Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sebuah protes yang jarang sekali terjadi di Vietnam berlangsung di Hanoi dan Ho Chi Minh Minggu 11 Mei 2014 hari ini. Ratusan orang bersatu menentang China yang membangun kilang minyak raksasa di Laut China Selatan.
Sekira 300 orang melakukan aksi protes di depan Kedubes China di Hanoi.
Aksi protes juga berlangsung di Konsulat China di Ho Chi Minh. Massa
terdengar meneriakan kata-kata "keruntuhan China".
Sengketa kawasan beberapa negara di Laut Cina Selatan, khususnya
konflik atas Kepulauan (disingkat: Kep) Spratly dan Kep Paracel ternyata
memiliki referensi panjang. Berbagai literatur menyatakan bahwa
perebutan keduanya semenjak dulu memang melibatkan banyak negara, antara
lain Inggris, Prancis, Jepang, Vietnam dan Cina. Tampaknya kini lebih
banyak lagi peserta yang masuk lingkaran sengketa, terutama sejak Komisi
PBB tentang Batas Landas Kontinen pada Mei 2009 menetapkan pengajuan
klaim untuk rak kontinental diperpanjang di luar 200 mil garis pantai.
Akibatnya Vietnam, Malaysia, dan lain-lain baik secara terpisah atau
bersama-sama mengajukan perpanjangan. Ini memicu protes Cina.
Ya, ribetnya pertikaian teritorial ini ternyata bukan sebatas klaim
kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak
berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE),
termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi
minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain.
Secara
garis besar pertikaian kepulauan di atas dapat digolongkan sebagai
berikut, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly:
antara Cina versus beberapa negara yaitu Malaysia, Philipina, Taiwan,
Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya tengah ribut dengan
Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik versus
Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya.
Dari semua
sengketa barangkali yang menarik ialah Kep Spratly. Kenapa demikian,
betapa geografisnya memiliki leverage dibanding pulau-pulau lain.
Artinya selain merupakan jalur perairan internasional, ia dianggap
strategis dari aspek pertahanan karena geo-possition dan yang utama
ialah kandungan sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas alam. Lebih
signifikan sebenarnya dari kajian geopolitik, artinya jika menguasai
Spratly berarti akan mengontrol lintasan rute pelayaran antara Pasifik
atau Asia Timur menuju Lautan Hindia. (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9188&type=4#.U3p4J3av8dw)
Pada hari Minggu tanggal 4 Mei lalu, berbagai media
Filipina melaporkan aksi massif “ratifikasi rakyat” yang
diselenggarakan serentak di beberapa area penting di Mindanao dalam
rangka mendesak Kongres untuk meloloskan Hukum Dasar Bangsamoro (Bangsamoro Basic Law).
Laporan dari Luwaran.com, situs informasi resmi dari Front Pembebasan
Islam Moro (MILF), menginformasikan jumlah peserta aksi long march
tersebut mencapai 200.000 orang termasuk ribuan Muslimah di delapan kota
dan empat kotamadya di Filipina Selatan.
Setelah lebih dari 40 tahun konflik berdarah antara MILF dan
pemerintah Filipina, presiden Kelompok Wanita Barangay – Hazar Muarip
Ahmad mengatakan mereka sudah “sakit dan lelah dengan perang,” karena
perempuan dan anak-anak adalah korban pertama yang paling terimbas jika
konflik meletus. Di sisi lain, hal itu juga mempengaruhi kualitas
pendidikan anak-anak sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Al-Amin,
Ketua Kaukus Masyarakat Adat Bangsamoro dalam wawancara terpisah.
Hukum Dasar Bangsamoro merupakan bagian dari Perjanjian Komprehensif
pada Bangsamoro (Comprehensive Agreement on Bangsamoro/CAB) antara
pemerintah Filipina di bawah pemerintahan Aquino, dan Front Pembebasan
Islam Moro (MILF) yang telah dicapai setelah perundingan panjang selama
17 tahun dan secara intensif difasilitasi oleh lembaga-lembaga
internasional, termasuk beberapa negara besar seperti Amerika Serikat,
Australia, Kanada, Jepang, dan Malaysia.
Perjanjian ini juga memberikan peta jalan (roadmap) baru untuk
Bangsamoro, yakni sebagai entitas politik otonom baru yang akan
menggantikan Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) yang dianggap oleh
Presiden Filipina sebagai “percobaan yang gagal”. Di sisi lain,
perjanjian ini juga membentuk identitas baru untuk Muslim Moro sebagai
“bangsa Moro”, bangsa adalah kata Melayu yang berarti ‘bangsa’ yang akan
mencakup tidak hanya suku Muslim etnis, tetapi juga penduduk yang
beragama Kristen dan masyarakat adat di wilayah Bangsamoro.
Perangkap Demokrasi yang Sarat dengan Kepentingan Asing
Perjanjian damai yang diupayakan pemerintah sekuler Filipina yang
didukung oleh lembaga-lembaga dunia, sejatinya tidak akan pernah
menciptakan kemerdekaan hakiki bagi Muslim Moro yang minoritas, termasuk
kaum Muslimah dan anak-anak Moro yang puluhan tahun hidup tertindas
hingga lebih dari 120 ribu nyawa Muslim Moro melayang selama 40 tahun
terakhir.
Perjanjian komprehensif ini tidak lain adalah sekedar “perangkap
demokrasi” yang digunakan untuk mengaburkan identitas sejati umat Islam
di Filipina Selatan, menganeksasi wilayah selatan Filipina yang sangat
kaya akan sumberdaya alam, melumpuhkan gerakan politik bersenjata Moro
Islamic Liberation Front (MILF), dan menjinakkan umat Islam agar menjadi
lebih moderat, pragmatis sehingga menyakini bahwa demokrasi adalah
kancah perjuangan Islam yang ideal. Semua upaya dilakukan oleh penguasa
kufar Filipina dan lembaga-lembaga internasional yang tidak menginginkan
Islam tegak di Filipina Selatan, yang bermuara pada tujuan yaitu
partisipasi dalam demokrasi dari kaum Muslimin dan menyibukkan mereka
dengan hal tersebut sehingga meninggalkan segala upaya untuk
merealisasikan perjuangan penegakan Syariat Islam.
Dengan terikat dengan perjanjian damai seperti CAB, bahaya yang lebih
besar sesungguhnya menanti umat Islam di Filipina Selatan. Imperialisme
AS dan negara-negara Kapitalis lainnya semacam Australia dan Jepang
siap mengeksploitasi kekayaan ekonomi yang dimiliki pulau Mindanao dan
Sulu di Filipina Selatan. Hal ini tidaklah aneh, karena hampir empat
abad kekuasaan Spanyol dan enam dekade pengawasan AS telah membelenggu
Filipina dengan eksploitasi feodal dan semi-feodal. Petani Filipina
telah kehilangan tanah; pekerja dihinakan menjadi tenaga kerja murah;
dan sumber daya alam dan lingkungan, dijarah dan dirusak. Filipina telah
lama menjadi pasar pembuangan untuk barang-barang mahal, dan pangkalan
depan untuk hegemoni imperialis AS dan sekutunya di Asia-Pasifik. Bahkan
untuk mengamankan kepentingan geopolitiknya di Asia Pasifik, secara
khusus AS telah mengerahkan pasukannya di Mindanao.
Khilafah: Masa Depan Hakiki untuk Muslim Moro
Wahai saudariku Muslimah Moro, sadarilah! Bahwa muslim Moro adalah
bagian tidak terpisahkan dari umat Islam yang satu di seluruh dunia
Islam yang terbentang dari Maroko hingga Merauke! Kaum Muslimah di
sepanjang bentangan kawasan itu mengalami penderitaan yang sama seperti
yang kalian rasakan, tertindas dan terjajah di tanah mereka sendiri.
Kita adalah umat yang satu, nabi kita satu, dan Al-Quran kita pun satu,
maka tinggalkanlah atribut kebangsaan sekuler yang mengkotak-kotakkan
umat Islam! Karena Islam mengajarkan bahwa ikatan terkuat bagi seorang
Muslim itu adalah Aqidah Islam yang termanifestasi dalam ukhuwah
Islamiyah, dan ikatan ini wajib diletakkan diatas suku bangsa, ras
ataupun warna kulit.
Islam juga mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan
politik (Khilafah). Haram bagi mereka terfragmentasi di bawah
kepemimpinan politis yang lebih dari satu, apalagi harus hidup tertindas
dibawah tirani mayoritas kaum kafir. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.“
(HR. Muslim no. 3444). Oleh karena itu Khilafah akan menyatukan wilayah
Filipina Selatan dengan kepulauan Indonesia, Malaysia dengan seluruh
tanah kaum Muslimin di seluruh dunia. Khilafah juga akan membebaskan
tanah kaum Muslimin di Mindanao, Sulu, Burma, Suriah, hingga Afrika
Tengah, serta akan menjadi perisai bagi kehormatan umat Islam termasuk
kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh wilayah negara Khilafah.
Khilafah dengan visi politik luar negerinya yang luhur tidak akan
pernah membiarkan wilayah kaum Muslimin jatuh ke tangan kuffar melalui
berbagai jerat perjanjian imperialis. Daulah Khilafah akan mengakhiri
politik luar negeri negeri-negeri Muslim yang penuh dengan nuansa
kelemahan dan ketertundukan ini akibat jerat nasionalisme dan
pengkhianatan penguasa boneka Barat. Khilafah akan menggantinya dengan
sebuah visi politik luar negeri yang berorientasi mulia untuk penyebaran
dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan Jihad.
Wahai saudariku tercinta Muslimah Moro! ingatlah bahwa jalan
satu-satunya untuk merdeka adalah kembali pada pangkuan Islam dan
bersatu dengan seluruh umat Islam di bawah naungan Khilafah! Sadarilah
bahwa umat Islam tidak boleh kembali masuk perangkap musuh untuk
kesekian kalinya, kekuatan umat Islam tidak boleh dilucuti oleh
perangkap bernama demokrasi dan nasionalisme! Tetaplah konsisten dengan
jalan perubahan melalui metode dakwah yang lurus yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw, karena itu bergabunglah dengan perjuangan demi tegaknya
Khilafah Islam yang kedua yang akan membungkam siapapun yang menyerang
dan menodai kehormatan kaum Muslimah di seluruh dunia di bawah kalimah
Tauhid dan pemerintahan Islam.
“Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya
aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
selalu mereka perbuat” (TQS An Nahl : 112)
Dalam periodisasi abad ke-16 sampai dengan 18 sejarah Indonesia dikenal sebagai masa keemasan kesultanan Islam yang tersebar di kepulauan Nusantara yang sebagian besar lahir berbasiskan perekonomian maritim. Era Islam di Nusantara ini, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan di hampir seluruh wilayah di Nusantara, sehingga era ini sering disebut sebagai era kebangkitan dan kemajuan Nusantara. Kemunculan era ini akibat peningkatan aktivitas lalu lintas perdagangan Islam di jalur Samudera Hindia dan Asia Tenggara pada abad ke-16 serta keruntuhan kerajaan Hindu-Budha Majapahit pada sekitar peralihan abad ke-15 dan 16. Kemakmuran yang dibawa Islam ke tanah Nusantara ditandai oleh meningkatnya lalu lintas pelayaran, kelahiran kota pelabuhan emporium, kelahiran pusat politik Islam di bawah kesultanan, munculnya komunitas pedagang muslim yang menjadi pelaku ekonomi perdagangan, dan terbentuknya jaringan perekonomian nusantara.
Kolonialisme Eropa
(Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) menimbulkan dampak terhadap dinamika
Islam di Nusantara. Secara politik-ekonomi, kolonialisme mengakibatkan
kemunduran ekonomi kaum Muslimin sehingga era colonial ini juga disebut sebagai
era kesuraman – pemaksaan monopoli perdagangan menyebabkan kemunduran dan
kesengsaraan rakyat. Di bidang politik kolonialisme mengakibatkan hancurnya
sebagian besar entitas politik kesultanan Islam. Periode ini merupakan masa
kemunduran dan kemerosotan kaum Muslim di Nusantara sebagai akibat dari penetrasi kolonialisme Barat yang berlangsung sejak awal abad ke-19.
Di era kesultanan Islam di Nusantara nyaris tidak terdengar praktek eksploitasi atau kerja paksa pada rakyat, termasuk kaum perempuan. Namun pada era kolonialisme Eropa dan Jepang praktek ini sangat menonjol. Pada masa pendudukan Jepang, kita mengenal istilah romusha, yaitu orang Indonesia yang 'diperbudak' dalam kerja paksa. Sebelumnya ada cultuurstelsel alias aturan tanam paksa pada zaman penjajahan Belanda.
Sumber: Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, Jilid Asia Tenggara, Ichtiar Baru Van Hoeve