Ketika saya kritisi soal investasi asing, kemudian ada yg bilang dengan
jumawa katanya saya sok keminter, karena investasi asing itu adalah cara
cepat membangun Indonesia dng cara tidak berhutang, saya gatal pengin
menjawab di tulisan ini. Minimal agar tidak semua orang terbodohi dengan
teori tersebut.
Menurut saya apa yg dikatakan mengundang investor
asing untuk mengganti utang luar negeri itu hanya TEORI . Mungin di
negara lain bisa kejadian tapi di Indonesia tidak terbukti.
Soal investasi asing atau PMA, cobalah cek ke BKPM , di bidang apa mereka paliang banyak masuk ?
No 1. Pasti yang mengeruk sumber daya alam (SDA), mulai dari tambang,
kebun, perikanan, dll , pokoknya yg bersifat mengambil sumber daya alam
kita.
No 2. Di bidang jasa -jasa. Jasa Keuangan (perbankan,
asuransi, sekuritas dll), dan jasa lainnya, termasuk biro iklan , bahkan
jasa konsultan politik. Ini juga bersifat mengeruk uang rakyat
Indonesia.
No.3 . Industri . Di bidang industri jangan dikira kita
dijadikan basis industri mereka, kita hanya dijadikan "tukang jahit"
saja , brand tetap mereka yg pegang dan tdk ada alih teknologi. Mereka
membuat pabrik di Indonesia karena raw material yang murah dan juga
ongkos buruh yang murah.
Nah, pertanyaan saya dengan orang yg
mengatakan bahwa mengundang investor bisa membangun Indonesia tanpa
berhutang, dari tiga bidang itu mana yg bisa membangun Indonesia ?
Untuk yg no. 1 (Yg basisnya eksplorasi SDA) . Mereka (PMA) yg mengeruk
sumber daya alam kita mau di bidang apapun hampir tidak ada yg membuat
pabrik turunan baik di sektor antara atau hilir di Indonesia. Mereka
hanya mengeruk bahan mentah (hulu) kemudian langsung di ekpor , dan duit
hasil ekspor ditaruh di bank mereka di luar negeri .
Lalu apa yang
Indonesia dapat? Hanya pajak dan sedikit tenaga kerja terserap. Bahkan
untuk tenaga kerja di tingkat eksekutif mereka masih menggunakan tenaga
asing, termasuk dari Philiphina yg kwalitasnya tdk lebih bagus dari
eksekutif Indonesia.
Sedangkan dari pendapatan pajak pemerintah pun
masih bisa GIGIT JARI. Coba saja googling berapa perusahaan asing yg
nunggak pajak alias ngemplang pajak dengan berbagai alasan????
Kemudian untuk no.2 , di bidang jasa-jasa . Nah ini lebih gila lagi,
mereka itu hanya bawa badan, dan mengeruk duitnya orang Indonesia .
Lagi-lagi kalau sudah terkumpul ya dibawa ke luar negeri. Coba cek
bank-bank asing , baik yg berbendera asing atau yg berbendera nasional
tapi sahamnya sudah pindah ke asing, apakah mereka memberikan kredit ke
perusahaan nasional ? Hampir tidak ada! Mereka lebih banyak memberikan
kredit pada perusahaan asing yg investasi di Indonesia.
Jadi mohon
jangan pada mimpi kalau judulnya investor asing itu mau investasi di
Indonesia terus bawa duit dari luar negeri masuk ke Indonesia. Mereka
masuk itu hanya bawa barang modal (sudah berupa barang) produksi negara
mereka, dan uangnya ya dari bank asing yg operasional di Indonesia ,
jadi meski judulnya PMA, aslinya yg untuk membangun proyek mereka itu ya
sebagian duitnya orang Indonesia. Ingat ya yg mereka bawa masuk itu
hanya barang modal!
Kemudian yg no .3. Di bidang industri juga sami
mawon. Mereka itu hanya menjadikan kita tukang jahit , karena secara
keseluruhan ongkos produksi mereka lebih murah. Apakah mereka menjadikan
kita basis Industri? Tidak. Kita hanya disuruh bikin barang bodongan
tanpa merek, karena merek mereka yg kasih nanti setelah di bawa ke
negara mereka. Dan ketika harga mereka menjadi melambung ya bukan kita
yg menikmati value penjualan yg melambung tadi, tapi perusahaan dan
negara asal mereka, karena mereka akan ekspor ke negara -negara lain
dari negara mereka! Bahkan rakyat Indonesia yg pengin pakai barang
berkwalitas buatan Indonesia harus membeli dng harga lima kali lipat,
karena mereka me-reekspor produk buatan Indonesia dari negara mereka.
Di bidang infrstruktur PMA mau masuk????? Kalau ada coba deh tunjukin
dimana ?? PMA idak akan mau masuk di investasi yg balik modalnya lama,
dan revenue-nya kecil . Tapi kalau jadi Sub kon-nya mereka pasti
berebut. Misalnya membangun pelabuhan atau jalan , duitnya dari APBN,
tapi sub konraktor atau yang bangun konstruksi asing semua, karena
mereka tau lebih enak jadi sub kontraktor-nya karena gak ada resiko
bisnis, dan tidak harus bawa modal, malah dapat bayaran besar dari duit
Indonesia.
Jadi jujur saya gak percaya-percaya amat , ngundang
investor itu bisa membangun Indonesia ? bahwa sedikit menambah pajak
kita mungkin iya, tapi mudharatnya lebih banyak , karena aslinya
kekayaan kita justru banyak keluar. Ini bukan saya saja yg ngomong,
Ketua KPK Abraham Samad, juga pernah ngomong soal potensi hilangnya
investasi yg berbasis dari sumber daya alam kita , dan nilainya mencapai
ribuan triliun setiap tahun.
Jadi kalau dapatnya kecil , kemudian hilangnya lebih banyak , apakah betul mengundang investor asing bisa MEMBANGUN INDONESIA ?
Akan lebih bijak kalau kita semua jujur pada hati masing-masing untuk
melihat kenyataan, bukan teori. PMA ini dibuka sejak Indonesia Merdeka ,
Indonesia tambah hebat atau tambah terpuruk?
Kemudian sejak jaman
reformasi itu kan banyak investasi yg tadinya masuk dalam list negative
investasi, kemudian di obral habis alias dibuka selebar-lebaranya,
artinya yg tadinya tidak boleh dimasuki asing menjadi boleh.
Pertanyaannya lagi sejak jaman Soeharto lengser hingga sekarang
pembangunan Indonesia menjadi maju ? Kalau ada mohon ditunjukkan, siapa
tau sy kelewat gak lihat kemajuannya!
Sebagai rakyat saya tidak anti
PMA, tapi coba deh ditata, jangan seperti sekarang kita hanya memberi
karpet merah utk para penguras sumber daya alam kita, sementara rakyat
pada jejeritan hidupnya makin susah!
Sebelum obral PMA, coba
disurvei mana PMA yg memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya untk
negara dan rakyat? Dan kontrak-kontrak karya yg sudah habis dan sekarang
rakyat dan bangsa Indonesia mampu menjalankan sendiri , lebih baik
dijalankan BUMN kita, sehingga akan menambah pemasukkan negara, yg
ujungnya diharapkan bisa untuk rakyat banyak. Jangan sampai lobi asing
untuk sekelompok manusia "dewa" membuat semua dibuat alasan sehingga
asing tetap bercokol.
Misalnya alasannya, kita belum mampu, tidak punya
uangnya. Saya kasih contoh blok Mahakam misalnya, Pertamina secara
finansial mampu membiayai, kemudian secara teknologi dan SDM, ternyata
95 persen yg mengebor minyak di Blok Mahakam itu orang-orang Indonesia,
yg sudah sangat ngerti teknologi dan mumpuni menjalankan. JAdi apa
alasannya tidak dikasih BUMN kita???
Sebetulnya ya, andai kata
pemerintah ini justru berani mengambil langkah memoratorium PMA , dan
memberi kesempatan pada PMDN , dan juga mengoptimalkan BUMN, maka
serusak-rusakanya alam kita masih ada harapan untuk Indonesia yg lebih
baik.
Sayang kepentingan individual penguasa, politikus, dan
sekelompok manusia yg hidup dari duit dolar , telah membangun image yg
mematikan nalar, sehingga selalu terbangun pandangan bahwa hanya DENGAN
ASINGLAH KITA BISA MEMBANGUN INDONESIA!
Sedihhhh ....60 tahun
merdeka, rakyat hanya terus jadi penonton di negeri yg gemah ripah loh
jinawi, atas akrobat para pemegang kekuasaan demi kepentingan pribadi
dan golongannya dari jaman ke jaman.
Penulis : Nanik S Deyang https://www.facebook.com/prokebangkitan/posts/1572324579664539?fref=nf
Menjelajahi penjuru ruang spasial demi visi peradaban yang lebih baik untuk kaum Muslimah
Pages
Visi Geospasial
Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Tuesday, November 25, 2014
Jokowi Serahkan Pembuluh Darah Indonesia ke Asing!!
Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai Presiden Joko Widodo telah
melupakan sejarah. Pasalnya Jokowi sudah membuka kesempatan asing untuk
menanamkan investasinya di Indonesia.
"Jokowi telah melupakan sejarah," kata Ichsanuddin saat menyampaikan pendapatnya di salah satu stasiun televisi, Rabu (12/11).
Seharusnya kata sapaan akrab Ichsanur, Jokowi memanfaatkan investasi dalam negeri daripada mengajak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang bisa mengeruk kekayaan alam Indonesia oleh asing.
"Makanya Presiden Soekarno membatalkan UU Ivestasi Asing yang akhirnya dia digulingkan," katanya.
Dengan digulingkannya kekuasaan Presiden Soekarno melalui kekuatan asing karena telah membatalkan UU investasi Asing, Soekarno menekankan seluruh rakyatnya untuk berdirikari di atas kaki sendiri.
Selain itu kata Ichsanur, dengan membuka peluang sebesar-besarnya terhadap asing Jokowi sama saja menyerahkan pembuluh darahnya kepada asing.
"Sama saja Anda memberikan pembuluh dara kepada orang lain yang kapan saja bisa diambil," katanya.
Yang paling dikritik oleh Icshanur dalam pidatonya di KTT APEC di Beijing adalah rencana Jokowi yang akan membangun tol laut yang biayanya dibantu oleh modal asing. Menurut Ichsnur dengan dibangunkan tol laut maka mempermudahkan pihak asing mengambil kekayaan Indonesia di laut.
"Ini sama saja mempermudah mereka berdagang di sini," katanya.
Dalam sepekan kedepan Presiden Jokowi akan menyelesaikan pertemuan bilateral dengan dua pemimpin negara berpengaruh dunia pada Forum Kerja Sama Ekonomi Asisan Pasifik (APEC) di Beijing, Tiongkok.
Sumber : Republika http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/12/newigi-ajak-asing-investasi-jokowi-serahkan-pembuluh-darah-indonesia
"Jokowi telah melupakan sejarah," kata Ichsanuddin saat menyampaikan pendapatnya di salah satu stasiun televisi, Rabu (12/11).
Seharusnya kata sapaan akrab Ichsanur, Jokowi memanfaatkan investasi dalam negeri daripada mengajak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang bisa mengeruk kekayaan alam Indonesia oleh asing.
"Makanya Presiden Soekarno membatalkan UU Ivestasi Asing yang akhirnya dia digulingkan," katanya.
Dengan digulingkannya kekuasaan Presiden Soekarno melalui kekuatan asing karena telah membatalkan UU investasi Asing, Soekarno menekankan seluruh rakyatnya untuk berdirikari di atas kaki sendiri.
Selain itu kata Ichsanur, dengan membuka peluang sebesar-besarnya terhadap asing Jokowi sama saja menyerahkan pembuluh darahnya kepada asing.
"Sama saja Anda memberikan pembuluh dara kepada orang lain yang kapan saja bisa diambil," katanya.
Yang paling dikritik oleh Icshanur dalam pidatonya di KTT APEC di Beijing adalah rencana Jokowi yang akan membangun tol laut yang biayanya dibantu oleh modal asing. Menurut Ichsnur dengan dibangunkan tol laut maka mempermudahkan pihak asing mengambil kekayaan Indonesia di laut.
"Ini sama saja mempermudah mereka berdagang di sini," katanya.
Dalam sepekan kedepan Presiden Jokowi akan menyelesaikan pertemuan bilateral dengan dua pemimpin negara berpengaruh dunia pada Forum Kerja Sama Ekonomi Asisan Pasifik (APEC) di Beijing, Tiongkok.
Sumber : Republika http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/12/newigi-ajak-asing-investasi-jokowi-serahkan-pembuluh-darah-indonesia
ANTARA MARITIM BUDAK & MARITIM ORANG MERDEKA
Betapa dahsyat kondisi maritim Indonesia nanti di bawah Pak Jokowi.
Seakan mengembalikan kejayaan maritim di masa Demak Bintoro, Laut Jawa kembali menjadi jalan tol yang sangat besar di tengah-tengah Nusantara. Kota-kota di kanan kiri Laut Jawa kembali hidup. Sebagaimana dulu, di selatan ada Demak, Surabaya, Cirebon, Banten, dan Palembang. Di utara ada Banjarmasin, Makassar, dan Malaka. Terus di timur sudah menyongsong Ternate dan Tidore. Laut Jawa menjadi magnet kapal-kapal besar Eropa berdatangan setelah menyusuri setengah lingkaran bumi.
Di belakang kota-kota itu, pulau-pulau di Indonesia menjadi kebun-kebun komoditas yang begitu mengesankan. Dan sungai-sungai besar menjadi terusan jalan tol Laut Jawa untuk terus masuk ke kebun-kebun itu. Kali Tuntang menjadi jalan protokol yang membelah Demak Bintoro menuju lereng Merapi-Merbabu. Bengawan Solo, mengintari Surabaya, menjadi pintu masuk ke berbagai area persawahan yang sangat luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Begitu juga jalan protokol yang sangat menawan yang bernama Sungai Musi, pintu masuk Sumatera, dan Sungai Barito, pintu masuk Kalimantan. Bangsa Eropa tak heran melihat semua itu mengingat sejak zaman Romawi, Sungai Reinch dan Sungai Danube memegang peranan sentral demikian.
Bedanya dengan maunya Pak Jokowi, Kesultanan Demak Bintoro, bersama Makassar, Ternate, Tidore, dan Banjarmasin, benar-benar "memiliki" Laut Jawa.
Adapun Jokowi, sebagaimana dinyatakan Ichsanuddin Noorsy, menyerahkan pembuluh darah Nusantara ini kepada asing !!!
Masih kurangkah penjajahan selama ini?
Secara fisik memang maunya Pak Jokowi ini bagus sekali. Bagaimanapun ini menjadikan Laut Jawa kembali memegang posisi sentral. Nusantara kembali punya urat nadi. Masalahnya adalah: semua itu dikuasai siapa? Apakah orang-orang se-Nusantara akan kembali menjadi budak kembali? (sekarang pun sudah sebenarnya...)
Ini akan berakibat parah, mengingat semenjak penguasaan VOC, sebenarnya bangsa Indonesia tak pernah berpikir skala negara, kecuali di zaman Bung Karno. Orang hanya berpikir skala kerajaan-kerajaan kecil yang besarnya hanya se eks-karesidenan. Adapun yang berpikir skala negara adalah VOC, Pemerintah Belanda, dan berikutnya Kapitalis Internasional. Dalam keadaan semacam ini, dibikinkan urat nadi, langsung diserahkan asing bahkan sebelum dibuat, dan bangsa Indonesia tetap berpikir skala kerajaan partai politik, kerajaan kabupaten, dan republik skala provinsi, kerajaan bisnis, dan kerajaan proyek. Tak ada yang berpikir negara. Militer pun maunya dijadikan satpam kapitalis asing!
Lalu harus gimana?
Selama ini kita begitu tinggi hati mendengar kata Khilafah. Rendah hatilah.
Khilafah memang desain negara taqwa. Tapi khilafah juga desain negara adikuasa. (Lihat An-Nuur : 55).
Sepanjang khilafah berkuasa Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hitam, dan Lautan Hindia, semuanya adalah jalan tol. Di seputar jalan tol itu kota-kota besar berdiri.
Jika Nusantara adalah Khilafah, maunya Pak Jokowi tentu tetap kita lanjutkan. Tapi ingat: Itu milik kaum pengemban An-Nuur 55.
Mungkin tak hanya Laut Jawa sebagai jalan tol dan sungai-sungai besar sebagai jalan protokol. Tapi kota-kota besar di seluruh perbatasan akan menjadi tempat pemberangkatan pasukan jihad. Cilacap, Malang, Lombok, mungkin akan menghadap Australia. Ternate menghadap China. Indonesia mungkin tak lagi menghadap utara seperti sekarang, tapi menghadap ke timur. Makassar sebagai kepala, Lombok tangan kanan, Ternate tangan kiri. Kapal induk dan ratusan pesawat tempur berada di kedua tangan.
Teriakan Soekarno akan kembali terulang, "Dua puluh satu juta sukarelawan akan siap....!!!" (itu penduduknya baru sekitar 100 juta, tahun 61, lha sekarang, penduduk 240 juta)
Tapi itu bukan untuk Nasakom. Tapi untuk Allah SWT. Dengan dakwah dan jihad ke seluruh alam.
Tolong pahami, hanya dengan semangat semacam ini Portugis dulu bisa terusir dari Malaka, Sunda Kelapa, dan seluruh Maluku (Jaziratul Mulk).
Penulis : Husain Matla https://www.facebook.com/husain.eagung/posts/978884102126873
Seakan mengembalikan kejayaan maritim di masa Demak Bintoro, Laut Jawa kembali menjadi jalan tol yang sangat besar di tengah-tengah Nusantara. Kota-kota di kanan kiri Laut Jawa kembali hidup. Sebagaimana dulu, di selatan ada Demak, Surabaya, Cirebon, Banten, dan Palembang. Di utara ada Banjarmasin, Makassar, dan Malaka. Terus di timur sudah menyongsong Ternate dan Tidore. Laut Jawa menjadi magnet kapal-kapal besar Eropa berdatangan setelah menyusuri setengah lingkaran bumi.
Di belakang kota-kota itu, pulau-pulau di Indonesia menjadi kebun-kebun komoditas yang begitu mengesankan. Dan sungai-sungai besar menjadi terusan jalan tol Laut Jawa untuk terus masuk ke kebun-kebun itu. Kali Tuntang menjadi jalan protokol yang membelah Demak Bintoro menuju lereng Merapi-Merbabu. Bengawan Solo, mengintari Surabaya, menjadi pintu masuk ke berbagai area persawahan yang sangat luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Begitu juga jalan protokol yang sangat menawan yang bernama Sungai Musi, pintu masuk Sumatera, dan Sungai Barito, pintu masuk Kalimantan. Bangsa Eropa tak heran melihat semua itu mengingat sejak zaman Romawi, Sungai Reinch dan Sungai Danube memegang peranan sentral demikian.
Bedanya dengan maunya Pak Jokowi, Kesultanan Demak Bintoro, bersama Makassar, Ternate, Tidore, dan Banjarmasin, benar-benar "memiliki" Laut Jawa.
Adapun Jokowi, sebagaimana dinyatakan Ichsanuddin Noorsy, menyerahkan pembuluh darah Nusantara ini kepada asing !!!
Masih kurangkah penjajahan selama ini?
Secara fisik memang maunya Pak Jokowi ini bagus sekali. Bagaimanapun ini menjadikan Laut Jawa kembali memegang posisi sentral. Nusantara kembali punya urat nadi. Masalahnya adalah: semua itu dikuasai siapa? Apakah orang-orang se-Nusantara akan kembali menjadi budak kembali? (sekarang pun sudah sebenarnya...)
Ini akan berakibat parah, mengingat semenjak penguasaan VOC, sebenarnya bangsa Indonesia tak pernah berpikir skala negara, kecuali di zaman Bung Karno. Orang hanya berpikir skala kerajaan-kerajaan kecil yang besarnya hanya se eks-karesidenan. Adapun yang berpikir skala negara adalah VOC, Pemerintah Belanda, dan berikutnya Kapitalis Internasional. Dalam keadaan semacam ini, dibikinkan urat nadi, langsung diserahkan asing bahkan sebelum dibuat, dan bangsa Indonesia tetap berpikir skala kerajaan partai politik, kerajaan kabupaten, dan republik skala provinsi, kerajaan bisnis, dan kerajaan proyek. Tak ada yang berpikir negara. Militer pun maunya dijadikan satpam kapitalis asing!
Lalu harus gimana?
Selama ini kita begitu tinggi hati mendengar kata Khilafah. Rendah hatilah.
Khilafah memang desain negara taqwa. Tapi khilafah juga desain negara adikuasa. (Lihat An-Nuur : 55).
Sepanjang khilafah berkuasa Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hitam, dan Lautan Hindia, semuanya adalah jalan tol. Di seputar jalan tol itu kota-kota besar berdiri.
Jika Nusantara adalah Khilafah, maunya Pak Jokowi tentu tetap kita lanjutkan. Tapi ingat: Itu milik kaum pengemban An-Nuur 55.
Mungkin tak hanya Laut Jawa sebagai jalan tol dan sungai-sungai besar sebagai jalan protokol. Tapi kota-kota besar di seluruh perbatasan akan menjadi tempat pemberangkatan pasukan jihad. Cilacap, Malang, Lombok, mungkin akan menghadap Australia. Ternate menghadap China. Indonesia mungkin tak lagi menghadap utara seperti sekarang, tapi menghadap ke timur. Makassar sebagai kepala, Lombok tangan kanan, Ternate tangan kiri. Kapal induk dan ratusan pesawat tempur berada di kedua tangan.
Teriakan Soekarno akan kembali terulang, "Dua puluh satu juta sukarelawan akan siap....!!!" (itu penduduknya baru sekitar 100 juta, tahun 61, lha sekarang, penduduk 240 juta)
Tapi itu bukan untuk Nasakom. Tapi untuk Allah SWT. Dengan dakwah dan jihad ke seluruh alam.
Tolong pahami, hanya dengan semangat semacam ini Portugis dulu bisa terusir dari Malaka, Sunda Kelapa, dan seluruh Maluku (Jaziratul Mulk).
Penulis : Husain Matla https://www.facebook.com/husain.eagung/posts/978884102126873
Label:
Analisis,
For Islam,
Geopolitic,
maritim
Wednesday, November 12, 2014
Ambil Alih Posisi Pelayaran Dunia, Indonesia Harus Gandeng Tiongkok dan India
Menjadi Poros Maritim Dunia berarti bisa mengambil alih poros
pelayaran perdagangan dunia yang saat ini masih didominasi kepentingan
ekonomi internasional negara-negara besar dunia; direpresentasikan
Singapura di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut merupakan bentuk
kolonialisme zaman dahulu yang masih bertahan hingga sekarang.
“Negara kaya ingin mempertahankan dominasinya melalui pelayaran internasional,” ujar Prof. Daniel M. Rosyid dalam perbincangannya bersama JMOL, Sabtu (25/10/2014). Menurut Daniel, jika Indonesia mau mengambil alih posisi poros pelayaran dunia, tidak bisa sendirian, namun harus mengajak Tiongkok dan India sebagai partner membangun poros baru.
“India dan Tiongkok paling tidak bisa menjadi balance,” papar Daniel. Mengapa harus Tiongkok dan India? Karena, Tiongkok dan India saat ini menjadi titik tumpu pertumbuhan dunia. Daniel menjelaskan, meski mereka bukan Negara Maritim, namun mereka sedang membangun kekuatan maritim.
“Kita punya posisi strategis. Sekarang, harus lewat Singapura. Tantangan kita menjadi Poros Maritim adalah mengalahkan Singapura,” ungkap Daniel. Merebut posisi Singapura bagi Indonesia, menurut Daniel, bisa dilakukan dengan membangun pelabuhan berstandar internasional di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan perencanaan tata ruang hinterland yang kuat, bisa menjadi strategi pengurangan dominasi tersebut.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, persoalan dominasi Singapura bukan hanya persoalan posisi, namun juga persoalan koneksi. Koneksi jalur pelayaran perdagangan dunia saat ini dimonopoli oleh Singapura. “Koneksi ini juga harus kita lawan,” tegasnya.
Daniel melihat, melawan dominasi Singapura dalam pelayaran internasional sejalan dengan strategi Bung Karno dan Gus Dur. Apabila platform kebijakan yang dilandaskan kepada doktrin Nawacita sebagaimana dicetuskan Bung Karno konsisten dijalankan, seharusnya bisa diarahkan untuk melawan dominasi tersebut. “Kebijakan Jokowi, jika melihat Nawacita, seharusnya ke arah sana. Kita harus kembali ke strateginya Bung Karno dan Gus Dur. Hanya keduanya keburu jatuh. Kalau Pak Jokowi mengerti jalan pikirannya Bung Karno, seharusnya bisa itu dijalankan,” pungkas Daniel.
Sumber : JurnalMaritim.com
Komentar :
Highlighted : Prof Daniel Rosyid : "singapura jadi poros maritim dunia bukan hanya soal POSISI tapi juga KONEKSI, nah koneksi ini juga harus kita lawan!"
Jika "koneksi" yg dimaksud Prof Daniel itu adalah jaringan hegemonik yang bertujuan melemahkan negeri Muslim seperti Indonesia tentu harus kita lawan!
“Negara kaya ingin mempertahankan dominasinya melalui pelayaran internasional,” ujar Prof. Daniel M. Rosyid dalam perbincangannya bersama JMOL, Sabtu (25/10/2014). Menurut Daniel, jika Indonesia mau mengambil alih posisi poros pelayaran dunia, tidak bisa sendirian, namun harus mengajak Tiongkok dan India sebagai partner membangun poros baru.
“India dan Tiongkok paling tidak bisa menjadi balance,” papar Daniel. Mengapa harus Tiongkok dan India? Karena, Tiongkok dan India saat ini menjadi titik tumpu pertumbuhan dunia. Daniel menjelaskan, meski mereka bukan Negara Maritim, namun mereka sedang membangun kekuatan maritim.
“Kita punya posisi strategis. Sekarang, harus lewat Singapura. Tantangan kita menjadi Poros Maritim adalah mengalahkan Singapura,” ungkap Daniel. Merebut posisi Singapura bagi Indonesia, menurut Daniel, bisa dilakukan dengan membangun pelabuhan berstandar internasional di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan perencanaan tata ruang hinterland yang kuat, bisa menjadi strategi pengurangan dominasi tersebut.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, persoalan dominasi Singapura bukan hanya persoalan posisi, namun juga persoalan koneksi. Koneksi jalur pelayaran perdagangan dunia saat ini dimonopoli oleh Singapura. “Koneksi ini juga harus kita lawan,” tegasnya.
Daniel melihat, melawan dominasi Singapura dalam pelayaran internasional sejalan dengan strategi Bung Karno dan Gus Dur. Apabila platform kebijakan yang dilandaskan kepada doktrin Nawacita sebagaimana dicetuskan Bung Karno konsisten dijalankan, seharusnya bisa diarahkan untuk melawan dominasi tersebut. “Kebijakan Jokowi, jika melihat Nawacita, seharusnya ke arah sana. Kita harus kembali ke strateginya Bung Karno dan Gus Dur. Hanya keduanya keburu jatuh. Kalau Pak Jokowi mengerti jalan pikirannya Bung Karno, seharusnya bisa itu dijalankan,” pungkas Daniel.
Sumber : JurnalMaritim.com
Komentar :
Highlighted : Prof Daniel Rosyid : "singapura jadi poros maritim dunia bukan hanya soal POSISI tapi juga KONEKSI, nah koneksi ini juga harus kita lawan!"
Jika "koneksi" yg dimaksud Prof Daniel itu adalah jaringan hegemonik yang bertujuan melemahkan negeri Muslim seperti Indonesia tentu harus kita lawan!
Jalur Sutra Baru Versi Cina
Visi
Beijing untuk menata ulang peta geopolitik di Asia mulai terlihat di
Horgos, sebuah lembah di perbatasan Cina-Kazakhstan. Sejauh mata
memandang, terlihat puncak pegunungan bersalju. Lokasi terpencil ini
dulu sempat menjadi titik transit pedagang-pedagang Jalur Sutra. Di
tempat-tempat seperti ini, Cina tengah membangun beberapa kota baru.
Dengan luas lebih dari dua kali area New York City, Horgos hanya dihuni 85.000 warga sejak didirikan pada September. Kota Horgos saat ini merupakan gabungan beberapa kota kecil yang sudah ada sebelumnya, ditambah desa-desa di sebuah area yang dikenal oleh penduduk setempat karena kebun bunga lavender.
Cina berencana mengubah kota sepi di perbatasan itu menjadi pusat rel kereta, energi, dan logistik internasional yang dinamakan “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra.” Rencana ini diumumkan Presiden Xi Jinping tahun lalu. Tujuannya adalah mendirikan rute perdagangan dan transportasi baru antara Cina, Asia Tengah, dan Eropa.
Menurut diplomat dan analis yang meneliti rencana Beijing, Horgos adalah elemen kecil dari upaya Cina untuk mendekatkan wilayah di sekeliling negara itu lewat saluran pipa gas, jalan, rel kereta, dan pelabuhan.
Rencana Beijing tersebut juga meliputi kerja sama perdagangan bebas Asia Pasifik, pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia senilai $50 miliar, serta program Dana Jalur Sutra sebesar $40 miliar yang diumumkan Xi minggu lalu. Pemerintah menjanjikan bantuan serta investasi dari perusahaan-perusahaan negara dan swasta Cina.
Dalam pidatonya di hadapan para petinggi perusahaan, Minggu, Xi mengatakan Jalur Sutra yang baru akan mendorong pertumbuhan dan memperbaiki infrastruktur di seluruh Asia. Ini dimaksudkan guna mewujudkan “mimpi Asia-Pasifik”, yang selaras dengan slogan politik Xi di dalam negeri, “Mimpi Cina” untuk meremajakan kembali negara Tirai Bambu tersebut. “Dengan kebangkitan kekuatan nasional, Cina mampu dan bersedia menyediakan lebih banyak barang-barang publik untuk Asia Pasifik dan seluruh dunia,” kata Xi.
Perwakilan pemerintah Cina tidak merespons permintaan untuk berkomentar. Minggu lalu, Xi mengatakan bank infrastruktur yang baru dan Dana Jalur Sutra akan “melengkapi, bukan menggantikan” institusi kredit yang telah ada di Cina.
Sabuk Ekonomi Jalur Sutra, salah satu pilar “Mimpi Cina”, diajukan Xi saat melawat ke Asia Tengah pada September 2013. Ia menyerukan pembangunan koridor transportasi yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Laut Baltik serta menjalin Asia Timur dengan Asia Selatan dan Timur Tengah. Koridor ini akan melayani pasar gabungan dengan total konsumen sekitar tiga miliar orang.
Saat melawat ke Indonesia, Oktober 2013, ia kembali mengajukan pilar lain: sebuah koridor perdagangan maritim yang disebutnya sebagai Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Ini mencakup pembangunan atau perluasan pelabuhan dan kompleks industri di seluruh Asia Tenggara dan beberapa negara seperti Sri Lanka, Kenya, dan Yunani. Xi juga berambisi memperbesar volume perdagangan bilateral dengan Asia Tenggara sampai $1 triliun pada 2020—lebih dari dua kali lipat nilai perdagangan Cina-Asia Tenggara tahun lalu.
Dalam lawatannya, Xi mengutip semangat Zheng He, yang juga dikenal sebagai Cheng Ho. Ia adalah laksamana yang memimpin armada kapal harta Cina ke Afrika pada abad ke-15 dan dipandang sebagai wajah era kepemimpinan maritim Cina.
“[Xi] menerapkan konsep yang telah ada sejak dulu,” kata Chris Johnson, mantan analis CIA untuk Cina yang kini bekerja untuk Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS). “Namun Xi benar-benar melakukannya, mewujudkannya, mendanainya, dan berkata kepada semua orang di dunia, ‘Saya serius soal ini.’”
Rencana Xi tampaknya mencerminkan sikap Cina untuk lebih memilih berpihak pada negara berkembang ketimbang bekerja dengan Amerika Serikat, kata Johnson. Cina tampaknya tidak ingin bekerja sama dengan tata dunia internasional yang didominasi Barat.
Sumber : Wall Street Journal Indonesia
http://indo.wsj.com/posts/ 2014/11/10/ jalur-sutra-baru-versi-cina / ?mod=WSJIdn_WSJINDOHome_Wha tsNews_2_4_Left_Headlines
Dengan luas lebih dari dua kali area New York City, Horgos hanya dihuni 85.000 warga sejak didirikan pada September. Kota Horgos saat ini merupakan gabungan beberapa kota kecil yang sudah ada sebelumnya, ditambah desa-desa di sebuah area yang dikenal oleh penduduk setempat karena kebun bunga lavender.
Cina berencana mengubah kota sepi di perbatasan itu menjadi pusat rel kereta, energi, dan logistik internasional yang dinamakan “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra.” Rencana ini diumumkan Presiden Xi Jinping tahun lalu. Tujuannya adalah mendirikan rute perdagangan dan transportasi baru antara Cina, Asia Tengah, dan Eropa.
Menurut diplomat dan analis yang meneliti rencana Beijing, Horgos adalah elemen kecil dari upaya Cina untuk mendekatkan wilayah di sekeliling negara itu lewat saluran pipa gas, jalan, rel kereta, dan pelabuhan.
Rencana Beijing tersebut juga meliputi kerja sama perdagangan bebas Asia Pasifik, pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia senilai $50 miliar, serta program Dana Jalur Sutra sebesar $40 miliar yang diumumkan Xi minggu lalu. Pemerintah menjanjikan bantuan serta investasi dari perusahaan-perusahaan negara dan swasta Cina.
Dalam pidatonya di hadapan para petinggi perusahaan, Minggu, Xi mengatakan Jalur Sutra yang baru akan mendorong pertumbuhan dan memperbaiki infrastruktur di seluruh Asia. Ini dimaksudkan guna mewujudkan “mimpi Asia-Pasifik”, yang selaras dengan slogan politik Xi di dalam negeri, “Mimpi Cina” untuk meremajakan kembali negara Tirai Bambu tersebut. “Dengan kebangkitan kekuatan nasional, Cina mampu dan bersedia menyediakan lebih banyak barang-barang publik untuk Asia Pasifik dan seluruh dunia,” kata Xi.
Perwakilan pemerintah Cina tidak merespons permintaan untuk berkomentar. Minggu lalu, Xi mengatakan bank infrastruktur yang baru dan Dana Jalur Sutra akan “melengkapi, bukan menggantikan” institusi kredit yang telah ada di Cina.
Sabuk Ekonomi Jalur Sutra, salah satu pilar “Mimpi Cina”, diajukan Xi saat melawat ke Asia Tengah pada September 2013. Ia menyerukan pembangunan koridor transportasi yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Laut Baltik serta menjalin Asia Timur dengan Asia Selatan dan Timur Tengah. Koridor ini akan melayani pasar gabungan dengan total konsumen sekitar tiga miliar orang.
Saat melawat ke Indonesia, Oktober 2013, ia kembali mengajukan pilar lain: sebuah koridor perdagangan maritim yang disebutnya sebagai Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Ini mencakup pembangunan atau perluasan pelabuhan dan kompleks industri di seluruh Asia Tenggara dan beberapa negara seperti Sri Lanka, Kenya, dan Yunani. Xi juga berambisi memperbesar volume perdagangan bilateral dengan Asia Tenggara sampai $1 triliun pada 2020—lebih dari dua kali lipat nilai perdagangan Cina-Asia Tenggara tahun lalu.
Dalam lawatannya, Xi mengutip semangat Zheng He, yang juga dikenal sebagai Cheng Ho. Ia adalah laksamana yang memimpin armada kapal harta Cina ke Afrika pada abad ke-15 dan dipandang sebagai wajah era kepemimpinan maritim Cina.
“[Xi] menerapkan konsep yang telah ada sejak dulu,” kata Chris Johnson, mantan analis CIA untuk Cina yang kini bekerja untuk Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS). “Namun Xi benar-benar melakukannya, mewujudkannya, mendanainya, dan berkata kepada semua orang di dunia, ‘Saya serius soal ini.’”
Rencana Xi tampaknya mencerminkan sikap Cina untuk lebih memilih berpihak pada negara berkembang ketimbang bekerja dengan Amerika Serikat, kata Johnson. Cina tampaknya tidak ingin bekerja sama dengan tata dunia internasional yang didominasi Barat.
Sumber : Wall Street Journal Indonesia
http://indo.wsj.com/posts/
Friday, October 31, 2014
Telaah Visi Maritim Jokowi
Visi Jokowi untuk menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia.
Bagus! Bervisi besar. Namun mengandung dua kekurangan mendasar
Kekurangan mendasar pertama ada pada ideologi yang kuat. Sebuah visi besar membutuhkan sandaran ideologi kuat dan cemerlang. Karena jika visi besar disandarkan pada ideologi rusak, seperti kapitalisme..maka visi besar itu akan mudah dibajak untuk kepentingan asing.
Kekurangan mendasar kedua adalah KALAH CEPAT. Negara-negara adidaya yang berkontestasi sebagai 'poros' di maritim asia, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu sudah membangun misinya sebagai penguasa samudera. Sebut saja AS dan Cina.
Cina saat ini terus mengkampanyekan misi politik luar negerinya di Asia Tenggara, misi Jalur Sutera Maritim - sementara AS terus menyebar kekuatan maritimnya di pangkalan-pangkalan militernya di seluruh titik-titik geostrategi Asia Pasifik.
Mampukah "poros maritim Jokowi" mengimbangi balance of power ini? kita lihat saja
Bagus! Bervisi besar. Namun mengandung dua kekurangan mendasar
Kekurangan mendasar pertama ada pada ideologi yang kuat. Sebuah visi besar membutuhkan sandaran ideologi kuat dan cemerlang. Karena jika visi besar disandarkan pada ideologi rusak, seperti kapitalisme..maka visi besar itu akan mudah dibajak untuk kepentingan asing.
Kekurangan mendasar kedua adalah KALAH CEPAT. Negara-negara adidaya yang berkontestasi sebagai 'poros' di maritim asia, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu sudah membangun misinya sebagai penguasa samudera. Sebut saja AS dan Cina.
Cina saat ini terus mengkampanyekan misi politik luar negerinya di Asia Tenggara, misi Jalur Sutera Maritim - sementara AS terus menyebar kekuatan maritimnya di pangkalan-pangkalan militernya di seluruh titik-titik geostrategi Asia Pasifik.
Mampukah "poros maritim Jokowi" mengimbangi balance of power ini? kita lihat saja
Jalur terpendek dan tercepat perdagangan dunia
Jalur tercepat perdagangan dunia, baik mainland trade (16 hari), maupun maritime trade (36 hari)
Sumber : kementrian perdagangan China
ICMS (Indonesia Congress of Muslim Student) Hadir Sebagai Penantang Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi di Hong Kong
Di tengah sorotan dunia terhadap gelombang
pergerakan mahasiswa “pro-demokrasi” di Hong Kong, hadir sebuah
pergerakan “anti-demokrasi” dari mahasiswa Muslim di Indonesia yang
justru berani melawan arus – menolak demokrasi dan kapitalisme liberal.
Adalah ICMS atau Indonesia Congress of Muslim Student yang
diinisiasi oleh sejumlah aktivis Mahasiswa dari Hizbut Tahrir Indonesia,
selama bulan Oktober mereka bergerak di puluhan kota besar di Indonesia
demi agenda untuk mengkritik ide demokrasi secara substansial dan
memaparkan dampaknya yang destruktif terhadap masyarakat Muslim dan juga
kalangan mahasiswa sendiri.
Menelaah fenomena Hongkong, populernya gerakan pro-demokrasi di dunia
pelajar dan mahasiswa sebenarnya tidak bisa lepas dari sisa-sisa
pengaruh kolonial Barat di Hongkong sejak dilepaskannya kota itu oleh
Inggris tahun 1997 ke China. Inggris nampaknya tidak mau meninggalkan
HongKong begitu saja tanpa menanamkan investasi penetrasi nilai berupa
cara berfikir ala Barat terhadap masyarakat Hongkong. Gerakan mahasiswa
pro-Demokrasi di HongKong ini jelas memiliki semangat anti-China yang
kental terlihat dari tokoh-tokoh pergerakannya seperti Benny Tai Yiu
Ting sebagai tokoh intelektual dan Joshua Wong sebagai aktivis muda
militannya. Namun terlepas dari pertarungan pengaruh antara China dan
Barat, kritik mendasar terhadap gagasan demokrasi yang dipuja-puji oleh
demonstran HongKong tetap patut kita lakukan.
Pengkultusan terhadap ide demokrasi oleh puluhan ribu demonstran di
HongKong menunjukkan adanya fenomena GAGAL PAHAM terhadap substansi
mendasar ide demokrasi itu sendiri yang mengagungkan kedaulatan akal
manusia dalam membuat aturan hidup – lebih tinggi di atas risalah wahyu
yang diturunkan sang Pencipta. Demokrasi yang berdampingan erat dengan
ide sekulerisme ini – selama satu abad terakhir justru gagal dalam
menjawab kebutuhan akan perubahan hakiki bagi dunia saat ini yang terus
dilanda multi krisis. Suka atau tidak suka, sejak demokrasi
dipropagandakan Barat ke seluruh dunia, realitasnya gagasan ini gagal
dalam mengatasi krisis kemanusiaan dan peradaban yang melanda dunia. Ide
kebebasan dalam demokrasi yang sangat individualistik telah membutakan
banyak pihak melihat penderitaan kaum lemah yang berada di sekitar
mereka. Jaminan keadilan dan kesejahteraan dari sistem Demokrasi
hanyalah mitos belaka, nihil kita jumpai dalam praktek kehidupan
bernegara. Hal ini karena perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem
demokrasi justru acapkali ditunggangi oleh kepentingan durjana para
Kapitalis sehingga hanya menguntungkan elit dan memiskinkan rakyat
banyak.
Karena itu kita perlu menyaksikan keberanian luar biasa sekaligus
independensi yang besar dari pergerakan anti-demokrasi di Indonesia.
Aktivis-aktivis Mahasiswa Muslim Indonesia lantang menyuarakan demokrasi
sebagai alat penjajahan Barat ke negeri-negeri Muslim termasuk
Indonesia. Sesuai dengan slogan agenda ini “We Need Khilafah NOT Democracy and Liberal Capitalism”-
mereka menolak untuk terjebak pada janji beracun demokrasi soal
keadilan dan kemanusiaan dan mereka juga menistakan program-program
demokratisasi yang hakikatnya membawa Indonesia pada perpecahan dan
kehancuran. Gelar negara demokrasi terbesar keempat di dunia dan model
demokrasi bagi negeri Muslim, ternyata tidak mampu mengantarkan
Indonesia terbebas dari belenggu kemiskinan, ketertinggalan serta
penjajahan ekonomi. Oleh karena itulah dua puluh lima ribu mahasiswa
Muslim di Indonesia dari sekitar 1000 organisasi Mahasiswa ini justru
meyakini bahwa perubahan besar akan terjadi jika kita berpegang pada
risalah Islam yang memiliki visi politik sempurna untuk peradaban
manusia, dan risalah ini adalah Ideologi Islam dengan sistem
Khilafahnya, yang akan menggantikan risalah usang demokrasi dalam
memimpin dunia.
Rangkaian agenda ICMS ini juga hadir untuk memenuhi seruan Allah Swt
Sang Pencipta untuk menyadari betapa lemah dan terbatasnya akal manusia
dalam membuat sistem aturan hidup, sementara DIA-lah Allah Swt Zat Yang
Mahatahu apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dengan menurunkan syariah
Islam untuk mengatur semua persoalan tersebut, seperti firman Nya :
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” (QS An Nahl : 89)
Jadi, masihkah kita percaya pada demokrasi sebagai satu-satunya jalan
mencapai keadilan? Tidak! Hanya sistem Illahi saja yang dapat
mengantarkan kita pada keadilan hakiki yang mampu mengantarkan Indonesia
dan seluruh dunia Muslim pada kemuliaan dan kemerdekaan hakiki. Dan ini
hanya bisa dilakukan dengan ideologi dan sistem Islam, bukan dengan
jalan demokrasi – sistem sekuler buatan manusia.
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir untuk Asia Tenggara
Secular Capitalism Spreads a Population Crisis from the West to the East
The issue of population extinction of South Korea - that emerged
since the beginning of last September - was a shocking concept to the
ordinary public. The first question that comes to mind is why the
societies with advanced technology, high levels of welfare and the rapid
pace of modernization are actually at risk of extinction? This question
needs an answer.
Research by the National Assembly Research Service (NARS) in Seoul
which was released in late August, suggested alarmingly the potential of
the population of South Korea to become extinct, due to the decline in
its birth rate to a new low of 1.19 children per woman in 2013. The
research's simulation showed that the population will shrink from 50
million today to 40 million by 2056 and 10 million in 2136. Then the
last remaining South Korean people will live until 2750.
The population crisis in South Korea actually reminds us of the same
issues that also hit Japan and the Asian tiger countries over the last
few decades. The Diplomat even said if the latest forecast is
accurate, then the region -not only South Korea- has an even bigger
demographic threat: extinction. South Korea, Japan, Taiwan, and
Singapore are struggling to finance huge numbers of their old age
population. Almost the same as South Korea, approximately 39.6 percent
of the Japanese population will be retired by 2050. According to a study
released by Tohoku University in 2012, the population of Japan would
also be extinct within a thousand years, with the last child born in
3011. It is an irony and paradox that the countries which have been
dubbed as the "East Asian miracle" due to their success in transforming
to become a high economic growth region, currently face the risk of
their own race becoming extinct as a nation.
The Chicago Syndrome: Sick Society and Population Crisis
The phenomenon of an aging population that engulfed East Asian
countries cannot be separated from their pioneer in the West that has
experienced it first. Successful East Asia in transformation from a
passive part of emerging global capitalism during the colonial expansion
of the West to an active builder of the globalizing capitalist system -
meant that it did not take them a long time to experience the same
syndrome experienced and pioneered by Western countries such as France,
Italy and others. After only about three decades of capitalization in
their countries, the damage and social breakdown caused by this system
immediately swept across their societies.
Chicago's Syndrome is a term coined by a Malaysian professor. The
Professor from the International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), Mohd. Kamal Hassan recognized the symptoms of major cities in the United States and other Western countries with "having economic progress but suffering detriment civilization".
And indeed this is the character of many capitalist countries today. In
such states, rapid development is often accompanied by a social crisis,
the collapse of the family institution, widespread criminality,
violence against women and children, and high suicide rates, in addition
to falling birth rates which are in large part due to the massive
involvement of women in the labor force. South Korea faces a serious
problem in the elderly suicide rate; it is over 4000 elderly suicides
per year. Likewise in Japan, about 30,000 people die as a result of
suicide each year. This equates to around 80-100 Japanese people
committing suicide each day. And surprisingly most of them are of a
productive age and have a steady income financially. Child abuse has
also become a big issue in capitalist East Asian countries. In South
Korea the number of confirmed child abuse cases rose to 6,700 in 2013
from 2,100 in 2001, and then up 36% this year to 10,240 cases. Japan is
even worse in that it reported a total of 73,765 cases of child abuse in
2013- its highest ever level and the first time the total has surpassed
70,000.
Western societies which are characterized by three things:
secularism, pragmatism and hedonism - as described by the eminent
scholar Taqiyuddin an-Nabhani (1953) in his book, The System of Islam -
have transmitted the same traits in developed East Asian societies,
along with the detrimental consequences that extends to their society's
life. When the West continues to propagate their values and ideology
to the world in a very arrogant manner through maligning Islam and
Muslims, in reality it is an attempt to hide the desperation that they
have created in their own societies and also in other regions such as
East Asia. Now the West is no longer able to hide the decline and damage
of their secular values and way of life.
The so-called ‘advancement and modernity' supposedly offered by
Capitalism in truth was nothing but an effective recipe for mass
dehumanization of mankind, for the ideology made communities value
material and physical pleasures rather than the wellbeing of their
societies. Its values made individuals indifferent to humanity and the
preservation of the human race itself. Acutely individualistic minds
created by capitalism have spawned generations with damaged mentalities
and spiritually empty lives - generations who have failed to understand
clearly the reality of life, have no clear purpose in life and who are
obsessed with imaginative and inhumane superhero figures from their own
capitalist entertainment industry. They are also being transformed into
an inhumane generation that is obsessed with materialistic success and a
hedonistic lifestyle rather than the happiness that comes from a stable
and successful family life. Many also shun the commitment associated
with marriage due to pursuing individual pleasures and desires. And
others postpone having children till late in life or even decide to
remain childless because they see children as a burden that drains their
finances. This is because they do not have a belief in the Creator who
guarantees the rizq (provision) for every son of Adam. All this
is coupled with capitalism's "Womenomics" policy of coercing women into
the workplace - a policy that has created mass exploitation of female
workers; and that has caused many women to view being employed as giving
them a higher status than being a mother, resulting in them losing
their passion to have many children. All this is why the birth rate and
marriage rate in many capitalist countries has become very low, for many
of their youth did not value marriage and family anymore. So slowly but
surely, this flow of modern capitalist dehumanization led to population
crises, and even predictions of population extinction! This is a toxic
form of success which is offered by secularism - toxic because despite
abundance of sciences and tremendous technological advances, such
societies have failed to organize the personal lives of individuals to
build healthy civilizations.
The Sublime Vision of the Islamic Civilization
"If the U.S. spends hundreds of millions of dollars for
scientific researches in addressing social problems in their society,
then Islam eliminates ingrained habits in jahiliyah societies only by a
few sheets of the Quran." - Sayyid Qutb
The above quote is true. Islam has rooted solutions to create a
healthy society. Medina is the best model of a healthy and civilized
society as Islam, since its birth in the Arabian Peninsula, has incised
remarkable achievement in bringing dignity to the community. Under the
shade of Allah's Revelation, Islam also managed to fuse thoughts and
feelings in the community within the purity of the Islamic Aqeedah and
Laws. Not surprisingly, the predominance of Medina is illustrated by the
words of the Prophet (saw) who described it like a blacksmith furnace
that is able to get rid of iron rust. Rasulullah (saw) has stated:
«أُمِرْتُ
بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى يَقُولُونَ يَثْرِبُ، وَهِيَ الْمَدِينَةُ
تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ»
"I was ordered to a town which will eat up towns. They
used to say, 'Yathrib,' but it is Madina. It removes the bad people like
the blacksmith's furnace removes impurities from the iron." (Muwatta Malik / Book-45 / Hadith-1605)
The Shariah as a body of laws has particular maqasids
(intents) that are aimed at preserving five things that exist in human
civilization, namely: belief, life, mind, honour and property. These
Islamic aims ensure that economic prosperity, modernity and advancement
will not cause a social breakdown in the society. So the advancement of
technology in Islam does not need social costs. This is because Islam
does not recognize a dichotomy between knowledge and faith as the
Western civilization does. The church doctrines in the Dark Middle-Ages
often conflicted with the sciences, so it forced the birth of secularism
which became the main reason of social breakdown today despite the fact
that such states reached prosperity and technological advances.
The Prophet (saw) also described the life of the Islamic community as
a group of people who sailed the seas within a ship that contained
specific laws of behavior to protect all on board. It symbolized the
nature of a society whose constituents have a collective responsibility
to prevent wrongdoing inorder to protect the rights and welfare of all;
مثل المدهن في
حدود الله والواقع فيها مثل قوم استهموا سفينة فصار بعضهم في أسفلها وصار
بعضهم في أعلاها فكان الذي في أسفلها يمرون بالماء على الذين في أعلاها
فتأذوا به فأخذ فأسا فجعل ينقر أسفل السفينة فأتوه فقالوا ما لك قال تأذيتم
بي ولا بد لي من الماء فإن أخذوا على يديه أنجوه ونجوا أنفسهم وإن تركوه
أهلكوه وأهلكوا أنفسهم
"The example of the one who stands for the Hudood of
Allah and the one who compromises the Hudood of Allah are like the
people in a boat, some of whom occupy the upper deck and some occupy the
lower deck. Whenever those in the lower deck need water, they have to
go to the upper deck to retrieve it. So some of them said, ‘why don't we
make a hole in our deck so we do not harm the people of the upper
deck?' If the people do not stop them, they will all fall and be
failures, but if they stop them they will all be saved." (Bukhari)
This ship analogy highlights the importance of the collective
responsibility in a society which functions as an effective protector of
the wellbeing of the people. Islam strongly recognizes this principle,
and the obligation of amar ma'roof nahee munkar (enjoining the
good and forbidding the evil) that it prescribes upon all believers
functions as a strong immune system within the society to prevent the
spreading of social diseases.
Muslim Women as the Guards of Civilization
As members of society, women are in the center of the cultural wars
in many Muslim countries today. They are seen as "bearers of culture",
the manager of tradition and family values, as well as the last bulwark
against the penetration and domination of Western culture.
Islam views women as having a central position within a civilization.
Muslim women play an important role within the family to maintain the
Islamic identity of the Muslim society. A healthy Muslim community can
therefore only be achieved if Muslim women realize where their exact
position within a society lies and regain that position. The main
position of women is as educators of the future generations. An
intelligent and righteous mother should be aware of her main role which
is to create the best children of this Ummah who will improve the
condition of Muslims. In the West, this main role of women has been
devalued and undermined. The result has been the rampant spread of
social diseases and crimes within their societies.
Therefore Islam prescribes a set of noble laws to maintain the
dignity of women. Islam also ordered women to have extraordinary roles
in motherhood - where in a larger scope the accumulation of this role
will guard the civilization, so that the population crisis and sick
society will be prevented from emerging even in the smallest measure.
Islam for example recommends having many children, defines the primary
role of women as wife and mother rather than as employers feeding the
economy, and it shuns the individualistic, hedonistic culture of just
pursuing physical pleasures that leads to individuals rejecting marriage
or remaining childless. In addition, Islam has also provided the one
and only comprehensive system which will provide the cure for a sick
society. This system is nothing but the Islamic Khilafah. As Uthman ibn
Affan (ra), the companion of the Prophet (saw) once said, "Verily Allah gives authority to the ruler to remove anything that cannot be eliminated by the Quran."
The Khilafah - as the global leadership for the Muslims - with its new political, economic and social vision for human civilization - will implement a system that embodies comprehensive social-economic policies which couple modernity and prosperity with moral preservation as well as noble civilization, at the same time rejects liberal freedoms and rather promotes taqwa (God-consciousness) within society that nurtures a mentality of collective responsibility to eliminate various diseases within the community. All this is implemented under the umbrella of the Islamic ruling system that obliges an efficient judicial system to deal with crimes and social diseases swiftly. Thus a healthy society will materialize, and the sustainability of the human race and its lineage will always be preserved.
Written for the Central Media Office of Hizb ut Tahrir by
Fika Komara
Member of Central Media Office of Hizb ut Tahrir
Monday, May 26, 2014
Konflik Laut China Selatan yang berkepanjangan | Ajang perebutan predator kapitalis global yang berpotensi memakan korban
Sebuah protes yang jarang sekali terjadi di Vietnam berlangsung di Hanoi dan Ho Chi Minh Minggu 11 Mei 2014 hari ini. Ratusan orang bersatu menentang China yang membangun kilang minyak raksasa di Laut China Selatan.
Sekira 300 orang melakukan aksi protes di depan Kedubes China di Hanoi. Aksi protes juga berlangsung di Konsulat China di Ho Chi Minh. Massa terdengar meneriakan kata-kata "keruntuhan China".
Protes yang terjadi menunjukkan ketegangan yang meningkat tajam antara China dengan Vietnam. Kedua negara diketahui saling berebut wilayah Laut China Selatan. (http://international.okezone.com/read/2014/05/11/411/983391/jarang-terjadi-protes-di-vietnam-menentang-china)
Sengketa kawasan beberapa negara di Laut Cina Selatan, khususnya konflik atas Kepulauan (disingkat: Kep) Spratly dan Kep Paracel ternyata memiliki referensi panjang. Berbagai literatur menyatakan bahwa perebutan keduanya semenjak dulu memang melibatkan banyak negara, antara lain Inggris, Prancis, Jepang, Vietnam dan Cina. Tampaknya kini lebih banyak lagi peserta yang masuk lingkaran sengketa, terutama sejak Komisi PBB tentang Batas Landas Kontinen pada Mei 2009 menetapkan pengajuan klaim untuk rak kontinental diperpanjang di luar 200 mil garis pantai. Akibatnya Vietnam, Malaysia, dan lain-lain baik secara terpisah atau bersama-sama mengajukan perpanjangan. Ini memicu protes Cina.
Ya, ribetnya pertikaian teritorial ini ternyata bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain.
Secara garis besar pertikaian kepulauan di atas dapat digolongkan sebagai berikut, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versus beberapa negara yaitu Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya tengah ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik versus Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya.
Dari semua sengketa barangkali yang menarik ialah Kep Spratly. Kenapa demikian, betapa geografisnya memiliki leverage dibanding pulau-pulau lain. Artinya selain merupakan jalur perairan internasional, ia dianggap strategis dari aspek pertahanan karena geo-possition dan yang utama ialah kandungan sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas alam. Lebih signifikan sebenarnya dari kajian geopolitik, artinya jika menguasai Spratly berarti akan mengontrol lintasan rute pelayaran antara Pasifik atau Asia Timur menuju Lautan Hindia.
(http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9188&type=4#.U3p4J3av8dw)
Sekira 300 orang melakukan aksi protes di depan Kedubes China di Hanoi. Aksi protes juga berlangsung di Konsulat China di Ho Chi Minh. Massa terdengar meneriakan kata-kata "keruntuhan China".
Protes yang terjadi menunjukkan ketegangan yang meningkat tajam antara China dengan Vietnam. Kedua negara diketahui saling berebut wilayah Laut China Selatan. (http://international.okezone.com/read/2014/05/11/411/983391/jarang-terjadi-protes-di-vietnam-menentang-china)
Sengketa kawasan beberapa negara di Laut Cina Selatan, khususnya konflik atas Kepulauan (disingkat: Kep) Spratly dan Kep Paracel ternyata memiliki referensi panjang. Berbagai literatur menyatakan bahwa perebutan keduanya semenjak dulu memang melibatkan banyak negara, antara lain Inggris, Prancis, Jepang, Vietnam dan Cina. Tampaknya kini lebih banyak lagi peserta yang masuk lingkaran sengketa, terutama sejak Komisi PBB tentang Batas Landas Kontinen pada Mei 2009 menetapkan pengajuan klaim untuk rak kontinental diperpanjang di luar 200 mil garis pantai. Akibatnya Vietnam, Malaysia, dan lain-lain baik secara terpisah atau bersama-sama mengajukan perpanjangan. Ini memicu protes Cina.
Ya, ribetnya pertikaian teritorial ini ternyata bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain.
Secara garis besar pertikaian kepulauan di atas dapat digolongkan sebagai berikut, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versus beberapa negara yaitu Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya tengah ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik versus Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya.
Dari semua sengketa barangkali yang menarik ialah Kep Spratly. Kenapa demikian, betapa geografisnya memiliki leverage dibanding pulau-pulau lain. Artinya selain merupakan jalur perairan internasional, ia dianggap strategis dari aspek pertahanan karena geo-possition dan yang utama ialah kandungan sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas alam. Lebih signifikan sebenarnya dari kajian geopolitik, artinya jika menguasai Spratly berarti akan mengontrol lintasan rute pelayaran antara Pasifik atau Asia Timur menuju Lautan Hindia.
(http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9188&type=4#.U3p4J3av8dw)
Khilafah adalah Masa Depan Hakiki bagi Muslim Moro di Filipina Selatan, Bukan Perjanjian Damai Demokratis yang Sarat dengan Kepentingan Imperialis!!
Pada hari Minggu tanggal 4 Mei lalu, berbagai media Filipina melaporkan aksi massif “ratifikasi rakyat” yang diselenggarakan serentak di beberapa area penting di Mindanao dalam rangka mendesak Kongres untuk meloloskan Hukum Dasar Bangsamoro (Bangsamoro Basic Law). Laporan dari Luwaran.com, situs informasi resmi dari Front Pembebasan Islam Moro (MILF), menginformasikan jumlah peserta aksi long march tersebut mencapai 200.000 orang termasuk ribuan Muslimah di delapan kota dan empat kotamadya di Filipina Selatan.
Setelah lebih dari 40 tahun konflik berdarah antara MILF dan pemerintah Filipina, presiden Kelompok Wanita Barangay – Hazar Muarip Ahmad mengatakan mereka sudah “sakit dan lelah dengan perang,” karena perempuan dan anak-anak adalah korban pertama yang paling terimbas jika konflik meletus. Di sisi lain, hal itu juga mempengaruhi kualitas pendidikan anak-anak sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Al-Amin, Ketua Kaukus Masyarakat Adat Bangsamoro dalam wawancara terpisah.
Hukum Dasar Bangsamoro merupakan bagian dari Perjanjian Komprehensif pada Bangsamoro (Comprehensive Agreement on Bangsamoro/CAB) antara pemerintah Filipina di bawah pemerintahan Aquino, dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang telah dicapai setelah perundingan panjang selama 17 tahun dan secara intensif difasilitasi oleh lembaga-lembaga internasional, termasuk beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, dan Malaysia.
Perjanjian ini juga memberikan peta jalan (roadmap) baru untuk Bangsamoro, yakni sebagai entitas politik otonom baru yang akan menggantikan Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) yang dianggap oleh Presiden Filipina sebagai “percobaan yang gagal”. Di sisi lain, perjanjian ini juga membentuk identitas baru untuk Muslim Moro sebagai “bangsa Moro”, bangsa adalah kata Melayu yang berarti ‘bangsa’ yang akan mencakup tidak hanya suku Muslim etnis, tetapi juga penduduk yang beragama Kristen dan masyarakat adat di wilayah Bangsamoro.
Perangkap Demokrasi yang Sarat dengan Kepentingan Asing
Perjanjian damai yang diupayakan pemerintah sekuler Filipina yang didukung oleh lembaga-lembaga dunia, sejatinya tidak akan pernah menciptakan kemerdekaan hakiki bagi Muslim Moro yang minoritas, termasuk kaum Muslimah dan anak-anak Moro yang puluhan tahun hidup tertindas hingga lebih dari 120 ribu nyawa Muslim Moro melayang selama 40 tahun terakhir.
Perjanjian komprehensif ini tidak lain adalah sekedar “perangkap demokrasi” yang digunakan untuk mengaburkan identitas sejati umat Islam di Filipina Selatan, menganeksasi wilayah selatan Filipina yang sangat kaya akan sumberdaya alam, melumpuhkan gerakan politik bersenjata Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan menjinakkan umat Islam agar menjadi lebih moderat, pragmatis sehingga menyakini bahwa demokrasi adalah kancah perjuangan Islam yang ideal. Semua upaya dilakukan oleh penguasa kufar Filipina dan lembaga-lembaga internasional yang tidak menginginkan Islam tegak di Filipina Selatan, yang bermuara pada tujuan yaitu partisipasi dalam demokrasi dari kaum Muslimin dan menyibukkan mereka dengan hal tersebut sehingga meninggalkan segala upaya untuk merealisasikan perjuangan penegakan Syariat Islam.
Dengan terikat dengan perjanjian damai seperti CAB, bahaya yang lebih besar sesungguhnya menanti umat Islam di Filipina Selatan. Imperialisme AS dan negara-negara Kapitalis lainnya semacam Australia dan Jepang siap mengeksploitasi kekayaan ekonomi yang dimiliki pulau Mindanao dan Sulu di Filipina Selatan. Hal ini tidaklah aneh, karena hampir empat abad kekuasaan Spanyol dan enam dekade pengawasan AS telah membelenggu Filipina dengan eksploitasi feodal dan semi-feodal. Petani Filipina telah kehilangan tanah; pekerja dihinakan menjadi tenaga kerja murah; dan sumber daya alam dan lingkungan, dijarah dan dirusak. Filipina telah lama menjadi pasar pembuangan untuk barang-barang mahal, dan pangkalan depan untuk hegemoni imperialis AS dan sekutunya di Asia-Pasifik. Bahkan untuk mengamankan kepentingan geopolitiknya di Asia Pasifik, secara khusus AS telah mengerahkan pasukannya di Mindanao.
Khilafah: Masa Depan Hakiki untuk Muslim Moro
Wahai saudariku Muslimah Moro, sadarilah! Bahwa muslim Moro adalah bagian tidak terpisahkan dari umat Islam yang satu di seluruh dunia Islam yang terbentang dari Maroko hingga Merauke! Kaum Muslimah di sepanjang bentangan kawasan itu mengalami penderitaan yang sama seperti yang kalian rasakan, tertindas dan terjajah di tanah mereka sendiri. Kita adalah umat yang satu, nabi kita satu, dan Al-Quran kita pun satu, maka tinggalkanlah atribut kebangsaan sekuler yang mengkotak-kotakkan umat Islam! Karena Islam mengajarkan bahwa ikatan terkuat bagi seorang Muslim itu adalah Aqidah Islam yang termanifestasi dalam ukhuwah Islamiyah, dan ikatan ini wajib diletakkan diatas suku bangsa, ras ataupun warna kulit.
Islam juga mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan politik (Khilafah). Haram bagi mereka terfragmentasi di bawah kepemimpinan politis yang lebih dari satu, apalagi harus hidup tertindas dibawah tirani mayoritas kaum kafir. Rasulullah SAW pernah bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.“
(HR. Muslim no. 3444). Oleh karena itu Khilafah akan menyatukan wilayah
Filipina Selatan dengan kepulauan Indonesia, Malaysia dengan seluruh
tanah kaum Muslimin di seluruh dunia. Khilafah juga akan membebaskan
tanah kaum Muslimin di Mindanao, Sulu, Burma, Suriah, hingga Afrika
Tengah, serta akan menjadi perisai bagi kehormatan umat Islam termasuk
kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh wilayah negara Khilafah.Khilafah dengan visi politik luar negerinya yang luhur tidak akan pernah membiarkan wilayah kaum Muslimin jatuh ke tangan kuffar melalui berbagai jerat perjanjian imperialis. Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri negeri-negeri Muslim yang penuh dengan nuansa kelemahan dan ketertundukan ini akibat jerat nasionalisme dan pengkhianatan penguasa boneka Barat. Khilafah akan menggantinya dengan sebuah visi politik luar negeri yang berorientasi mulia untuk penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan Jihad.
Wahai saudariku tercinta Muslimah Moro! ingatlah bahwa jalan satu-satunya untuk merdeka adalah kembali pada pangkuan Islam dan bersatu dengan seluruh umat Islam di bawah naungan Khilafah! Sadarilah bahwa umat Islam tidak boleh kembali masuk perangkap musuh untuk kesekian kalinya, kekuatan umat Islam tidak boleh dilucuti oleh perangkap bernama demokrasi dan nasionalisme! Tetaplah konsisten dengan jalan perubahan melalui metode dakwah yang lurus yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, karena itu bergabunglah dengan perjuangan demi tegaknya Khilafah Islam yang kedua yang akan membungkam siapapun yang menyerang dan menodai kehormatan kaum Muslimah di seluruh dunia di bawah kalimah Tauhid dan pemerintahan Islam.
Fika Komara
Islam mensejahterakan Nusantara lebih dari 3 abad, kolonialisme Barat justru yang memiskinnya hingga hari ini!
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ
آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ
فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya
aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
selalu mereka perbuat” (TQS An Nahl : 112)
Kolonialisme Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) menimbulkan dampak terhadap dinamika Islam di Nusantara. Secara politik-ekonomi, kolonialisme mengakibatkan kemunduran ekonomi kaum Muslimin sehingga era colonial ini juga disebut sebagai era kesuraman – pemaksaan monopoli perdagangan menyebabkan kemunduran dan kesengsaraan rakyat. Di bidang politik kolonialisme mengakibatkan hancurnya sebagian besar entitas politik kesultanan Islam. Periode ini merupakan masa kemunduran dan kemerosotan kaum Muslim di Nusantara sebagai akibat dari penetrasi kolonialisme Barat yang berlangsung sejak awal abad ke-19.
Di era kesultanan Islam di Nusantara nyaris tidak terdengar praktek eksploitasi atau kerja paksa pada rakyat, termasuk kaum perempuan. Namun pada era kolonialisme Eropa dan Jepang praktek ini sangat menonjol. Pada masa pendudukan Jepang, kita mengenal istilah romusha, yaitu orang Indonesia yang 'diperbudak' dalam kerja paksa. Sebelumnya ada cultuurstelsel alias aturan tanam paksa pada zaman penjajahan Belanda.
Sumber: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid Asia Tenggara, Ichtiar Baru Van Hoeve
Subscribe to:
Posts (Atom)