Pada
6 Juli kemarin, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia
- Prof Yohana Yembise mengungkapkan, provinsi Papua menduduki peringkat pertama
kasus kekerasan dalam rumah. Pemicu utama kasus KDRT terhadap perempuan dan
anak di wilayah Papua dominan disebabkan karena pengaruh mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Kasus
kekerasan terhadap anak di Papua mencapai 3.250 kasus sedangkan KDRT dialami
perempuan angkanya cukup tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Tiga hari
sebelumnya Suara Pembaruan online melaporkan data bahwa kekerasan terhadap
perempuan dan anak Papua meningkat tajam sejak tahun 2010-2014 yang diungkap
oleh Levina Kalansina Sawaki, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Penanganan Kekerasan
terhadap Anak dan Masalah Sosial Anak Provinsi Papua.
Kekerasan Berlapis terhadap Perempuan Papua
Lembaga
eLSHAM Papua merilis data Maret 2015 lalu yang menyatakan bahwa kekerasan yang
dialami kaum perempuan Papua, bukan hanya sekedar kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Lebih dari itu, kasus kekerasan oleh aparat militer di Papua lebih
besar dampaknya pada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada perempuan Papua. Kasus kekerasan militer di Tanah Papua, menurut data
eLSHAM Papua periode 2012-2014, ada 389 kasus dengan rincian 234 orang tewas,
854 orang luka-luka, dan 880 orang ditangkap. Semuanya berdampak kepada
kesejahteraan perempuan Papua. Secara langsung bentuk-bentuknya beragam
misalnya kasus pemerkosaan, penganiayaan, penahanan, dan penghilangan nyawa.
Secara tidak langsung perempuan Papua teraniaya secara emosional dan psikis
akibat suami dan anak laki-laki mereka ditangkap atau dibunuh dan ini membuat
kaum perempuannya harus menjadi tulang punggung keluarga dan menempatkan mereka
dalam lingkaran kemiskinan tak berujung.
Aparat
keamanan Indonesia telah berdiri di samping korporasi asing demi mengeruk
kekayaan alam Papua dan merampas tanah dan lahan rakyat Papua. PT Freeport
telah merampas tanah adat suku Amungme selama hampir setengah abad. Perempuan
di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun
sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk
proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami (Keerom, Jayapura) juga kehilangan
tanah, dusun-dusun sagu serta hutan sumber daging dan sayur genemo, karena
dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan kelapa sawit milik
PT. Sinar Mas (National Papua Solidarity - NAPAS, 2013).
Sungguh
perempuan Papua adalah korban kekerasan berlapis dan sistemik di Papua yang
berasal dari tiga lapisan utama, dimana lapis pertama adalah lapisan
keluarga dan masyarakat di Papua yang saat ini semakin dirasuki nilai-nilai
kapitalis pemuja kebebasan liberal yang memelihara budaya pemenuhan kepuasan individu, maka wajar bila alkohol dan penyalahgunaan narkoba sering disebut-sebut
sebagai faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan di Papua.
Semua hal ini menempatkan perempuan Papua hanya sebagai obyek syahwat laki-laki,
akibat pola pikir liberal yang
mengajarkan untuk mengejar kesenangan pribadi tanpa menghiraukan akibat yang
ditimbulkannya kepada orang lain. Lapis
kedua adalah inkompetensi negara
yang mengeluarkan kebijakan ekonomi cacat ala kapitalis dengan menyerahkan
kekayaan alam Papua kepada swasta asing, hingga menciptakan kemiskinan yang
luas di Papua dan menggiring kaum perempuannya terjerumus pada jurang
eksploitasi dan kekerasan massal. Begitu pula tidak adanya pendistribusian
kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua
dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua yang kemudian memunculkan
tuntutan rakyat Papua atas menentukan nasib mereka sendiri akibat terjadinya
kezaliman dan ketidakadilan terhadap mereka. Lapis ketiga adalah penjajahan negara-negara Barat yang bermain di Papua mengincar kekayaan alamnya hingga menempatkan
ribuan perempuan Papua sebagai korban dari permainan geopolitik Barat di
wilayah Timur Indonesia, banyak di antara mereka yang kehilangan suami dan
keluarga akibat konflik berkepanjangan dan operasi militer di sana. Barat
berusaha memisahkan Papua dari Indonesia dengan menunggangi gerakan-gerakan
separatis di Papua, memainkan isu perbedaan etnis dan budaya, dan menguatkan
kerjasama negara etnis Melanesia di Pasifik. Semua
itu dilakukan melalui tiga elemen yakni gerakan separatis bersenjata,
diplomatik dan politik, yang sejalan dengan upaya mereka untuk melemahkan
negeri Muslim, juga sejalan dengan upaya mereka mengeruk kekayaan dari bumi
Papua melalui Freeport.
Islam akan Menghapus Kekerasan Sejak Lapisan Terdalam
Hanya
Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab
dalam menjaga kehormatan perempuan, bahkan mewajibkan laki-laki untuk
mengorbankan hidup mereka demi membela kehormatan perempuan. Dan hanya sistem
Allah saja, Khilafah, yang menawarkan strategi yang jelas untuk melindungi
kehormatan perempuan di tengah-tengah masyarakat melalui nilai-nilai dan hukum
Islam yang saling melengkapi dalam mewujudkan tujuan ini. Khilafah adalah
negara yang menolak prinsip-prinsip kapitalisme dan liberal, sebaliknya
menggaungkan nilai-nilai ketakwaan dan pandangan Islam terhadap perempuan
melalui sistem pendidikan, media, dan politik
sebagaimana sabda Nabi SAW:
إنما النساء
شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم
“Perempuan
adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan memuliakannya kecuali lelaki
yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali lelaki yang hina.”
Dalam
hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang
berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini
dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa
kecuali. Kekayaan itu tidak boleh
dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara
mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat,
diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat termasuk pada kaum
perempuan.
Dalam
hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan penguasa untuk berlaku adil
kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam sistem Islam tidak boleh ada diskriminasi
atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan
sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak
rakyat. Islam pun mengharamkan cara
pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna
kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan
hal yang menjijikkan. Intervensi asing pun harus ditolak dan dihentikan segala
bentuk usaha yang dilakukan oleh segala bentuk gerakan separatisme dan
internvensi asing yang akan memisahkan Papua dari wilayah Indonesia. Secara
syar’iy, pemisahan suatu wilayah dari sebuah negeri muslim yang saat ini sudah
terpecah belah hukumnya adalah haram.
Jadi
menyelesaikan masalah Perempuan Papua, adalah dengan menghilangkan kezaliman
dan ketidakadilan yang terjadi pada kaum perempuan sejak lapisan terdalam;
yaitu membangun masyarakat yang sehat dan kuat melalui pengokohan bangunan
keluarga dan ketaqwaan sosial, kemudian memerankan negara yang mampu mengelola
kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan
kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua
tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok
dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya. Juga dengan mewujudkan negara
berdaulat yang mandiri, maju dan terdepan yang akan menolak segala bentuk intervensi asing yang
mengancam kedaulatan negara. Semua itu hanya bisa diwujudkan melalui
penerapan sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang Islami
yaitu al-Khilafah Rasyidah berdasarkan metode kenabian.
Fika Komara