Betapa dahsyat kondisi maritim Indonesia nanti di bawah Pak Jokowi.
Seakan mengembalikan kejayaan maritim di masa Demak Bintoro, Laut Jawa
kembali menjadi jalan tol yang sangat besar di tengah-tengah Nusantara.
Kota-kota di kanan kiri Laut Jawa kembali hidup. Sebagaimana dulu, di
selatan ada Demak, Surabaya, Cirebon, Banten, dan Palembang. Di utara
ada Banjarmasin, Makassar, dan Malaka. Terus di timur sudah menyongsong
Ternate dan Tidore. Laut Jawa menjadi magnet kapal-kapal besar Eropa
berdatangan setelah menyusuri setengah lingkaran bumi.
Di
belakang kota-kota itu, pulau-pulau di Indonesia menjadi kebun-kebun
komoditas yang begitu mengesankan. Dan sungai-sungai besar menjadi
terusan jalan tol Laut Jawa untuk terus masuk ke kebun-kebun itu. Kali
Tuntang menjadi jalan protokol yang membelah Demak Bintoro menuju lereng
Merapi-Merbabu. Bengawan Solo, mengintari Surabaya, menjadi pintu masuk
ke berbagai area persawahan yang sangat luas di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Begitu juga jalan protokol yang sangat menawan yang bernama
Sungai Musi, pintu masuk Sumatera, dan Sungai Barito, pintu masuk
Kalimantan. Bangsa Eropa tak heran melihat semua itu mengingat sejak
zaman Romawi, Sungai Reinch dan Sungai Danube memegang peranan sentral
demikian.
Bedanya dengan maunya Pak Jokowi, Kesultanan Demak
Bintoro, bersama Makassar, Ternate, Tidore, dan Banjarmasin, benar-benar
"memiliki" Laut Jawa.
Adapun Jokowi, sebagaimana dinyatakan Ichsanuddin Noorsy, menyerahkan pembuluh darah Nusantara ini kepada asing !!!
Masih kurangkah penjajahan selama ini?
Secara fisik memang maunya Pak Jokowi ini bagus sekali. Bagaimanapun
ini menjadikan Laut Jawa kembali memegang posisi sentral. Nusantara
kembali punya urat nadi. Masalahnya adalah: semua itu dikuasai siapa?
Apakah orang-orang se-Nusantara akan kembali menjadi budak kembali?
(sekarang pun sudah sebenarnya...)
Ini akan berakibat parah,
mengingat semenjak penguasaan VOC, sebenarnya bangsa Indonesia tak
pernah berpikir skala negara, kecuali di zaman Bung Karno. Orang hanya
berpikir skala kerajaan-kerajaan kecil yang besarnya hanya se
eks-karesidenan. Adapun yang berpikir skala negara adalah VOC,
Pemerintah Belanda, dan berikutnya Kapitalis Internasional. Dalam
keadaan semacam ini, dibikinkan urat nadi, langsung diserahkan asing
bahkan sebelum dibuat, dan bangsa Indonesia tetap berpikir skala
kerajaan partai politik, kerajaan kabupaten, dan republik skala
provinsi, kerajaan bisnis, dan kerajaan proyek. Tak ada yang berpikir
negara. Militer pun maunya dijadikan satpam kapitalis asing!
Lalu harus gimana?
Selama ini kita begitu tinggi hati mendengar kata Khilafah. Rendah hatilah.
Khilafah memang desain negara taqwa. Tapi khilafah juga desain negara adikuasa. (Lihat An-Nuur : 55).
Sepanjang khilafah berkuasa Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hitam, dan
Lautan Hindia, semuanya adalah jalan tol. Di seputar jalan tol itu
kota-kota besar berdiri.
Jika Nusantara adalah Khilafah, maunya Pak Jokowi tentu tetap kita lanjutkan. Tapi ingat: Itu milik kaum pengemban An-Nuur 55.
Mungkin tak hanya Laut Jawa sebagai jalan tol dan sungai-sungai besar
sebagai jalan protokol. Tapi kota-kota besar di seluruh perbatasan akan
menjadi tempat pemberangkatan pasukan jihad. Cilacap, Malang, Lombok,
mungkin akan menghadap Australia. Ternate menghadap China. Indonesia
mungkin tak lagi menghadap utara seperti sekarang, tapi menghadap ke
timur. Makassar sebagai kepala, Lombok tangan kanan, Ternate tangan
kiri. Kapal induk dan ratusan pesawat tempur berada di kedua tangan.
Teriakan Soekarno akan kembali terulang, "Dua puluh satu juta
sukarelawan akan siap....!!!" (itu penduduknya baru sekitar 100 juta,
tahun 61, lha sekarang, penduduk 240 juta)
Tapi itu bukan untuk Nasakom. Tapi untuk Allah SWT. Dengan dakwah dan jihad ke seluruh alam.
Tolong pahami, hanya dengan semangat semacam ini Portugis dulu bisa
terusir dari Malaka, Sunda Kelapa, dan seluruh Maluku (Jaziratul Mulk).
Penulis : Husain Matla https://www.facebook.com/husain.eagung/posts/978884102126873
No comments:
Post a Comment