Penulis : M. Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute 
Ada  tujuh point dari Adam Lowther sebagai alasan kenapa Amerika Serikat  (AS) tidak jadi menyerang Iran. Menarik memang. Namun jika ditelaah  lebih jauh terkesan seperti dipaksakan atau diada-adakan. Artinya tujuh  alasan yang diuraikan terlihat datar-datar saja, tidak terdapat hal-hal  signifikan. Ini mirip dengan kemunculan Wikileaks dulu yang membocorkan  dokumen seolah-olah merupakan  “rahasia” militer dan file strategi  Amerika Serikat (AS) ke depan. Dunia sempat gempar dibuatnya. Julian  Assange, sang operator Wikileak menjadi sosok hero yang berani menantang  negara-negara atas nama “kebebasan media”. Aneh bin ajaib. Banyak  kalangan menyebut, bahwa kemunculannya ialah cermin lazy journalism  (kemalasan jurnalis) karena dianggap mengambil alih porsi dan peran  media massa, tetapi justru oleh media itu sendiri dipromosikan secara  dahsyat. Ada apakah gerangan?
 Setelah  dikaji lebih jauh, ternyata berita Wikileaks berkisar antara dua hal:  (1) jika soal AS maka bocoran terkait  hal yang kurang signifikan,  misalnya tentang tentara stress, desersi, trauma dan lainnya. Oleh  karena pada setiap operasi militer dimanapun, tentara “mbalelo” dan  bermasalah dipastikan selalu ada; (2) namun bila berita masalah negara  lain, bernafaskan adu domba terutama terhadap kelompok negeri yang  dianggapnya “musuh”. Misalnya adu domba antara Cina dengan Korea Utara,  atau Iran versus Saudi Arabia, dan sebagainya. Tapi taburan adu domba  yang lalu ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap negara-negara  rivalnya. Ya. Tebaran “ruh” adu domba yang bertitel korupsi, kemiskinan  dan lainnya oleh Assange hanya sukses menggerakkan massa di Tunisia,  Yaman, Mesir karena bahan bakunya (korupsi,  kemiskinan dll) memang riil  nyata akibat kebijakan pemerintah (manapun) yang mengabdi kepada  lembaga keuangan global seperti Bank Dunia, IMF dan lainnya.
Pada  akhirnya “belang” tersebut terbongkar oleh para peneliti dari Central  for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa dibelakang Wikileaks  adalah New York Times dan senantiasa meminta ijin Pemerintah AS sebelum  me-launching berita (Prof Michel Chossudovsy, 2010). Lalu,  bocoran beritanya pun menjadi  hambar bak sayur tanpa garam, jarang  bahkan kini tak pernah muncul lagi. Ia telah menjadi bagian masa lalu  methode kontra opini AS dan sekutu terhadap negara-negara yang  dikategorikan “lawan”. Wikileaks gagal memprovokasi para adidaya baru  kompetitor  AS dan sekutu untuk “saling berhadapan-hadapan”.
Kembali  kepada alasan Lowther di atas, materinya memang tidak mengada-ada.  Semua alasannya riil, hanya dangkal saja. Tidak signifikan. Boleh jadi  alasan tadi sengaja dipesan agar kegagalan serangan di Selat Hormuz,  selain agar tidak “menampar muka” superpower, juga seolah-olah  pantas dan wajar karena berdasar suatu analisa akademis. Tak  tanggung-tanggung, kajian tersebut berasal dari telaah seorang analisis  bidang pertahanan. Sebelum melangkah jauh, sebaiknya diurai dahulu tujuh  alasan yang bersumber dari Universitas Angkatan Darat, AS antara lain:
Pertama,   Iran punya kapabilitas militer yang mumpuni untuk menghadapi AS dalam  beberapa dekade ini. Iran tak seperti negara-negara bekas invasi AS,  seperti Grenada, Panama, Somalia, Haiti, Bosnia, Serbia, Afganistan,  atau Irak. Militer Iran jauh lebih kompeten dan memiliki kemampuan. Iran  juga berpengalaman dalam mempelajari taktik dan strategi AS melalui  pengamatannya selama perang Irak satu dekade ini;
Kedua,  tidak seperti Irak, Angkatan Darat Iran dan Korps Pengawal Revolusi  Iran tidak akan meletakkan senjatanya pada serangan awal. Menurutnya,  Iran banyak belajar dari Irak dan Afganistan tentang bagaimana  mengalahkan AS, dan Iran tidak akan menyerah begitu saja pada serangan  pertama;
Ketiga,  Kementerian Intelejen Iran merupakan salah satu yang terbaik di dunia.  Terbukti dapat mengatasi kelompok-kelompok yang bersifat anti-Iran  selama 3 tahun terakhir, bahkan baru-baru ini Pengadilan Revolusioner  Iran menjatuhi hukuman mati kepada seorang pria keturunan Iran-Amerika  Serikat karena terbukti menjadi mata-mata CIA, dinas rahasia AS;
Keempat,  gerakan Perlawanan Hizbullah kemungkinan besar dapat membantu  perlawanan Iran terhadap AS. Masih menurut Lowther, Hizbullah dapat  memainkan peranan penting bagi Iran untuk memberikan perlawanan.  Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, memperingatkan bahwa apa pun yang  dilakukan Israel atau AS secara militer pada fasilitas nuklir Iran akan  mengarah pada perang dengan melibatkan banyak pihak. "Saya tidak  mengancam, tapi setiap orang yang punya perasaan dapat melihat bahwa  serangan Israel-AS terhadap Iran atau keterlibatan militer di Suriah  akan mengarah pada perang regional," kata Nasrallah di selatan Beirut,  November 2011;
Kelima,  Iran mempunyai kemampuan yang mengesankan dalam perkembangan dunia  maya. Lowther menulis serangan terhadap infrastruktur nuklir Iran  kemungkinan akan berlanjut. Peretas alias hacker Iran mungkin akan  menargetkan data penting di sektor publik dan swasta, yang dapat  mematikan sistem dan data;
Keenam,  militer AS layak untuk beristirahat, terlebih setelah hampir satu  dekade terus berperang. Soalnya, sudah satu dekade ini AS berperang  dengan Irak dan Afganistan. Joseph Stiglitz, peneliti AS, berpendapat,  perang ini menjebak AS ke dalam krisis ekonomi dan terbenam dalam  lilitan utang akibat biaya militer yang amat tinggi. Pada akhirnya  Lowther menyarankan untuk menimbang kembali semua pilihan sebelum  beralih kepada konflik militer; dan
Ketujuh,  serangan AS atas Iran akan membawa AS ke dalam perang yang lebih besar.  Akibatnya sulit bagi AS melakukan istirahat dan perbaikan.
Itulah  tujuh alasan akademis mengapa AS tidak menyerang Iran. Relatif logis  bila ditinjau dari kajian ilmiah. Tetapi tatkala “slulup” (insight) agak  dalam, maka akan terlihat bahwa ketujuh point tadi menjadi hambar sebab  tanpa disertai aspek politis yang menjadi “ruh” atas tingginya daya  gerak militer AS selama ini.  Pertanyaan menarik yang timbul adalah, apa  “ruh” agresivitas militer AS selama ini?
Pada  catatan tak ilmiah ini, penulis ingin mengkaji dinamika militer AS dari  dua aspek saja ---saya menyebutnya “ruh”--- walau sebenarnya banyak  sisi dapat dijadikan titik tolak, namun semoga dalam bahasan nanti,  mampu ‘nyrempet-nyrempet’  ke aspek lain yang terkait.
Tak  bisa dipungkiri, watak dasar kapitalis ialah akumulasi modal dengan  cara mengurai pasar seluas-luasnya dan mencari bahan baku  semurah-murahnya. Itulah “ruh pertama” yang menjadi ideologi (elit) AS  dan merupakan pupuk mujarab bagi hasrat serta daya jangkau militernya  yang besar, luas lagi dahsyat di dunia. Pantaslah jika ia senantiasa  membangun pengaruh, kekuatan dan pangkalan militernya dimanapun berada.  Maka wajar bila Taqayuddin An Nabhani (1977) mengembangkan asumsi bahwa  penjajahan ialah methode baku kapitalis sedang yang berubah hanya cara  dan sarananya saja.
Selaras dengan asumsinya An Nabhani, teori Jean Bricmont memperkuat gerak langkah superpower,  yakni bahwa: “setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer,  tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis”. Dan agaknya penggalan  kalimat “selalu membutuhkan pembenaran ideologis” dari asumsi Bricmont  di atas, menjadi pijakan bagaimana AS mencari “cara dan sarana” dalam  methode penjajahan sebagaimana asumsi An Nabhani tadi. Intinya, kedua  asumsi di atas dipakai semua oleh AS. Entah melalui utang dengan  persyaratan yang cenderung memposisikan negara penghutang di posisi  ”negara terjajah”, atau melalui capacity building sehingga berkiblat  kepada nilai asing yang belum tentu cocok dengan kharakter bangsa, atau  kebijakan yang justru berpihak pada kepentingan asing dan mengabaikan  rakyat sendiri, dan seterusnya.
Sedangkan  “ruh kedua” menurut hemat penulis adalah POLITIK MINYAK SEJAGAT,  sebagaimana isyarat Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future  Institute (GFI), Jakarta dalam bukunya berjudul Tangan-Tangan Amerika,  Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia (2009). Dengan demikian  modus dan sarana apapun oleh kaum penjajah ujungnya selalu minyak,  minyak dan minyak (tambang) sebagai tujuan. Bahkan Pepe Escobar,  wartawan senior Asia Times berani menyatakan (2007),  jika Bush  berbicara soal hak azasi manusia, maka yang ia dimaksud adalah minyak  dan gas alam!
Ya.  Tempo doeloe memang rempah-rempah sebagai incaran, namun seiring dengan  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka minyak atau hasil tambang  lain sejenis merupakan komoditas unggulan dunia menggeser era  rempah-rempah.
Dengan  demikian, menyerang Iran melalui Selat Hormuz apapun alasannya, bagi  superpower dan sekutu ibarat menghancurkan dapur utama. Itu identik  dengan bunuh diri. Betapa selat strategis itu merupakan pasar yang (luas  dan murah) bagi AS, selain sebagai lokasi unggulan guna produksi US  dollar (baca: Perang Asia Timur Raya di web GFI). Hampir sekitar 40 %  minyak di pasar dunia berasal dari sana. Ada delapan negara penghasil  minyak dunia, enam diantaranya (Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Uni  Emirat Arab, Qatar, Oman/P-GCC) dalam “cengkraman” superpower kecuali  Iran, Irak dan Afghanistan yang hasil minyaknya masih belum bisa  “didudukkan” oleh Barat.
Asumsi  menyerang Selat Hormuz akan berakibat tutupnya selat tersebut entah  hingga waktu yang tak jelas, dan konsekuensi logis yang pasti muncul  adalah kelangkaan minyak di dunia, karena produksi dan distribusi  terhenti akibat perang. Sudah barang tentu efek dominonya adalah naiknya  harga minyak dunia yang bakal diikuti oleh naiknya harga-harga barang  dan jasa. Dan paling utama sekali, meletuskan perang di selat “basah”  tadi sungguh sangat bertolak belakang dengan “kedua ruh” sebagaimana  diurai di tengah catatan ini, yakni akumulasi modal dan politik minyak  sejagat yang dianut oleh AS dan sekutu.
Ketika  terlihat semakin memanasnya aura perang di Selat Hormuz dan sekitarnya,  boleh ditebak itu hanyalah sekedar “perang kata-kata” --- meminjam  istilah Mahdi Darius---  peneliti di CRG, maka ibarat sebuah pagelaran,  Selat Hormuz sesungguhnya merupakan kegagalan perang yang telah  direncanakan!