DIPLOMASI NEW MARITIME SILK ROAD CHINA
(JALUR SUTERA MARITIM)
Oktober
2013 kemarin adalah bulan yang signifikan bagi diplomasi China. Di saat
Presiden AS Barrack Obama membatalkan kunjungannya ke Asia Tenggara untuk
menghadiri forum KTT APEC di Bali, justru manuver diplomatik China semakin
terlihat di kawasan ini. Adalah kunjungan Cina ke Indonesia dan Malaysia pada
beberapa hari sebelum dimulainya KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang
dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping, dimana pada saat kunjungan Xi Jinping
berjanji untuk mendorong kemitraan strategis yang komprehensif dengan kedua
negara dan menandatangani beragam kesepakatan penting dengan dua negara anggota
ASEAN tersebut.
Apa
yang mengejutkan banyak pengamat adalah China menawarkan re-building proposal
"new maritime silk road” atau jalan sutra maritim baru di Asia
Tenggara. Dalam pidatonya yang disampaikan di parlemen Indonesia pada 3
Oktober, Presiden China tidak ragu menggemakan rencana Cina untuk mengubah
jalur-jalur maritim yang telah ada berabad-abad
-yakni Selat Malaka dan Laut Cina Selatan- menjadi satu kesatuan yang
akan memacu konektivitas maritim abad ke-21. Kita seolah menyaksikan
kebangkitan semboyan "jalur sutera" yang memiliki nilai histori yang
tinggi dalam perdagangan dunia. Dan China menggunakan semboyan ini dalam
diplomasinya yang terbaru, dimana dengan tegas Xi Jinping menyatakan kesiapan
pemerintah China untuk mendanai proyek maritim ASEAN melalui badan investasi
negara, yakni China-ASEAN Maritime Cooperation Fund. [1]
Pada
kebijakan politik luar negerinya yang terbaru, pemerintah China mengungkap
rancangan Jalur Sutera Baru (New Silk Road) terdiri dari dua sumbu
kebijakan diplomasi; pertama "sabuk ekonomi baru jalur sutera" atau New
Silk Road Economic Belt yang menunjukkan hubungan ekonomi kuat dengan Asia
Tengah dengan fokus khusus pada perdagangan. Dan kedua adalah apa yang disebut
dengan "jalur sutera maritim," atau New Maritime Silk Road
yang dianggap sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Asia Tenggara
demi keamanan perdagangan maritime China. [2]
Gambar 1. Ilustrasi Jalur Sutera darat dan laut yang
dikenal berabad-abad
Pada
saat yang sama, ASEAN – asosiasi negara-negara Asia Tenggara - memang sedang fokus
pada isu konektivitas maritim untuk memperkuat kerjasama ekonomi kawasan, hal
ini sejalan dengan tawaran China terkait jalur sutera maritim baru tersebut,
apalagi mega proyek konektivitas ASEAN ini membutuhkan dana yang sangat besar. Karena
telah disadari bahwa transportasi maritim adalah tulang punggung pengangkutan
barang lintas-batas dimana 80 persen dari volume perdagangan global adalah melalui
laut. Sejak masuknya China ke WTO, terlihat adanya penguatan kerjasama
dengan ASEAN. Ini terlihat dengan
naiknya total volume ekspor dan impor ASEAN terhadap China. Dalam jangka waktu
tujuh tahun total perdagangan ASEAN dengan China naik lebih dari empat kali
lipat. Membanjirnya produk-produk China di ASEAN menjadi tanda kuatnya
diplomasi perdagangan China di ASEAN yang banyak
diimplementasikan dalam skema ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan merupakan
kerja sama FTA terbesar di dunia,
Menurut
UNCTAD Liner Shipping Connectivity Index (LCSI), kecuali Singapura dan
Malaysia, negara ASEAN lainnya belum memiliki konektivitas maritim yang baik, tidak
heran akhirnya isu konektivitas ini menjadi agenda penting dalam
pertemuan-pertemuan regional. Dan salah satu hal yang dapat membantu konektivitas
adalah pembenahan infrastruktur pelabuhan, karena itu ASEAN saat ini sedang
mendesain dan meningkatkan kapasitas pelayanan 47 pelabuhan di kawasan untuk
menunjang jaringan transportasi trans-ASEAN. Konektivitas maritime ASEAN –
China tampak dari posisi pelabuhan-pelabuhan seperti yang tampak pada gambar di
bawah ini :
Gambar 1b. The Ports Intra ASEAN - China[3]
Sementara itu bagi
Indonesia -sebagai negara terbesar di Asia Tenggara sekaligus negara kepulauan
yang paling strategis di dunia- tawaran
dari raksasa ekonomi China ini tentu akan memberikan dampak yang signifikan. Secara
geostrategis, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state)
terbesar di dunia. Konsekuensi negara kepulauan ini, Indonesia memiliki ALKI
(alur laut kepulauan Indonesia) atau archipelagic sea lines yang dilalui
oleh kapal-kapal asing, baik itu kapal niaga sampai kapal induk untuk
kepentingan perang. Karena itu sangat menarik untuk dikaji sejauhmana dampak
geostrategis dari diplomasi “jalur sutera maritim baru” yang ditawarkan China
pada negara-negara ASEAN khususnya Indonesia, terutama dalam aspek geografi
transportasi dan kapasitas pembangunan infrastruktur.
Bahkan seorang analis pertahanan
Indonesia mengatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengambil
peran aktifnya di perpolitikan kawasan, fakta bahwa Indonesia memiliki posisi intersecting
dalam jalur laut dunia semakin "memikat" secara geopolitik harus
diperhitungkan dalam menentukan arah kerja sama pertahanan bilateral Indonesia
dengan China, yang secara alami harus menguntungkan Indonesia. Karena itu tugas prioritas Indonesia dan China
hari ini adalah mengidentifikasi pola kepentingan yang saling melengkapi
terutama dalam keamanan SLOC / SLOT (jalur laut dari jalur komunikasi / laut
perdagangan), yang harus segera didukung oleh program kerjasama yang lebih
strategis dan komprehensif. Karena jika ada perang terbatas pecah di Laut Cina
Selatan, sebagian dari perairan tersebut akan menjadi zona perang, dimana
akhirnya jalur laut internasional Indonesia dan Laut Jawa akan berfungsi sebagai
rute alternatif dari Laut China Selatan untuk perdagangan internasional. [4]
[1]
Karl Lee, analis dari lembaga
think tank Anbound Research di China, What does China’s new
maritime Silk Road mean for ASEAN? Dimuat di South China Morning Post,
15 Oktober 2013
[2]
Justyna Szczudlik-Tatar, China’s New Silk Road Diplomacy, jurnal Policy
Paper no.34 Desember 2013, PISM – Polski Institute Spraw Miedzynarodowych,
The Polish Institute of International Affairs
[3]
Sarah Bennett, Asian Ports Under Pressure, Lloyds List Intelligence,
Agustus 2013
[4]
Connie Rahakundini, executive director of the Institute of Defense and Security
Studies Jakarta, The 21st Century
Regional Maritime Silk Road, dimuat di Jakarta Post, 22 November
2013
No comments:
Post a Comment