uighurs http://america.aljazeera.com/articles/2014/11/11/china-xinjiang-apec.html