Oleh: Fika Komara *)
Sebulan
sebelum pernyataan resmi rezim Jokowi untuk membubarkan HTI, Kwik Kian Gie
dalam tulisannya di Kompas 3 April 2017 berjudul Negarawan dan Politikus
menguak keprihatinan betapa Indonesia adalah negara yang minus negarawan dan
justru dikelilingi para political animal.
Langkanya
Negarawan di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari hilangnya identitas politik
peradaban umat. Dimana semenjak runtuhnya institusi politik Khilafah Islamiyah
negeri-negeri Islam terjerumus pada sistem politik sekuler yang melahirkan
hewan-hewan politik komprador yang menjual loyalitasnya kepada penjajah Barat. Tulisan
ini mencoba menjelaskan hubungan antara kebijakan kontroversial rezim Jokowi
membubarkan HTI dengan diskursus political animal dan negarawan - dalam
dua bagian. Bagian pertama telah menganalisis blunder besar rezim Jokowi dalam
membubarkan HTI, bagian kedua ini akan membahas penyebab lack of capacity rezim
akibat langkanya negarawan di Indonesia dan bagaimana HTI justru menawarkan
solusi pada negeri ini.
Lingkungan
Politik Pragmatis dan Transaksional
Sejak
keruntuhan institusi Khilafah 1924, umat Islam semakin mundur terjerembab dalam
penjajahan dan perpecahan. Kurikulum Pendidikan dunia Islam lalu berkiblat ke
Barat dan umat meninggalkan warisan peradaban Islam, sehingga umat Islam lebih
akrab dengan pengertian politik dalam terminologi Barat sekuler, dimana politik sering
didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau
memperluas serta mempertahankan kekuasaan secara konstitusional maupun
inkonstitusional. Konsep politik sekuler seperti ini meniscayakan munculnya
praktik politik transaksional yang melahirkan sosok individu yang pragmatis
yang tak lagi punya panggilan luhur untuk melayani negara, tetapi semua
dihitung secara kalkulatif. Ibaratnya “Apa yang sudah saya keluarkan dan apa
yang bisa dikembalikan oleh negara untuk saya. Dalam alam begini, orang hidup bukan
untuk politik, tetapi dari politik”
Praktik
politik sekuler ala Machiavelli yang didominasi pengejaran dan perebutan
kekuasaan ini akhirnya menjadi landasan lahirnya praktik politik transaksional
yang dilakukan oleh para hewan politik di dunia Islam. Wajar saja. secara
alami dalam lingkungan politik kotor nan sekuler seperti ini sulit tumbuh sosok
negarawan. Mereka lebih memilih mengabdi kepada penjajah dibanding melayani
rakyat, membiarkan penjajah merampok dan merampas kekayaan alam negeri ini,
tanpa perduli rakyat harus hidup menderita dan dijerat kemiskinan. Mereka
adalah dedengkot kesesatan, pengikut hawa nafsu dan syahwat. Mereka didukung
orang-orang Munafik, ekstrim, jahil tentang Islam dan lalai. Kadang mereka
tampak berilmu dan benar, namun mereka menjual agama mereka untuk secuil dunia.
Mereka menggunakan ilmunya untuk menjustifikasi kerusakan, dan sistem Kufur.
Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Akibatnya, halal dan haram, makruf
dan munkar menjadi kabur di mata umat.
Di
sisi lain para political animal ini pun dengan jumawa dan keji mencoba
terus membungkam dan mencabut pengaruh Islam Ideologis dari akarnya, karena
khawatir kekuasaan mereka terancam dan pundi-pundi harta mereka lenyap.
Sehingga keberadaan negarawan Muslim pun semakin sulit dan sedikit kecuali mereka
merupakan kelompok yang ikhlas dan kuat pemikirannya. Ini mengingatkan kita
pada kutipan perkataan tokoh pejuang Muslim Indonesia:
"Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi akan
diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya" (Muhammad Natsir)
Hizbut Tahrir Mendidik Umat Islam Menjadi
Negarawan Muslim
Dihadapkan
pada kelindan kerusakan nyata seperti ini alangkah baiknya kita kembali pada
Islam. Iqra. Membaca dan mengkaji bagaimana pandangan Islam dengan niat tulus.
Sungguh sangat jarang yang mencoba menengok dan menggali bagaimana khazanah
pemikiran politik Islam seperti yang selama ini dipegang teguh oleh Hizbut
Tahrir. Sesungguhnya Hizbut Tahrir hadir di negeri-negeri Islam
menawarkan konsep politik yang berasal dari keluhuran khazanah pemikiran
politik Islam. Konsep ini hadir di tengah keruhnya percaturan politik
negeri-negeri Muslim yang kosong dari sosok negarawan sejati namun disesaki
sosok hewan-hewan politik seperti yang dikhawatirkan Kwik Kian Gie (Kompas, 3
April) dan telah diulas pada bagian pertama tulisan ini.
Pemikiran
politik Islam tercermin dalam ungkapan Ibn Taimiyyah bahwa kekuasaan politik
merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama),
maka makna politik (siyâsah) dalam Islam adalah pengaturan urusan umat di
dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena
negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis,
sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut. Definisi ini
diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban
mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah
saw. bersabda “Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus
kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia
tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra). “Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum
Muslimin, Maka Dia bukan golonganku.” [al-Hadits].
Definisi
di atas meniscayakan sosok politisi di dalam Islam akan fokus pada umat bukan
mengejar rating kekuasaan. Pada titik ini saja konsep politik Islam telah
mencegah profil politisi Muslim menjadi hewan politik. Sehingga di dalam Islam
menjadi Negarawan adalah bagian dari cita-cita besar yang berakar pada tanggung
jawab terhadap al Khaliq dan umat Islam. Negarawan adalah kualifikasi penting agar
mampu mengemban peran besar dan cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad saw. Sosok
ini hanya lahir dari lingkungan politik Islam yang sangat dipengaruhi oleh
suasana keimanan (jawwul iman). Dimana politik dipahami sebagai bagian
dari aktivitas ibadah. Setiap orang dapat bahkan wajib untuk hidup dilingkungan
politik ini baik peran dia sebagai penguasa ataupun rakyat biasa.
Dalam
buku Pemikiran Politik Islam karya Abdul Qadim Zallum (amir kedua Hizbut
Tahrir) digambarkan dengan jelas bagaimana sosok negarawan itu adalah pemimpin
politik tertinggi, namun Negarawan tidak selalu menjadi pejabat dan tidak semua
pejabat adalah negarawan. Negarawan adalah pemimpin kultural yang siap untuk
menjabat, meskipun tidak harus menjabat. Negarawan adalah pemimpin yang kreatif
dan inovatif. Berani bertindak solutif saat yang lain tidak berani yang
memiliki ciri: (1) Memiliki mentalitas pemimpin (leadership), (2) Mampu
mengatur urusan kenegaraan, (3) Mampu menyelesaikan permasalahan, (4) Mampu
mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum
Negarawan
Muslim akan lahir apabila ditanamkan tiga bekal yang hanya berasal dari Aqidah
Islam, yaitu: (1) sudut pandang menyeluruh dan khas tentang kehidupan, (2)
sudut pandang tertentu tentang kebahagiaan hakiki bagi masyarakat, (3)
keyakinan akan sebuah peradaban (hadlarah) yang akan diwujudkan. Konsekuensi
dari tiga bekal ini adalah kepekaan dan ketajaman ihsas (penginderaan) yang
terbentuk pada sosok negarawan, karena ia memiliki sudut pandang yang tajam dan
perspektif Islam yang khas yang membuatnya mampu menyadari kerusakan di
sekelilingnya dan mampu memimpin perubahan besar pada zamannya.
Hizbut Tahrir bekerja melakukan edukasi
epistemik di masyarakat, mendidik mereka dengan pemikiran politik Islam dan
bagaimana urusan mereka diurusi oleh aturan-aturan Islam. Ini sangat terlihat
dari konsep pemikirannya yang terkerangka dalam sekup kenegaraan dan
kemasyarakatan. Ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah
dihimpun dalam berbagai buku, booklet maupun selebaran., yang diterbitkan dan
disebarluaskan kepada umat. Bahkan Hizbut Tahrir telah menyiapkan sekumpulan
tsaqafah yang sangat berharga, di antaranya menggambarkan struktur Daulah
Khilafah. Di antara buku-buku yang memuat tsaqafah Hizb antara lain:
- Struktur Daulah Khilafah
- Sistem Pemerintahan Islam
- Sistem Pergaulan Islam
- Sistem Ekonomi Islam
- Sistem Keuangan Daulah Khilafah
- Politik Ekonomi Islam
- Sistem Sanksi
- Hukum Pembuktian
- Pengantar Undang-undang Dasar
Semua buku di atas dapat diakses secara
terbuka untuk dikaji dan didiskusikan oleh umat Islam dan semua pihak. Karena
itu mari berdialog dengan Hizbut Tahrir dengan jernih. Hizbut Tahrir tidak
sedang berkhayal tapi sedang memperjuangkan perubahan dan perbaikan melalui
gagasan secara fikriyah dan tanpa kekerasan, persis seperti metode Rasul
dalam berdakwah melakukan perubahan. Gagasan dihadapi dengan gagasan, bukan
dengan pembungkaman. Anda Setuju?