Oleh: Fika
Komara *)
Sebulan sebelum pernyataan resmi rezim
Jokowi untuk membubarkan HTI, Kwik Kian Gie dalam tulisannya di Kompas 3 April
2017 berjudul Negarawan dan Politikus menguak keprihatinan betapa
Indonesia adalah negara yang minus negarawan, yang justru dikelilingi para political
animal. Apa bedanya negarawan dan political animal? Kwik Kian Gie
menjelaskan bahwa Negarawan adalah orang yang tujuannya murni ingin menyejahterakan
rakyatnya secara berkeadilan. Sementara political animal menggunakan
arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip
tujuan menghalalkan segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka
munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Hidayat Banjar dalam
Harian Analisa (11/04) juga memperdalam diskursus ini. Bagi hewan politik, tak
ada yang lebih penting selain kepentingan. Juga tidak ada yang namanya
ideologi, visi, misi dan nilai-nilai (vision, mission, value: atau vmv).
Tulisan ini mencoba menjelaskan
hubungan antara kebijakan kontroversial rezim Jokowi membubarkan HTI dengan
diskursus political animal dan negarawan - dalam dua bagian. Bagian
pertama menganalisis blunder besar rezim Jokowi dalam membubarkan HTI, bagian
kedua kemudian membahas penyebab lack of capacity rezim akibat langkanya
negarawan di Indonesia.
Blunder Rezim Political Animal
Istilah hewan politik dalam
terminologi Islam dikenal dengan sebutan Ruwaibidloh (penguasa bodoh), penguasa
seperti inilah yang diingatkan Rasulullah SAW kepada kita sejak 14 abad lampau,
» سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ
خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ
وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ
فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ
التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ» [رواه الحاكم في المستدرك، ج 5/465]
“Akan datang kepada kalian masa
yang penuh dengan tipudaya; ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan
mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak
mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, Rruwaibidhah akan
berbicara.” Mereka bertanya, “Apakah itu ruwaibidhah?” Rasulullah berkata,
“Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.”
(HR Ibnu Hakim dalam Mustadrak).
Hadits ini menjelaskan tentang
kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak
hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera Jahiliyyah. Menyeru kepada
ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti Kapitalisme, Sosialisme,
Sekularisme, Liberalisme, Demokrasi. Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal
mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik dan hina. Mereka bukanlah orang
yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur,
tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai mengklaim.
Dalam konteks pembubaran Hizbut Tahrir
Indonesia, maka terlihat jelas karakter rezim ruwaibidloh di Indonesia yang
anti-Islam, kalah secara intelektual, dan gegabah dalam langkah. Narasi yang
mereka ajukan untuk membubarkan HTI adalah demi mencegah berkembangnya ancaman
terhadap keutuhan bangsa, perpecahan dan bertentangan dengan konstitusi negara
dimana komitmen kebangsaan HTI dipertanyakan karena mengusung isu tentang
negara Khilafah. Namun setidaknya akan kita jumpai 4 (empat) blunder besar dari
narasi kebijakan pembubaran HTI ini :
1.
Gegabah menyalahi prosedur Undang-undang
Pakar Hukum Tata Negara,
Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah tidak begitu saja dapat
membubarkan ormas berbadan hukum dan berlingkup nasional, kecuali lebih dahulu
secara persuasif memberikan surat peringatan selama tiga kali, ini berdasarkan UU
No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jika langkah persuasif
tidak diindahkan, barulah Pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk
membubarkan ormas tersebut ke pengadilan. Dalam sidang pengadilan, ormas yang
ingin dibubarkan oleh Pemerintah tersebut, diberikan kesempatan untuk membela
diri dengan mengajukan alat bukti, saksi dan ahli untuk didengar di depan
persidangan. Keputusan pengadilan negeri dapat dilakukan upaya kasasi ke
Mahkamah Agung.
Sementara Juru Bicara HTI
Ismail Yusanto menegaskan dalam keterangan persnya tidak pernah sekalipun ada
surat peringatan resmi kepada HTI selama ini. Pemerintah langsung melakukan
jumpa pers sepihak di media bak ingin menggiring opini umum bahwa HTI adalah
gerakan subversif.
2.
Mengaku Demokratis, namun bergaya Tiran Despotis
Noorhaidi Hasan, guru
besar politik Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, menilai rencana
pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sebuah
blunder besar. "Pemerintah tampaknya bikin blunder besar dengan
membubarkan HTI," katanya melalui pesan singkat kepada Tempo, Senin, 8 mei
2017. HTI, kata penulis buku Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest
for Identity in Post-New Order Indonesia (2006), tidak melakukan
langkah-langkah sistematik untuk meruntuhkan kekuasaan. "Menurut
Noorhaidi, HTI tak perlu dibubarkan. "Di Belanda saja HTI boleh. Kita
malah ikut-ikutan negara otoritarian seperti Yordania dengan
membubarkannya," kata dia. Noorhaidi menilai, jalan demokrasi yang
dirintis dan dipertahankan sejak reformasi, termasuk ketika menghadapi kelompok
radikal, rupanya sudah perlahan-lahan ditinggalkan. "Saya khawatir otoritarianisme
kini sedang mengintai kita kembali. Kalau main membubarkan tanpa proses hukum,
itu jelas namanya otoritarianisme."
Hizbut Tahrir sungguh
secara konsisten menolak konsep dan falsafah demokrasi, tapi juga bukan berarti
menyetujui otorianisme justru lantang menolak dan menelanjangi keburukan semua
sistem non Islam. Hizbut Tahrir selalu konsisten dengan pandangannya, tidak
seperti rezim Jokowi yang mengaku demokratis tapi berlagak despotis.
3.
Lempar Batu Sembunyi Tangan
Narasi bahwa HTI tidak punya komitmen kebangsaan perlu kita
kuliti. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan : “Sekarang ada ormas
dan aparat negara mengklaim Pancasila tapi korupsi luar biasa. Menjual belikan
tata ruang tambang bisnis yang lain dan itu menimbulkan kemiskinan dan
memperkuat budaya suap dan merusak Pancasila. Itu merusak NKRI itu harus
ditindak tegas,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro
Muqoddas seperti diberitakan merdeka.com, Senin (8/5). Busyro beranggapan, isu
dan langkah pembubaran ormas yang akan dilakukan pemerintah merupakan bagian
dari kepentingan politik. Isu pembubaran, kata Busyro, jangan sampai hanya
untuk pengalihan konsentrasi masyarakat untuk mendapatkan edukasi politik
jelang Pemilu 2019.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menyoroti praktik
politik transaksional yang mendasari perekrutan dan seleksi pemimpin lembaga
negara. Praktik politik yang berbiaya tinggi, bahkan sejak pemilu, membuat DPR
yang bertugas menyeleksi para pemimpin lembaga negara sering kali tidak lepas
dari cara-cara transaksional. Pada akhirnya, praktik transaksional itu
melahirkan sosok individu yang pragmatis yang tak lagi punya panggilan luhur
untuk melayani negara, tetapi semua dihitung secara kalkulatif untung rugi
perut sendiri.
Sungguh mengherankan HTI yang tanpa lelah belasan tahun memperjuangkan
hak rakyat, menolak liberalisasi migas, lantang menolak Papua lepas dari
Indonesia, menolak kenaikan BBM dan TDL, menolak Freeport, LGBT, dan
perdagangan bebas yang mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan
kesejahteraan rakyat justru dituding sebagai ormas anti-Pancasila yang tidak
punya komitmen kebangsaaan. Apalagi HTI tidak pernah terlibat kasus korupsi,
makan uang negara ataupun berebut proyek negara. Siapa sebenarnya yang
anti-Pancasila?
4.
Bias dan Islamophobia
Narasi bahwa ide Khilafah yang diusung HTI dianggap bertentangan dengan
dasar negara telah merebak ke sejumlah komunitas, termasuk perguruan tinggi
direspon oleh Menristekdikti dengan meminta para rektor untuk mencegah
radikalisme di kampus. Permintaan itu berlangsung dalam acara Deklarasi
Semangat Bela Negara di UNNES Sabtu 6 Mei, dua hari sebelum pernyataan resmi
pemerintah akan membubarkan HTI.
Merespon seruan ini Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, dengan
tajam mengemukakan pandangannya bahwa seruan ini tidak berpijak pada analisis
sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme.
Pertama radikalisme
adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia radikalisme hampir selalu
dikaitkan langsung dengan Islam walau ini tidak dinyatakan secara terus terang.
Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran
hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan
kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian kebenaran. Radikalisme
terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara mayoritas Katolik, Kristen atau
Budha dan Hindu. Kedua, penyebab kemunculan paham radikal itu hanya satu
yaitu ketidakadilan dan ketimpangan. Jadi sikap radikal itu bukan sebab, tapi
akibat dari ketidakadilan dan ketimpangan yang dibiarkan terus terjadi oleh
para penguasa yang seharusnya justru menegakkan keadilan. Ketiga,
sekulerisme -sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik- yang dianut
banyak negara-bangsa adalah paham radikal. Setiap isme yang bergelora dan
inspiratif selalu bersifat radikal. Biasnya definisi radikalisme dalam seruan
pemerintah, dan kentalnya aroma Islamophobia pada kebijakan deradikalisasi
serta kontroversi pembubaran HTI jelas terbaca.
Demikianlah blunder rezim political
animal yang nampak jelas putus asa membungkam gelombang dukungan
masyarakat Indonesia terhadap Syariah dan Khilafah yang menggema di seluruh
nusantara. Dari tahun ke tahun suara yang merindukan Syariah Islam kian
nyaring terdengar. Meski media-media sekuler sangat minim meliputnya. Hipokrasi terang-terangan yang ditunjukkan oleh rezim political
animal di Indonesia untuk
membungkam HTI ini hanyalah bukti lain dari
kegagalan sistem sekuler Barat dan penjelasan mengapa semakin banyak umat Islam
menolak demokrasi sekuler dan memeluk Islam sebagai sistem yang mampu
menentukan masa depan politik, ekonomi, dan sosial mereka.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ
وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang
kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaf 61:8)
*) Penulis adalah Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir untuk Asia
Tenggara dan penulis Buku “Menjadi Muslimah Negarawan”
No comments:
Post a Comment