KAPITALISME MENGEKSPLOITASI PULUHAN JUTA KAUM LEMAH
SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA
Oleh : Fika M. Komara, M.Si
Pada tanggal 9 Januari
2013, untuk pertama kalinya organisasi pekerja internasional (ILO) meluncurkan
laporan globalnya terkait pekerja rumah tangga di seluruh dunia. Laporan yang
bertajuk “Domestic workers around the world” itu menyebutkan bahwa saat
ini ada sekitar 53 juta pekerja rumah tangga di dunia dimana 83 persennya
adalah kaum perempuan dan anak perempuan, dan banyak di antara mereka adalah
pekerja migran. Luar biasa, artinya lebih dari 43 juta perempuan telah
dipekerjakan sebagai pengasuh, tukang masak, pembersih rumah, dan pembantu
rumah tangga. Jumlah ini melonjak sebesar 19 juta orang selama 18 tahun
terakhir dari data pertengahan 1990-an. Bahkan menurut Martin Oelz, pakar hukum
perburuhan ILO, laporan yang berasal dari hasil survey 117 negara ini sebenarnya
belum mewakili angka sebenarnya dari seluruh pekerja domestik seluruh dunia, angka
sebenarnya bisa mencapai puluhan juta lebih besar. Laporan ini menurutnya juga tidak
memasukkan data pekerja anak domestik yang berusia di bawah 15 tahun yang pernah
dilaporkan ILO tahun 2008 berjumlah 7,4 juta orang.
Namun yang
menyedihkan, disamping temuan jumlah yang fantastis, adalah temuan bahwa para
pekerja domestik (PRT) ini sering mengalami kekerasan dan eksploitasi dari
lingkungan kerjanya. Sarah Polaski, wakil direktur ILO bahkan menyatakan bahwa
para PRT ini acap kali harus bekerja lebih lama dari jam kerja normal, dan di
banyak negara mereka tidak memiliki hak yang sama untuk beristirahat seperti
yang didapat oleh pekerja di sektor lain; di samping itu ujarnya,
ketergantungan yang tinggi terhadap majikan dan karakter pekerjaan domestik
yang tertutup membuat mereka menjadi sangat rawan terhadap eksploitasi dan
kekerasan. Lingkungan kerja mereka tersembunyi di balik pintu, karena mereka
bekerja untuk individu, rumah tangga dan keluarga, dan bukanlah di lokasi kerja
biasa seperti perkantoran, pertokoan atau pabrik-pabrik. Apalagi sebagian besar
para PRT ini adalah pekerja migran dimana mereka asing dengan budaya dan bahasa
lokal tempat mereka bekerja. Tidak berlebihan akhirnya jika kita katakan bahwa
40 juta kaum perempuan ini sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual
bahkan pembunuhan; sudah banyak cerita tentang berbagai kekerasan yang dialami
para PRT migran ini - dipukuli sampai mati, dibakar dengan setrika panas, diperkosa, dikurung, dan lain sebagainya. Untuk kasus Indonesia saja, setiap
tahun jumlah kekerasan dan kematian TKW di luar negeri semakin meningkat, data
dari Migrant Care Indonesia menyebutkan kasus kekerasan mencapai angka 5.314
orang, di tahun 2009, sedangkan tahun 2010 kasus kematian mencapai angka 1.075
orang.
Sebagian besar orang
mungkin akan bertanya dan heran apa penyebab lonjakan angka sebesar ini, kenapa
puluhan juta perempuan tetap mau bekerja menjadi PRT dan bahkan bermigrasi
ribuan kilometer hanya untuk profesi yang beresiko ini? Jawabannya tidak lain
adalah faktor kemiskinan dan kesenjangan global. Kemiskinan dan rendahnya
kesejahteraan di negerinya telah memaksa jutaan perempuan ini meninggalkan
rumah dan anak-anak mereka demi sesuap nasi, dan kebanyakan mereka berasal dari
kawasan negara-negara dunia ketiga yakni yang terbesar 21,4 juta jiwa dari Asia
Pasifik, lalu berikutnya dari Amerika Latin dan Karibia sebesar 19,6 juta jiwa.
Ya tidak salah lagi, kesenjangan global dan kemiskinan-lah penyebab fenomena
mengglobalnya industri pekerja rumah tangga di dunia saat ini. Penerapan
Kapitalisme global di negeri-negeri muslim dan seluruh dunia dengan prinsip pasar bebas - laissez
faire-laissez passer - dan model
keuangan berbasis riba-nya yang menyebabkan kekayaan hanya
terkonsentrasi pada kalangan elit sehingga telah menyebarluaskan derita
kemiskinan di dunia Islam dan negara-negara dunia ketiga dimana kondisi
berikutnya kemudian melahirkan eksploitasi transnasional pekerja migran
domestik secara massal.
EKSPLOITASI KAUM LEMAH DALAM KAPITALISME
Penerapan
ideologi Kapitalisme telah menciptakan jurang kesenjangan global di antara
negara maju dan negara berkembang terutama di dunia Islam dan menyebarluaskan
kemiskinan di kalangan umat Islam. Lapangan kerja yang minim bagi kaum
laki-laki, melambungnya harga kebutuhan pokok, dan tingginya biaya hidup di
dalam negeri membuat jutaan perempuan tak punya pilihan lain selain bekerja
menyambung hidup menjadi PRT di negeri orang. Ditambah cara pandang Kapitalis telah
membuat kaum perempuan lebih diminati karena mereka adalah tenaga kerja tekun
dan murah untuk jenis pekerjaan domestik, tanpa mempertimbangkan bahwa
perempuan termasuk kalangan rentan (vulnerable people) yang berpotensi
mengalami resiko kekerasan fisik maupun seksual lebih besar dari pada
masyarakat umum lainnya. Apalagi perempuan acap kali hanya dilihat oleh para
kuasa modal sebagai objek seksualitas dan mesin pencetak uang, dan ini semakin
mendorong kejahatan eksploitasi ekonomi terhadap kaum perempuan.
Nilai-nilai dasar Kapitalisme memang berkontribusi
besar membangun cara pandang yang eksploitatif pada kaum miskin dan lemah. Kapitalisme dengan prinsip dasarnya -
sekulerisme, pragmatisme dan hedonisme – serta adanya prinsip ekonomi yakni
kebebasan kepemilikan; sangat berperan membentuk masyarakat yang egois dan
eksploitatif. Setiap anggota masyarakat akan selalu menghitung 'harga' dan 'keuntungan'
dari setiap hubungan sosial dan praktek-praktek kehidupan yang mereka jalani,
mengalahkan semua nilai yang lain, apakah itu nilai kemanusiaan, moral maupun
spiritual.
Maka tak heran, sistem
nilai ini pun sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat di setiap level, dari
tingkat individu hingga negara. Bisa
kita lihat dari mind-set pekerja wanita yang tidak ragu mengorbankan
peran utama mereka sebagai ibu dari anak-anak mereka hanya demi pekerjaan meski
beresiko nyawa, dan kitapun bisa menyaksikan diktatorisme kalangan majikan
(pemilik modal/ pekerjaan) terhadap para pekerjanya dengan
upah minimum tanpa memperhatikan dampak pada pekerja, juga
tertangkap jelas bagaimana perusahaan perekrut yang mengatur bisnis
ini sedemikian rupa dengan mencari keuntungan dari
derita kemanusiaan, dan terakhir yang
paling menyedihkan adalah pemerintah di seluruh dunia Muslim yang inkompeten menyejahterakan
rakyatnya didalam negeri sekaligus tidak peduli tentang
hak-hak pekerja yang mereka kirim ke
luar negeri layaknya komoditas demi sekedar angka remitansi ekonomi - kekhawatiran mereka hanya
kepentingan nasional, dampak dari konsep nasionalisme
yang korosif. Walhasil kaum perempuan ini menjadi korban
dari dua keadaan sekaligus, yakni :
(1) Politik
perburuhan Kapitalisme yang zhalim
(2) Absennya
peran negara dalam melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja sekaligus sebagai
warganegara
Kondisi yang pertama, yakni perempuan sebagai korban
dari politik perburuhan Kapitalisme, ditunjukkan dari pola eksploitasi yang
tidak jauh dari 3 bentuk ini : (1) Jam
kerja yang sangat panjang, nyaris tanpa waktu istirahat yang cukup, (2) Gaji
yang rendah dan sering tidak dibayarkan tepat pada waktunya, dan (3) Tindakan
sewenang-wenang dari para majikan yang memperlakukan mereka secara kasar baik
fisik maupun seksual. Semua persoalan ini sebenarnya berpangkal pada problem perburuhan
yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang menerapkan Kapitalisme. Sejak permulaan,
kebijakan dan paradigma perburuhan Kapitalis telah menciptakan hubungan yang
asimetrik antara pekerja dan majikannya. Pekerja dan majikan ditempatkan dalam
strata/ kelas yang berbeda yang cenderung mendiskriminasikan pekerja karena
posisi tawar mereka yang rendah, sementara majikan memiliki posisi tawar yang
lebih kuat karena mereka memiliki modal. Selain itu, Kapitalisme juga telah menjadikan living cost sebagai standar kelayakan bagi upah pekerja. Politik buruh murah dimana ide “upah minimum”
didasarkan adalah hasil dari cacatnya metode penentuan upah ala Kapitalisme. Dengan kata lain, para pekerja
tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya
mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Jadi, masalah perburuhan
yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem
Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan dan living cost terendah yang
dijadikan sebagai standar penentuan gaji pekerja. Karena itu, masalah perburuhan
ini akan selalu ada selama relasi antara pekerja dan majikan dibangun
berdasarkan sistem ini.
Sementara untuk kondisi yang kedua, yakni absennya peran
negara –khususnya negeri-negeri Muslim – dalam melindungi hak-hak pekerja dan
warganya justru inilah sebenarnya yang menjadi sebab primer terjadinya
eksplotasi terhadap jutaan perempuan sebagai pekerja domestik; akibat abainya
mereka dalam dua hal yakni (1) menjamin kesejahteraan rakyatnya di dalam negeri
dan (2) memberi jaminan perlindungan terhadap mereka yang bekerja di luar
negeri. Para pemimpin boneka ini terbukti inkompeten menyelesaikan kemiskinan
di negerinya dan menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya. Mereka
juga nyaris selalu terbukti gagal menyelesaikan problem negerinya yang dipenuhi
dengan persoalan korupsi, ketergantungan terhadap Barat dan utang luar negeri, dan
ketidakmampuan mengelola SDA. Pemimpin negara-negara ini juga jauh lebih peduli
pada kepentingan ekonomi nasional mereka dengan menjadikan warga negaranya
sendiri sebagai komoditas untuk melayani permintaan tenaga kerja domestik di
luar negeri, tanpa upaya serius menjamin perlindungan hukum bagi hak-hak
rakyatnya sebagai pekerja di luar negeri. Negeri-negeri Muslim juga telah terperangkap
oleh ide nasionalisme korosif yang telah mendehumanisasi mereka yang bukan dari
bangsanya dan melestarikan kondisi kemiskinan di negeri-negeri Muslim, ide ini
jelas telah berkontribusi dalam kekerasan yang menimpa para PRT. Walhasil
kondisi ini adalah penyebab utama yang membuat puluhan juta perempuan mengalami
banyak penderitaan akibat eksploitasi sebagai PRT.
Dua kondisi ini, yakni zhalimnya politik perburuhan
Kapitalisme dan absennya peran negara, meniscayakan berbagai upaya dan
inisiatif global untuk menyelesaikan problem ini selalu menemui jalan buntu. Dua
keadaan tadi telah membentuk sistem yang kuat dan mengakar sehingga berbagai
upaya di semua level seperti revisi UU perburuhan, perjanjian antara negara
pengirim dan penerima PRT, dan pembentukan serikat pekerja selalu gagal dan
tidak pernah menyentuh akar persoalan sebenarnya. Termasuk inisiatif ILO
melalui konvensi tentang pekerja domestik no. 189 tahun 2011 yang mengatur
aspek kelayakan pekerjaan bagi PRT di seluruh dunia, jelas terlihat konvensi
ini menghadapi tantangan yang begitu berat dari tata dunia yang multipolar
karena sejauh ini baru sekitar 4 negara didunia yang bersedia meratifikasinya,
padahal problem pekerja domestik ini melanda setidaknya di 117 negara
berdasarkan survey ILO. Inisiatif global ini jelas tidak akan membuahkan hasil karena
kebanyakan negara tentu akan selalu mengedepankan kepentingan ekonomi
nasionalnya melebihi hak-hak pekerja domestik. Selama ideologi Kapitalis,
sistem nilai dan prinsip-prinsip ekonominya terus berlaku diterapkan di
negara-negara ini, maka semua upaya ini nyaris tiada artinya karena tidak akan
mampu mengimbangi derasnya arus ekonomi global Kapitalisme yang diadopsi oleh
ratusan negara hari ini.
POLITIK PERBURUHAN DI DALAM ISLAM
Islam berbeda secara diametral dengan ideologi
Kapitalisme, bahkan berlawanan dan bertentangan. Karena itulah Islam sebagai
ideologi menentang keras nilai-nilai materialisme, hedonisme yang berasal dari pandangan hidup Kapitalisme.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan ideologi Islam
yang memiliki fokus utama pada misi penciptaan dan pelaksanaan hukum-hukum
Allah, sebagaimana firman Allah Swt :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ
وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
hanya untuk beribadah kepada-Ku.“ (QS. Al-Dzariyyat:56).
Berbeda 180 derajat dengan Kapitalisme, Islam
membangun masyarakatnya dengan landasan Aqidah Tauhid, konsep kehidupannya
berjalan untuk menaati perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya,
dan makna kebahagiaannya adalah Ridho Allah SWT. Sistem nilai Islam menciptakan
identitas khas dalam masyarakatnya, yang memandang kemuliaan manusia itu dari
ketaqwaannya bukanlah dari materi ataupun atribut fisik lainnya. Nilai-nilai
hidup Islam tidak akan pernah menempatkan materi di atas moralitas, atau uang
di atas harkat manusia, meski mereka miskin sekalipun. Hal ini juga akan
mematahkan gambaran kepribadian materialistik yang fokus hanya pada uang dan
materi tanpa peduli konsekuensinya pada orang lain apalagi masyarakat, sehingga
akan meminimalisir eksploitasi dan kezhaliman terhadap orang lain.
Sistem nilai Islam akan memberi warna yang khas
pada masyarakatnya di semua level, dan warna ini akan terlihat dari bagaimana
Islam menumbuhkan mentalitas tanggung jawab kaum perempuan sebagai ibu dari
anak-anak dengan memberi mereka pemahaman bahwa itulah letak kemuliaan terbesar
kaum perempuan, hingga mereka tidak akan dengan mudahnya meninggalkan keluarga
dan anak-anak mereka. Begitupun kita bisa melihat nilai dan hukum-hukum Islam
membuat dunia bisnis berjalan dalam jalur prinsip halal dan haram tanpa
mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain. Dan negara pun akan fokus
membangun sistem yang menempatkan prioritas utamanya untuk memenuhi kebutuhan
pokok rakyatnya, menciptakan kesejahteraan dan membangun kemuliaan peradaban
masyarakat berdasarkan Aqidah dan Syariah Islam. Optimalnya tanggung jawab
negara ini hanya akan terwujud dalam sebuah sistem pemerintahan ideologis bagi
umat Islam, yakni sistem Khilafah yang memiliki visi politik untuk
mengimplementasikan SELURUH prinsip-prinsip dan hukum Islam pada masyarakat.
Dalam konteks ketenagakerjaan, Islam memiliki
sentuhan khas yang tidak dimiliki oleh ideologi manapun di dunia ini. Dengan
prinsip-prinsip yang dimilikinya, menjadikan Islam tidak pernah memiliki
apalagi dihantui oleh problem perburuhan. Beberapa prinsip terpenting politik perburuhan
di dalam Islam yang mampu menjawab persoalan eksploitasi pekerja domestik ini, antara
lain :
1. Hubungan
setara yang unik antara pengusaha dan pekerja
2. Pekerjaan
yang ditransaksikan hanyalah pekerjaan yang halal
3. Tidak
ada stratifikasi pekerja dalam Islam
4. Penentuan
Upah yang adil
Prinsip pertama politik perburuhan/
ketenagakerjaan dalam Islam tercermin dari komposisi masyarakat Islam yang tidak pernah terpecah dalam dua kelas,
yaitu kelas pekerja dan kelas pengusaha, kelas proletar dan kelas borjuis,
patron dengan client, dan lain-lain. Tidak. Islam tidak mengenal itu semua.
Yang justru terbangun adalah hubungan setara yang unik di antara
pihak pekerja dan majikan, yakni rasa tanggung jawab untuk saling menjaga
hak dan kewajiban masing-masing seperti yang diperintahkan Islam. Menurut
pandangan Islam kemitraan antara majikan dengan pekerja adalah hubungan
kemitraan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi
dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda, Allah Swt. berfirman:
“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat
nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena
Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan
harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut
menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad,
Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Agar hubungan kemitraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua pihak
yang terlibat saling diuntungkan, maka Islam mengaturnya secara jelas dan
terperinci dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan ijaratul ajir
(kontrak kerja). Islam menegaskan bahwa transaksi ijarah yang masih kabur poin-poin
kesepakatannya adalah transaksi yang fasid (rusak), oleh karena itu dalam
transaksi ijarah, hal-hal berikut harus jelas ketentuannya secara rinci yakni
yang menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah
kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja. Dengan jelas dan
terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka
diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing,
hal ini akan mampu mencegah zhalimnya majikan mempekerjakan pekerja di luar jam
kerjanya seperti kasus pekerja domestik ini.
Prinsip kedua bahwa pekerjaan yang ditransaksikan hanyalah pekerjaan
yang halal, karena Islam
tidak mengenal konsep kebebasan bekerja yang membebaskan manusia untuk bisa
melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau
haram. Karena itu jenis pekerjaan yang boleh ditransaksikan hanyalah yang
dibenarkan oleh Islam. Prinsip ini melindungi kaum perempuan dari pekerjaan
yang mengeksploitasi tubuh dan kecantikannya sebagai komoditas. Rafi bin Rifaah
meriwayatkan hadist,
َقَالَ لَقَدْ نَهَانَا نَبِيُّ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ فَذَكَرَ أَشْيَاءَ وَنَهَى عَنْ
كَسْبِ الْأَمَةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدِهَا
'Sesungguhnya pada hari ini Rasulullah saw. melarang kami kemudian ia
menyebutkan beberapa perkara dan beliau melarang dari hasil usaha budak wanita
kecuali usaha yang dikerjakan dengan tangannya sendiri…’(HR Abu Dawud [4319]).
Prinsip ketiga Islam tidak pernah membuat
strata/ kelas antara pekerja terhormat dengan pekerja kasar. Sebab, dalam Islam
seluruhnya disebut dengan ajir (pekerja/pekerja/karyawan). Baik ajir itu dari kalangan terpelajar dan terhormat, seperti konsultan,
dosen, editor, maupun jurnalis ataupun ajir yang mengeluarkan tenaga fisik dan
tidak terdidik, seperti pembantu rumah tangga dan pekerja pabrik. Sebagaimana
yang disebutkan dalam draft konstitusi Khilafah yang disusun oleh partai
politik Islam, Hizbut Tahrir, pasal 154 :
“Pegawai yang bekerja pada seseorang atau
perusahaan, kedudukannya sama seperti pegawai pemerintah -ditinjau dari hak dan
kewajibannya-. Setiap orang yang bekerja dengan upah adalah karyawan/pegawai,
sekalipun berbeda jenis pekerjaannya atau pihak yang bekerja. Apabila terjadi
perselisihan antara karyawan dengan majikan mengenai upah, maka ditetapkan upah
yang sesuai dengan standar kebiasaan masyarakat. Apabila perselisihannya bukan
menyangkut upah, maka kontrak kerja (dijadikan patokan dan) disesuaikan dengan
hukum-hukum syara’.”
Prinsip keempat yakni penentuan upah
yang adil, Islam memiliki metode yang khas dalam masalah ini karena standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd)
yang diberikan oleh pekerja di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu tidak akan terjadi
eksploitasi pekerja oleh para majikan, sang majikan akan tunduk pada aturan
Islam untuk memberikan upah yang layak dan membayarnya tepat waktu sesuai
perjanjian. Jika terjadi sengketa antara pekerja dan majikan dalam menentukan
upah, maka pakar (khubara’)-lah
yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan
kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan
negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan
pakar tersebut.
Sementara apa yang sering dituntut oleh pekerja
saat ini terkait jaminan kesehatan, pendidikan, berbagai tunjangan hari tua,
imbalan pensiun dan lainnya, semua itu tidak dimasukkan dalam transaksi ijarah,
sebab definisi ijarah itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh
ajir, serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah pihak, tidak
lebih. Tanggung jawab ini sesungguhnya tidak dibebankan kepada para majikan,
tetapi kepada negara. Adapun berbagai tuntutan tunjangan yang terus terjadi hari
ini sebenarnya hanya terjadi pada sistem Kapitalis dimana negaranya berlepas
tangan dalam menjamin kebutuhan pokok serta kesejahteraan rakyatnya.
KHILAFAH MELINDUNGI PEREMPUAN
DAN KAUM LEMAH
Bertolak belakang dengan sistem Kapitalis yang meminimalisir peran negara
dan mengutamakan peran pasar, Islam justru sebaliknya. Sesuai dengan sabda Nabi
(saw),
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
"Imam adalah penggembala (ro’in), dan ia bertanggung jawab untuk
orang-orang yang digembalakannya".
Peran negara sangatlah vital di dalam Islam, tugas utamanya adalah melayani
dan mengurusi kebutuhan rakyat, melindungi kaum lemah dan mencegah terjadinya
kezhaliman. Prinsip mendasar ini akan
meminimalkan problem perburuhan di dalam Khilafah
dan jikapun ada akan terpecahkan dengan cepat dengan penerapan aturan Syariah
Islam yang komprehensif. Begitupun problem perburuhan migran yang mengorbankan jutaan kaum
perempuan, ini tidak akan ditoleransi
oleh Khalifah dan negara akan segera mencari jalan untuk memberantasnya sampai
ke akar.
Khilafah adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat yang
menolak model keuangan cacat Kapitalis yang berbasis bunga, melarang penimbunan
kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam dan melarang asing berinvestasi besar
dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Pondasi
kebijakannya diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif
dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya, di saat yang sama juga
meletakkan produktivitas ekonomi yang sehat untuk mangatasi pengangguran massal
dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan. Khilafah dengan visi
politiknya yang lurus akan mampu mengatasi berbagai persoalan perburuhan dengan
langkah-langkah sistemik dan antisipatif, yang fokus dengan tanggung jawab terhadap
rakyat, seperti yang diulas sebagai berikut :
1. Khilafah
melindungi kaum perempuan dan kaum lemah. Islam adalah ideologi yang
sangat fokus pada perlindungan kaum lemah, Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan
siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.”
(HR. Imam Muslim); yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak
mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Begitu juga dalam pasal 156
draft konstitusi Khilafah yang berbunyi : “Negara menjamin biaya hidup bagi
orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau tidak ada orang yang wajib
menanggung nafqahnya. Negara berkewajiban menampung orang lanjut usia dan
orang-orang cacat.” Selain itu kaum perempuan di dalam Islam juga harus
dipandang sebagai kehormatan yang wajib dijaga, diperlakukan layaknya sebagai
manusia yang bermartabat dan BUKAN dipandang hanya sebagai pekerja murah
rendahan. Islam menggariskan bahwa perempuan harus selalu dijamin nafkahnya
oleh kerabat laki-laki mereka, dan jika mereka tidak memiliki kerabat laki-laki
maka negara yang akan menjamin kebutuhan finansialnya, seperti firman Allah Swt
:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ...
“Kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang
tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli
waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]:233).
2.
Khilafah menempatkan basis utama
kebijakan ekonominya untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Khilafah akan
menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam, yakni
penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua
kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai
adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan
(sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka. Dalam kitab
al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab
pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu
meberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu
sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus
onta”. Masya Allah beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan
pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak
mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani
agar mereka menanami tanahnya.
3. Khilafah
bertanggung jawab mencegah kezhaliman dalam segala bentuknya. Khusus dalam bidang
ketenagakerjaan, maka Islam memberlakukan hukum-hukum yang tegas kepada siapa
saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Termasuk
menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para pekerja ini juga merupakan
tanggung jawab negara. Hukum-hukum itu
diberlakukan agar tidak boleh ada kezaliman satu pihak
terhadap pihak lainnya. Di sinilah letak keadilan Islam,
yang tidak berpihak kepada para pekerja saja, melainkan
juga terhadap para majikan. Negara wajib mengatasi dan menyingkirkan bentuk dan tindakan zalim, baik yang dilakukan oleh
majikan terhadap pekerja atau sebaliknya. Membiarkan
kezaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat, dan ini diharamkan
oleh Allah Swt. Apabila negara membiarkan kezaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum
Muslim) harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik penguasa, dan
meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban para pekerja semata, akan tetapi sudah
menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezaliman. Jika rakyat tidak mampu meluruskan
penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada mahkamah mazhalim. Keputusan mahkamah mazhalim wajib dijalankan, sehingga pembangkangan penguasa
atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim memaksa penguasa
tersebut tunduk pada keputusan mahkamah mazhalim, meski dengan fisik/senjata.
Dengan demikian, Khilafah akan memberikan sebuah
jaminan nafkah yang menyeluruh bagi kaum lemah, termasuk kaum perempuan;
termasuk juga memberikan perlindungan penuh bagi seluruh rakyat dari
eksploitasi dan kezhaliman. Jutaan perempuan dan kaum lemah hari ini yang
menghadapi eksploitasi ekonomi di seluruh dunia Muslim akan memiliki kisah yang
sama sekali berbeda di bawah naungan sistem Khilafah yang sangat kredibel dan
telah teruji oleh waktu dalam menangani kemiskinan, melindungi kaum lemah
sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan.
Fika M. Komara, M.Si
Member of Central Media
Office, Hizb ut Tahrir