URGENSI MEWUJUDKAN KESADARAN GEO-POLITIK ISLAM
MENUJU INDONESIA KUAT, MANDIRI DAN TERDEPAN
Oleh : Fika M.Komara
Potensi Geo-politik Indonesia
Indonesia
bukan hanya negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, namun juga merupakan
salah satu negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dan terletak di posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Konsekuensinya banyak jalur laut teritorial di Indonesia dilalui
oleh kapal-kapal asing, baik itu kapal niaga sampai kapal induk untuk
kepentingan perang. Hal ini menjadikan Indonesia layaknya aquarium raksasa yang
bebas dimasuki oleh lalu lalang kapal-kapal asing tesebut.
Ironisnya lalu
lalang kapal itu sudah menjadi kesepakatan hukum internasional, melalui apa
yang dinamakan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) suatu alur laut di wilayah
perairan Indonesia yang dapat dilewati oleh kapal dan pesawat udara asing
secara terus menerus dan langsung serta secepat mungkin yang telah
ditetapkan berdasarkan Hukum Laut Internasional /UNCLOS 1982.
Saat ini
Indonesia memiliki 3 ALKI dan 1 SloC (Sea Lane of Communication), yakni
:
·
ALKI I : Selat Sunda, Selat
Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan· ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi
· ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) - Laut Maluku, Samudera Pasifik
· ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke ALKI III-A
· SloC : Selat Malaka, yang merupakan jantungnya perdagangan maritim global
Penelaahan tentang ALKI dan SloC ini baru salah satu contoh potensi geopolitiks Indonesia yang berada pada ranah laut/maritim, kita belum menggali bagaimana potensi di ranah kontinental (darat) dan dirgantara (udara) di Indonesia.Meskipun hari ini jalur transportasi dunia memang paling dominan adalah melalui jalur maritim/laut.
Hegemoni Asing Mengkooptasi Potensi Geopolitik Indonesia
Meskipun Indonesia
telah menyediakan 3 jalur lintas damai –sebagai bentuk ratifikasi dari UNCLOS
1982- yang menghubungkan samudera Hindia
dan samudera Pasifik serta laut Cina Selatan, tetapi negara-negara Barat yang
memiliki ambisi tertentu, diprakarsai Amerika Serikat tetap menginginkan
tambahan ALKI IV yang menghubungkan dari Timur ke Barat melalui laut Jawa.
Keinginan ini disampaikan menteri pertahanan Amerika Serikat pada forum The
7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura tahun
2008(Ali Helvas,2008).
Maka terlihat
sekali posisi Indonesia yang sangat strategis ini ter-subordinasi oleh
kepentingan-kepentingan negara Barat melalui berbagai hukum dan perjanjian
internasional. Hal ini sebenarnya masuk akal mengingat jalur perdagangan dunia
hari ini berkorelasi dengan kepentingan dagang Negara-negara maju. Dari Asia
Timur ke Eropa hingga Amerika, hampir 90% perdagangan Internasional diangkut
melalui jalur laut. Dari 40% perdagangan Internasional itu semuanya melewati
jalur ALKI.
Rendahnya
Kesadaran Geopolitik
Mengutip Sri Edi
Swasono di artikelnya yang dimuat di harian Kompas berjudul “Kesadaran
Geografi Kita” yang menceritakan pengalaman mengajarnya di kelas, dimana ia
dapati ternyata para mahasiswanya tidak ada satupun yang mengenal Laut Sawu,
Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika, dan lokasi geografi strategis lain yang
berperan pada pola-pola interdependensi ekonomi internasional dan sangat
berpengaruh dalam kancah perpolitikan global. Menurutnya apabila
bangsa kita seperti yang ada di kelas itu, ini merupakan sesuatu pelumpuhan
sempurna (a complete disempowerment) atas suatu bangsa.
Rendahnya
kesadaran spasial atau kesadaran geografis masyarakat mengindikasikan belum
adanya budaya spasial dalam masyarakat. Kapitalisme yang telah
meng-individualisasi masyarakat membuat mereka tidak merasa sempit atau sesak
napas hidup di Indonesia hanya berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the
land beyond, ibarat miopi dan berkacamata sempit cukuplah hidup ini.
Ibaratnya, tidak perlu mengenal Nusantara berikut isi dan penghuninya yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Seolah
mereka tidak merasa risi tanpa tahu zero point keberadaan mereka.
Masyarakat yang
ideal adalah mereka yang memiliki kesadaran geografis tinggi, atau masyarakat
yang memiliki budaya spasial; suatu masyarakat yang biasa diistilahkan sebagai spatially
enabled society. Begitupun negara/ kepala negara yang ideal adalah yang
memiliki visi geopolitik dikenal dengan istilah spatially enabled
government. Kombinasi kesadaran antara dua pihak ini akan mendukung
tegaknya sebuah peradaban yang tinggi, yang tentu sangat dipengaruhi oleh
kekuatan ideologinya.
Ironisnya, rendahnya kesadaran geopolitik ini justru
terlihat dari para pemimpin negeri ini. Letak
Indonesia yang berada di posisi silang bukannya membuat bargaining position-nya menguat, malah menjadikan Indonesia bagai
“buku terbuka bagi militer asing”. Mantan Menhan Joewono Soedarsono
mengibaratkan Indonesia layaknya open
book bagi kekuatan militer asing
yang dapat dengan mudah dipantau kekuatannya oleh Amerika Serikat (AS),
Australia, Jepang, Rusia, Cina, bahkan Singapura dan Malaysia. Bahkan
menurutnya, hal ini sudah terjadi sejak tahun 1960-an.
Mantan Ketua Program Kajian Stratejik Ketahanan
Nasional UI, Wan Usman, menilai Pemerintah Republik Indonesia dalam banyak hal
terus-terusan didikte negara lain seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara
di Eropa, karena peta kekuatan militer di laut dan udara masih relatif lemah.
Menurutnya, era abad ke-21, suka atau tidak suka, negara yang mampu mendominasi
kekuasaan laut dan udara akan mengendalikan dunia, karena berkaitan dengan
kemampuan menguasai teknologi, termasuk profesionalisme militer. Amerika
Serikat dengan Armada lautnya (kapal selam) gentayangan di mana-mana,
menggerayangi lautan Indonesia, dengan gratis. Satelit ruang angkasa yang
dikontrolnya telah menguasai informasi di seluruh dunia.
Kesadaran
Geo-politik : Jalan Menuju Negara Besar Dan Kuat
Sebuah negara
besar, kuat dan terdepan pasti memiliki pemerintahan dan struktur masyarakat
yang kuat dan bervisi besar. Salah satu yang menunjang visi besar itu adalah
penguasaan aspek geopolitik atau geospasial. Di negara-negara maju, 80%
pengambilan kebijakan telah didasarkan kepada informasi geospasial. Apalagi Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan wilayah yang membentang luas, sekitar 8 juta
kilometer persegi, dari Sabang hingga Merauke. Indonesia juga memiliki sekitar
17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Indonesia. Kondisi yang demikian
luas dan kompleks memerlukan kesadaran geografis yang tinggi dari pemerintah
maupun rakyat Indonesia.
Sebenarnya kesadaran geopolitik itu merupakan turunan
dari konsepsi kesadaran politik; yang bermakna suatu pandangan yang universal
(mencakup seluruh dunia internasional)
dengan sudut pandang yang khas. Menurut Muhammad Muhammad Ismail,
selaras dengan definisi politik itu sendiri maka kesadaran politik itu tidak
lain adalah upaya manusia untuk memelihara urusan-urusannya. Pandangan yang universal dan sudut pandang
yang khas adalah dua unsur yang mutlak harus ada dalam membentuk kesadaran
politik pada diri seseorang atau komunitas.
Dari konsepsi penting ini, maka bisa diturunkan pada
makna kesadaran geopolitik. Prof. Gyula Csurgai, seorang pakar Geopolitik dari
Swiss mendefinisikan Geopolitik sebagai : Geopolitics
is a multi-dimensional method of analysing power rivalries of state and
non-state actors seeking the control of a given geographic zone. (Geopolitik
adalah metode multi dimensi dalam menganalisa persaingan kekuatan antara aktor
Negara dan non Negara dengan melakukan kontrol terhadap zona geografis yang
dimilikinya). Dari pengertian di atas bisa disederhanakan bahwa kesadaran
geo-politik adalah kesadaran Negara untuk memelihara urusan-urusannya
berdasarkan pengaturan/penataan terhadap zona geografis yang dimilikinya.
Manfaat dari kesadaran geo-politik tentu sangatlah
besar. Dengan kesadaran geo-politik yang komprehensif, sebuah negara dapat
mengelola potensi dan posisi geografisnya demi melindungi, menyejahterakan, dan
memajukan seluruh rakyatnya. Sebuah negara dengan kesadaran geo-politik artinya
memiliki kesadaran kewilayahan. Bayangkan, seorang kepala Negara yang memiliki
kesadaran geo-politik akan mampu mengelola potensi pertambangan, pertanian dan
perkebunan apa saja yang ada di wilayahnya sehingga dia mampu secara maksimal
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Seorang Jenderal yang memiliki
kesadaran geo-politik akan betul-betul menguasai posisi strategis wilayah
teritorialnya, sehingga mampu merancang strategi terbaik untuk mempertahankan
kedaulatan negaranya dan bahkan bisa melakukan ekspansi wilayah ke luar
negerinya.
Berangkat dari konsep ini, Indonesia sebagai
negeri muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan alam sekaligus kekayaan
geostrategi luar biasa seharusnya bisa mengelolanya dengan baik. Namun yang
kita dapati adalah kesadaran geostrategi/ geospasial yang masih rendah baik itu
di kalangan pemerintahan maupun masyarakat. Negara seolah absen dalam mengelola
seluruh potensi geografis ini disebabkan miskinnya visi politik pemimpin-pemimpinnya.
Konsep Wawasan Nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional yang dirancang
oleh pemimpin negeri ini pun nyaris tidak berfungsi sebagai kekuatan visi
politik yang mampu mengantarkan Indonesia sebagai negara kuat dan mandiri.
Visi Politik
Islam : Sumbu Kesadaran Geopolitik
Allah SWT berfirman: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ “Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad)
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).
Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat
bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah
Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
“Perkara ini
ibarat siang dan malam. Allah akan membuat Diin ini memasuki setiap rumah
penduduk di gurun, di desa, di kota dengan kejayaan ataupun kehinaan. Allah
akan memberikan kejayaan Islam, dan Allah akan menimpakan kehinaan pada
kekufuran”. (HR. Ahmad inb Hanbal, at-Tirmidzi).
Ayat dan hadist ini merupakan refleksi visi politik
Islam yang luhur sekaligus perintah bagi kaum Muslim untuk memiliki kesadaran
geopolitik yang luas tanpa batas dan sekat, karena umat Islam wajib menegakkan
Islam bagi seluruh umat manusia di dunia yang berada di seluruh penjuru bumi
ini. Umat Islam mempunyai tugas mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia,
mereka harus melakukan kontak dengan dunia dengan menyadari keadaan-keadaannya,
memahami problem-problemnya, mengetahui motif-motif politik berbagai negara dan
bangsa, dan mengikuti aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia.
Rasulullah Saw
adalah suri teladan terbaik dalam penguasaan geopolitik, dan hal ini beliau
tunjukkan sejak tahun-tahun pertama berdirinya negara Islam di Madinah. Sadar
bahwa kekuatan ekonomi Makkah masih lebih besar dibandingkan negara Islam di
Madinah, maka Rasul memulai langkah dari hal yang paling strategis yakni
melalui pemetaan jalur perdagangan Makkah ke Syam. Dalam kitab Sirahnya,
al-Mubarakfury menuturkan strategi yang diterapkan Rasulullah adalah terlebih
dahulu melemahkan kekuatan ekonomi Quraisy dengan menguasai jalur perdagangan
Makkah-Syam. Caranya, pasukan muslim mengadakan perjanjian persekutuan atau
perjanjian untuk tidak memusuhi kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar jalur
tersebut. Dilakukan pula ekspedisi-ekspedisi militer secara bergantian ke jalur
tersebut. Ekspedisi militer itu bertujuan mengenalkan kaum muslim pada medan di
sekeliling Madinah. Misi lainnya, membangun citra kepada orang-orang Yahudi dan
Arab Badui sekitar bahwa kaum Muslimin telah memiliki kekuatan.Dan ternyata
berbagai manuver geopolitik-geostrategis ini berjalan efektif menciptakan
suasana perang urat syaraf sehingga menimbulkan rasa gentar pada kaum Qurays
kala itu.
Langkah-langkah
strategis yang dicontohkan Rasulullah Saw ini menunjukkan penguasaan dan
kesadaran geopolitik adalah salah satu komponen penting dalam mewujudkan sebuah
negara besar dengan peradabannya yang tinggi, meski tentu tidak bisa dilepaskan
dari kekuatan Ideologi Islam yang menjadi ruh dari kesadaran geopolitik
masyarakat Muslim kala itu.
Kesadaran yang
besar akan potensi geopolitik terus berlanjut pada estafet peradaban Islam
berikutnya. Dimana masyarakat Islam adalah masyarakat yang spatially
enabled society, dan tentu saja para pemimpin-pemimpinnya. Visi geopolitik
terpancar dengan kuat dari pemimpin-pemimpinnya sekaligus juga rakyatnya. Misi
mulia pembebasan manusia melalui Dakwah dan Jihad melahirkan sosok-sosok
seperti Muhammad al Fatih sang penakluk Konstantinopel, juga Thariq bin Ziyad
sang penyebrang choke-point Gibraltar.
Kisah keteladanan Thariq bin Ziyad yang
memiliki keberanian yang luar biasa menggugah Iqbal, seorang
penyair Persia, untuk menggubahnya dalam
sebuah syair berjudul”Piyam-i Mashriq”: “Tatkala Tariq
membakar kapal-kapalnya di pantai Andalusia (Spanyol), Prajurit-prajurit
mengatakan, tindakannya tidak bijaksana. Bagaimanabisa mereka
kembali ke negeri asal, dan perusakan peralatan adalah bertentangan
dengan hukum Islam. Mendengar itu semua, Tariq menghunus pedangnya, dan menyatakan
bahwa setiap negeri kepunyaan Allah Swt adalah kampung halaman kita.” Thariq
bin Ziyad adalah seorang budak Barbar memimpin 12.000 anggota
pasukan muslim menyeberangi selat Gibraltar, salah satu chokepoint
antara Afrika dan daratan Eropa untuk membebaskan rakyat spanyol dari
kezhaliman penguasanya.
Penutup
Negeri ini
mungkin akan punya kisah yang berbeda, jika sedari awal mencanangkan visi
politik Islam sebagai asas dalam mengelola seluruh potensi geografis/
geospasialnya. Hegemoni asing tidak akan bisa mengangkangi dan mengkooptasi
potensi geostrategi Indonesia. Apalagi Indonesia adalah negeri muslim terbesar
di dunia yang memiliki kekayaan alam sekaligus kekayaan geostrategi luar biasa.
Sebenarnya jika mau mudah saja bagi Indonesia untuk menggertak negara-negara besar, karena skenario pemblokadean ALKI dan atau selat Malaka adalah yang paling ditakuti oleh Barat dan Asia TImur. Jika Indonesia bisa mengontrol dengan baik keberadaan jalur-jalur ini dengan visi politik Islam yang kuat, ditambah pengelolaan kekayaan negeri yang mandiri, niscaya dengan cepat Indonesia muncul sebagai kekuatan besar di dunia.