JEJAK
POLITIK ISLAM PADA MINORITAS MUSLIM ASIA TENGGARA
Oleh
: Fika M. Komara[1]
Minoritas Muslim di Asia Tenggara termasuk
jarang mendapat perhatian dunia. Padahal kehidupan Muslim Thailand, Muslim
Myanmar, dan Muslim Filipina tidak kalah mengenaskan dari penderitaan umat
Islam di Palestina dan Suriah.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang
disebut-sebut sebagai global epicenter of cultural diversity, yaitu
kawasan dengan tingkat heterogenitas budaya yang sangat tinggi. Karena itu
meski jumlah umat Islam sangat besar di kawasan ini, tapi tetap tidak menjadi
entitas dominan seperti di kawasan Timur Tengah, sebagian umat Islam di Asia
Tenggara hidup menjadi kalangan minoritas di negerinya.
Jika batas negara bangsa digantikan
dengan batasan ethno-religious, maka
akan terbentuk sebuah busur panjang homogen yang menandakan identitas
Muslim di Asia Tenggara yang terbentang dari Myanmar Barat Laut, Thailand
Selatan, melalui semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, area pantai Kalimantan,
sampai kepulauan Sulu dan sebagian Mindanao pada Filipina Selatan.
Realitas geopolitik menunjukkan
penyebaran Islam di Asia Tenggara memiliki dua pola perkembangan, yang pertama
Islam muncul sebagai agama mayoritas di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti
di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam; dan pola kedua Islam tumbuh
sebagai kelompok minoritas di lingkungan yang mayoritasnya agama lain seperti
di Thailand, Filipina dan Myanmar.
Sejarah
Masuknya Islam di Filipina, Thailand dan Myanmar
Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad ke-7 M
yang disebarluaskan melalui medium kegiatan perdagangan. Hal ini berbeda dengan
daerah Islam di belahan dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklukan (futuhat(.
Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan
sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara. Termasuk pula di
Thailand, Filipina dan Myanmar.
1. Thailand
: Kesultanan Pattani
Jumlah penduduk muslim di Thailand hanya
5,5% dari keseluruhan penduduknya. Mereka tinggal di wilayah Selatan yang
berbatasan dengan Malaysia. Mereka tersebar di empat propinsi yakni Pattani,
Yala, Narathiwat dan Satun. Mengingat nama Pattani memiliki sejarah yang
panjang maka wilayah kantung Muslim di Thailand ini seringkali hanya disebut
sebagai Pattani.
Sampai tahun 1786 Pattani adalah kerajaan
yang besar, karena menjadi pusat perdagangan penting Asia dan Eropa. Ajaran Hindu
dan Budha banyak mewarnai praktek keseharian masyarakat di sana, hingga Islam
datang dan mereka mulai mengadopsi Islam pada abad ke-15. Islam sendiri hadir
di Pattani antara abad ke-12 hingga 15 melalui aktivitas perdagangan.
Perkembangan Islam semakin meningkat, saat kerajaan Pattani menyatakan dirinya
sebagai negara Islam pada tahun 1457.
Kerajaan Melayu Pattani mengalami masa
kejayaannya pada masa pemerintahan raja-raja perempuan (1584-1624). Pada masa
itu Pattani telah muncul sebagai pusat perdagangan. Ijzerman, seorang pedagang
belanda, menyatakan bahwa Pattani adalah “pintu masuk” ke wilayah China
selatan. Namun kerajaan Pattani mengalami kemerosotan, disebabkan oleh konflik
perebutan kekuasaan antara sesama pewaris kerajaan. Intensitas perang saudara
yang kerap terjadi menyebabkan situasi keamanan tidak terjamin, sehingga Petani
tidak lagi menjadi tumpuan pedagang. Hal ini terus berlanjut sampai abad ke-18.
Phraya Chakri, Raja Siam yang baru saja
mengalahkan Burma di Ayuthia, menyerang dan menundukkan Pattani pada 1785. Dan
setelah itu kerajaan Pattani berada di bawah kendali kekuasaan Siam, meskipun
Kerajaan Pattani masih diberi otonomi untuk mengurus pemerintahannya sendiri.
2. Filipina
: Kesultanan Sulu dan Mindanao
Di Filipina jumlah penduduk Muslim hanya
sekitar 6% dari total jumlah penduduknya. Mereka menempati wilayah bagian
Selatan terutama di kepulauan Mindanao dan Sulu yang dikenal dengan propinsi
Moro.
Pada masa lalu Mindanao adalah kerajaan
merdeka, kemudian pada akhir abad ke -13 para pedagang Arab datang bersamaan
dengan datangnya mereka ke Siam (Thailand). Sejak saat itu Islam berkembang dengan baik,
dan pada akhir abad ke-14 di Mindanao telah berdiri Kesultanan Islam.
Sementara itu Sulu juga merupakan daerah
kepulauan yang berada di bagian Selatan Filipina, kota ini merupakan jalur
perdagangan dan menjadi salah satu kekuatan politik pada abad ke 15. Seperti
halnya Mindanao, Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang
melewati jalur perdagangan Malaka, Borneo dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu
adalah Syarif Karim Al-Makdum, Mubalig Arab yang ahli dalam ilmu pengobatan.
Abu Bakar, seorang dai dari Arab, menikah dengan putri pangeran Bwanas dan
kemudian memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Para penguasa Kesultanan Sulu di Filipina
Selatan yang di mulai sejak Syarif Abu Bakar atau Sultan Syarif Al-Hasyim
(1405-1420 M) hingga Sultan Jamalul Kiram II (1887) berjumlah 32 Sultan.
Tahun 1565 Spanyol mendarat di Mindanao
dan Sulu, mereka menyerang kesultanan Islam hingga 350 tahun lamanya. Walaupun
demikian Spanyol tidak pernah berhasil menguasai kesultanan Islam.
Setelah Spanyol kalah dalam perang dunia
kedua melawan Amerika Serikat tahun 1898, Filipina diserahkan ke Amerika
Serikat. Wilayah Mindanao dan Sulu yang tidak pernah dikuasai oleh Spanyol ikut
pula diserahkan ke AS. Masyarakat Islam di sana berontak melawan pendudukan
Amerika dan akhirnya pada 20 Agustus 1899, Sultan Sulu menandatangani
perdamaian dengan Amerika. Tetapi kemudian tahun 1902, AS menciptakan propinsi
Moro yang meliputi Mindanao dan Sulu, sejak saat itu wilayah Filipina Selatan
dikontrol langsung oleh Manila.
3. Myanmar
: Kesultanan Arakan
Jumlah muslim di Myanmar paling besar
dibandingkan Filipina dan Thailand, jumlahnya mencapai 15% yakni sekitar 7 juta
jiwa. Setengah dari jumlah muslim Myanmar tersebut berasal dari Arakan, suatu
propinsi di Barat Laut Myanmar. DI sebelah utara, wilayah Arakan mempunyai
perbatasan dengan Bangladesh sepanjang 170 km; di sebelah Barat berbatasan
dengan pantai yakni Laut Andaman.
Semula Arakan bernama Rohang.
Masyarakatnya disebut Rohingya. Pada 1430 Rohingya menjadi kesultanan Islam
yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Syah dengan bantuan masyarakat Muslim di
Bengal (sekarang Bangladesh). Kemudian nama Rohingya diganti menjadi Arakan
(bentuk jamak dari kata arab ‘rukun’ yang berarti tiang/ pokok) untuk
menegaskan identitas keislaman mereka.
Islam mulai datang ke negeri Burma
(Myanmar Sekarang) ini di mulai sejak awal hadirnya Islam, Yakni abad ke-7
dimana daerah Arakan telah banyak disinggahi oleh para pedagang Arab, Arakan
merupakan tempat terkenal bagi para pelau Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia
Tengah, dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka
melalui jalur darat dan laut.
Pendatang tersebut banyak yang tinggal di
Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat. Percampuran suku tersebut
terbentuk suku baru, yaitu suku Rohingya. Oleh karena itu, Muslim Rohingya yang
menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7. Para
pedagang yang singgah di pantai pesisir Burma mulai menggunakan pesisir pantai
dari Negara Burma (Myanmar) sebagai Pusat persingahan dan juga dapat dijadikan
sebagai sebuah tempat reparasi kapal. Dapat diketahui bahwa Islam mulai masuk
ke Burma di bawa oleh para pedagang Muslim yang singgah di pesisir pantai
Burma. Pada masa kekuasaan perdagangan Muslim di Asia Tenggara mencapai
puncaknya, hingga sekitar abad ketujuh belas, kota-kota di pesisir Burma, lewat
Koneksi kaum Muslim, masuk ke dalam jaringan dagang kaum Muslim yang lebih
luas. Bahkan ketika dominasi kaum Muslim tetap memainkan peran penting di
kawasan ini. Mereka tidak hanya aktif di bidang perdagangan, melainkan juga
dalam pembuatan dan perawatan kapal. Suatu ketika di abad ketujuh belas sebagian
besar propinsi yang terletak di jalur perdagangan dari Mergui sampai Ayutthaya
praktis dipimpin oleh gubernur Muslim dengan para administrator tingginya yang
juga Muslim.
Geostrategi
Dakwah Islam melalui Jalur Perdagangan Asia Tenggara
Penyebaran dakwah Islam melalui
aktivitas perdagangan (tanpa peperangan) bukan berarti menunjukkan aktivitas
tersebut tidak politis atau tidak terorganisir. Istilah ‘pedagang arab’ yang
sering digunakan dalam literatur sejarah seolah mengesankan penyebaran Islam
yang terjadi hanya secara perorangan dan sporadis.
Sebaliknya, hubungan antara kaum
Muslimin melayu Asia Tenggara dengan Ulama Timur Tengah telah terjalin sejak
masa awal-awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Anak benua
India yang mendatangi Asia Tenggara tidak hanya berdagang, tetapi juga membawa
misi tertentu untuk menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Meski cukup sulit dibuktikan secara
ilmiah, namun dalam perspektif geopolitik kita akan mudah melihat bahwa
penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak terjadi secara sporadis, melainkan
terencana dan berkesinambungan.
Jika dilihat lebih jeli peta sebaran
umat Islam di Asia Tenggara, maka kita akan dapati hampir semua titik-titik
kekuatan umat Islam di Asia Tenggara memiliki nilai geopolitik yang sangat
strategis. Posisi Kesultanan Arakan yang berada di Teluk Benggala merupakan
garis pantai yang sangat penting dalam jalur perdagangan dunia sampai hari ini.
Posisi Kesultanan Pattani yang terletak di Tanah Genting Kra, sebuah jembatan
darat sempit yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan daratan Asia, yang
juga merupakan akses terdekat ke Laut China Selatan. Begitu juga letak kepulauan
Sulu dan Mindanao yang tidak kalah
strategisnya.
Tentu muncul pertanyaan apakah
mungkin ini terjadi secara sporadis? Semua ini disebabkan penyebaran Islam di
Asia Tenggara didrive secara terintegrasi pada jalur-jalur perdagangan
maritim dalam waktu yang lama dan berkesinambungan yang melibatkan semua unsur
umat Islam baik itu ulama, penguasa bahkan rakyat biasa.
Perkembangan pelayaran dan
perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China
melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya
kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya
(abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749). Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad
ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China.
Ini merupakan bukti bahwa masyarakat
Islam yang sering diilustrasikan sebagai “pedagang arab” dalam ilmu sejarah
adalah mereka yang memiliki kesadaran geografis tinggi. Suatu masyarakat yang
biasa diistilahkan sebagai spatially enabled society. Begitupun
negara/ kepala negara yang ideal adalah yang memiliki visi geopolitik dikenal
dengan istilah spatially enabled government. Kombinasi kesadaran
antara dua pihak ini didukung oleh sebuah peradaban Islam yang tinggi, yang
tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan ideologinya.
Visi Politik Islam :
Sumbu Kesadaran Geopolitik
Allah SWT berfirman: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ “Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai
rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).
Rasulullah
Saw bersabda : “Allah memperlihatkan
kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan
aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim,
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
“Perkara ini ibarat siang dan malam. Allah
akan membuat Diin ini memasuki setiap rumah penduduk di gurun, di desa, di kota
dengan kejayaan ataupun kehinaan. Allah akan memberikan kejayaan Islam, dan
Allah akan menimpakan kehinaan pada kekufuran”. (HR. Ahmad inb Hanbal,
at-Tirmidzi).
Ayat
dan hadist ini merupakan refleksi visi politik Islam yang luhur sekaligus
perintah bagi kaum Muslim untuk memiliki kesadaran geopolitik yang luas tanpa
batas dan sekat, karena umat Islam wajib menegakkan Islam bagi seluruh umat
manusia di dunia yang berada di seluruh penjuru bumi ini. Umat Islam mempunyai
tugas mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia, mereka harus melakukan
kontak dengan dunia dengan menyadari keadaan-keadaannya, memahami
problem-problemnya, mengetahui motif-motif politik berbagai negara dan bangsa,
dan mengikuti aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia.
Rasulullah Saw adalah suri teladan
terbaik dalam penguasaan geopolitik, dan hal ini beliau tunjukkan sejak
tahun-tahun pertama berdirinya negara Islam di Madinah. Sadar bahwa kekuatan
ekonomi Makkah masih lebih besar dibandingkan negara Islam di Madinah, maka
Rasul memulai langkah dari hal yang paling strategis yakni melalui pemetaan
jalur perdagangan Makkah ke Syam. Dalam kitab Sirahnya, al-Mubarakfury
menuturkan strategi yang diterapkan Rasulullah adalah terlebih dahulu
melemahkan kekuatan ekonomi Quraisy dengan menguasai jalur perdagangan
Makkah-Syam. Caranya, pasukan muslim mengadakan perjanjian persekutuan atau
perjanjian untuk tidak memusuhi kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar jalur
tersebut. Dilakukan pula ekspedisi-ekspedisi militer secara bergantian ke jalur
tersebut. Ekspedisi militer itu bertujuan mengenalkan kaum muslim pada medan di
sekeliling Madinah. Misi lainnya, membangun citra kepada orang-orang Yahudi dan
Arab Badui sekitar bahwa kaum Muslimin telah memiliki kekuatan.Dan ternyata
berbagai manuver geopolitik-geostrategis ini berjalan efektif menciptakan
suasana perang urat syaraf sehingga menimbulkan rasa gentar pada kaum Qurays
kala itu.
Kesadaran yang besar akan potensi
geopolitik terus berlanjut pada estafet peradaban Islam berikutnya. Visi
geopolitik terpancar dengan kuat dari pemimpin-pemimpinnya sekaligus juga
rakyatnya. Misi mulia pembebasan manusia melalui Dakwah dan Jihad melahirkan
sosok-sosok seperti Muhammad al Fatih sang penakluk Konstantinopel, juga Thariq
bin Ziyad sang penyebrang choke-point Gibraltar.
Kisah keteladanan Thariq bin Ziyad yang memiliki keberanian yang luar
biasa menggugah Iqbal, seorang penyair Persia, untuk
menggubahnya dalam sebuah syair berjudul”Piyam-i
Mashriq”: “Tatkala Tariq membakar kapal-kapalnya di pantai Andalusia
(Spanyol), Prajurit-prajurit mengatakan, tindakannya tidak
bijaksana. Bagaimana bisa mereka kembali ke negeri
asal, dan perusakan peralatan adalah bertentangan dengan hukum Islam.
Mendengar itu semua, Tariq menghunus pedangnya, dan menyatakan
bahwa setiap negeri kepunyaan Allah Swt adalah kampung halaman kita.”
Thariq bin Ziyad adalah seorang budak Barbar memimpin 12.000 anggota
pasukan muslim menyeberangi selat Gibraltar, salah satu chokepoint
antara Afrika dan daratan Eropa untuk membebaskan rakyat spanyol dari
kezhaliman penguasanya.
Referensi
:
Dr. H. Saifullah, SA. MA, Sejarah Dan
Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Seri
penelitian PPW-LIPI, Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara :
Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000
Azyumardi
Azra, JARINGAN ULAMA Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, cet-2, 2005
No comments:
Post a Comment