Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Thursday, December 29, 2011

Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (Refleksi Geopolitik Papua)



Penulis : M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya, target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011), adanya informasi Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Departemen Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.

Ia memberi analogi kasus Libya yang mirip lepasnya Timor Timur doeloe. Ya, melalui dalih hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, lalu Australia, AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekan Pemerintah Habibie, padahal minyak di celah Timor merupakan tujuan dan kini tengah digarap Australia. Begitu pula Libya, kembali alasan HAM dan demokratisasi mengemuka, kemudian AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyerang Pemerintah Gaddafi, sedang ujungnya ingin menguasai minyak Libya (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com, dan Perampokan ala NATO by Dina Y. Sulaeman). Agaknya sinyalemen KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semakin mempertebal pernyataan Connie tadi, “bahwa NKRI di ujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (RIMANEWS, 5/12/2011).

Adalah keprihatinan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, perihal hiruk-pikuk Papua seperti menyentak kita bersama:

.. tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. AS sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad ..”.

Hendrajit meneruskan:

..mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi AS, anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan orde baru, mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. AS mengantisipasi bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasinya di Papua, maka nasionalisasi atas perusahaan dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu ..

Penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia ini menekankan lebih lanjut:

.. kekerasan di Papua, bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan diluar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka. Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti ketika berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto. Mereka adalah satu. Tapi Pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merakuke (tambahan penulis:”dari Miangas hingga Rote”) ..

Pernyataan ketiga person di atas, mungkin mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekedar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isue HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isue-isue aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.

No free lunch. Tak ada makan siang gratis di Barat. Niscaya ada agenda tersembunyi hendak dicapai. Tengok saja. Tatkala ada gelontoran dana asing baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, apalagi jika gelontoran itu tak terbatas --- maka sudah boleh dipastikan operasi intelijen asing tengah bermain di republik tercinta ini (baca: Indonesia Diserbu! www.theglobal-review.com). Pertanyaanya ialah, adakah hal ini disadari oleh para individu, ormas dan LSM setempat bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi (kaum komprador) bagian dari skenario penghancuran negeri dan bangsanya sendiri, dari sisi internal?

Dari kajian eksternal, kegagalan invasi militer AS dan sekutu pada tiga wilayah terakhir seperti Afghanistan, Iraq dan Libya dipastikan semakin menghancurkan pundi-pundinya di tengah krisis ekonomi dan finansial. Hugo Chaves mengisyaratkan ada seri-seri baru perang kolonial sedang dimainkan guna memulihkan sistem kapitalis global, dan itu telah dimulai dari Libya dengan “modus utang dibayar dengan bom”. Namun betapa para loyalis Gaddafi melawan secara super dahsyat atas “keroyokan” negara-negara Barat, bahkan mampu membuat NATO pontang-panting.

Akhirnya berbagai deception atau pengalihan perhatian dijalankan sebagai alasan untuk meninggalkan perang di Libya. Agar tak malu dibuatlah pengalihan perhatian via video kematian Gaddafi, ataupun skenario palsu Saif al Islam, putra Gaddafi tertangkap dan lainnya. Ya, ada edit dan counter berita, itu memang bagian dari methode invasi militernya. Bukankah hampir semua media mainstream dikuasai Barat? Dan meski kini ekonomi negaranya semakin “dedel duel” bahkan merambah pada bidang-bidang lain, namun hasil yang diperoleh oleh AS dan NATO hanya sebatas menjarah harta-harta Libya di luar negeri berkedok pembekuan aset.

Sudah barang tentu, rencana serangan ke Iran sesuai statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO doeloe perihal peta (roadmap) penaklukan dunia oleh Pentagon yang telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan ---kemungkinan TERTUNDA--- bila tak boleh menyebut gagal. Oleh sebab Syria sebagai sasaran invasi setelah Libya, tak disangka melawan total. Menentang habis-habisan. Tak bisa dipungkiri, keberanian Bashar al Assad melawan tekanan Liga Arab dan Barat, selain menyadari adanya “kebangkitan Islam” dimana-mana, mutlak karena ada dukungan Cina dan Rusia, terkait berbagai kepentingan kedua adidaya di Syria. Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus punya modal dan andalan), kata ujaran kuno Jawa.

Ya. Gagal menekan Syria, NATO kembali “mengobok-obok” Libya namun disambut dengan perlawanan super dahsyat oleh loyalis Gaddafi, yang kini bernama Tentara Pembebasan Libya. Dan wilayah-wilayah Libya pun kembali riuh oleh tembakan senjata serta ledakan-ledakan bom. Tripoli, Benghazi, Misrata, Bregah, Gharyan, Baidah, Sirte, Zawya dan wilayah lainnya terus membara oleh peperangan. Apaboleh buat, kendati kemarin ia telah  menyatakan misinya usai, akhirnya PBB memperpanjang misi (dukungan) NATO di Libya dari mulai 16 Desember 2011 sampai Maret 2012.

Tampaknya AS dan sekutu ngeper (gentar) melanjutkan roadmap-nya di Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah). Indikasi ini jelas terlihat, antara lain: (1) Israel tidak membalas sama sekali ketika baru-baru ini puluhan roket Hizbullah menyerangnya dari Lebanon. Ini berbeda dengan kelaziman dimana ia cenderung agresif; (2) Merapatnya kapal perang Rusia di Laut Syria merupakan isyarat Moskow, bahwa ia akan memblokir setiap serangan yang dipimpin NATO dengan kedok intervensi kemanusiaan, dan (3)  Resolusi PBB untuk sanksi terhadap Syria pun diperkirakan gagal terbit setelah Rusia dan Cina menggunakan hak veto, demikian seterusnya.

Maka jika diibaratkan penjarah, sesungguhnya misi AS dan sekutu di Libya cuma sebatas “merobek-robek” kantong namun belum sempat mengambil isi rumah, keburu diteriaki rampok oleh pemilik dan sekelilingnya. Termasuk rencana menyerang Syria dan Iran melalui “organ pemecah belah”-nya yakni Israel pun terbaca oleh publik global. Pola atau modus-modusnya sudah basi, hampir sama atau mirip-mirip sehingga mudah diterka.

Apapun istilah, gerakan politik AS dan sekutu di Jalur Sutra, entah ia smart power, entah itu revolusi warna, atau provincial reconstruction team, bahwa geliat operasi silumannya out of control dari rencana semula. Upaya ganti rezim yang diawali destabilisasi politik ternyata berputar 180 derajat, berubah menjadi ganti sistem. Warna yang muncul lagi populer di Timur Tengah dan sekitarnya adalah KEBANGKITAN ISLAM. Termasuk tertangkapnya pesawat mata-mata RQ 170 milikAS oleh militer Iran, menimbulkan fenomena terbaru bahwa DUNIA TAK LAGI PERCAYA DENGAN TEKNOLOGI BARAT, terutama teknologi perangnya!

Sepertinya seri baru perang kolonial sebagaimana isyarat Chaves, kini hendak digelar di Asia Pasifik, akibat ketidaksuksesan (atau gagal) di Jalur Sutra. Diawali operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union. Sasaran strategis AS ialah mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan  Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya (Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, 15/11/2011 ).

Sekurang-kurangnya, ada dua peristiwa bersejarah yang dapat digunakan rujukan sementara untuk mengurai kiprah AS dan sekutunya, antara lain adalah (1) Kuliah Bung Karno (BK) kepada Che Guevara tahun 1959-an, ketika Che diperintah Fidel Castro berguru kepada BK tentang Sosialisme. Inilah sebagian materi kuliah yang diterima Che perihal Kedaulatan Modal dan Imperialisme Modern:

.. watak imperialisme kuno yang menghasilkan kapitalisme kuno itu beda dengan watak imperialisme modern. Imperialisme kuno bersandar pada kekuatan militer, imperialis-kapitalis modern didasari kekuatan finanz-kapital. Kelak konflik internasional bergeser pada modal, bukan lagi pada perang koloni atau wilayah. Inilah kenapa aku ingin negeriku menjadi raksasa terhadap modal itu sendiri, berkedaulatan politik, daulat atas ekonomi dan berkebudayaan otentik ..",

Sedang peristiwa ke (2) Adalah  great depression  yang pernah menerpa Paman Sam dekade 1930-an doeloe. Diawali kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ia mampu  bangkit kembali akibat meletus Perang Dunia (PD) II. Ya, persoalan apakah PD II itu diciptakan atau terjadi secara alamiah, tidak akan dibahas dalam tulisan ini (baca: Teror dan Catatan Kecil Perang Dunia, di www.theglobal-review.com). Artinya roda perekonomian AS kala itu bisa bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan AS menerima banyak pesanan berbagai senjata dan pesawat terbang dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia.

Benang merah hal di atas, sepertinya mampu menjawab kontradiksi selama ini, kenapa pemerintah Obama dan sekutu berjuang memperbaiki krisis ekonomi negara, sedang militernya justru menghambur-hamburkan uang untuk perang. Agaknya terdapat korelasi kuat antara perang dan modal. Dengan kata lain, perang memang harus bermodal namun peperangan justru dapat menghancurkan modal itu sendiri. Modal adalah alat utama memulihkan perekonomian, dan perang merupakan salah satu sarana terbaik mengembalikan dan mencari modal. Agaknya kepulihan great depression di AS tempo doeloe boleh dijadikan contoh riil atas asumsi ini.

Kembali ke Asia Pasifik, bahwa skenario Obama atas pangkalan AS di Darwin ialah dalam rangka membantu Indonesia bila terjadi bencana alam. Barangkali itu cuma open agenda. Ketika jarak Papua cuma 800-an mil dari Darwin maka kelaziman hidden agenda sebagai tujuan pokok membonceng diam-diam. Papua memang merupakan kawasan Indonesia yang kini tengah terlibat konflik intrastate baik vertikal maupun konfik horizontal akibat krisis politik berlarut.

Isue yang ditabuh oleh beberapa elemen bangsa guna memisah Papua dari NKRI ialah HAM, kemiskinan dan lainnya. Ketidakmampuan Pusat mengentaskan kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama separatis tumbuh subur, sedang kemiskinan disana hakikinya akibat sistem kapitalisme yang diterapkan. Baik KORUPSI yang sengaja “diciptakan” oleh sistem, juga pola pembagian royalti yang “njomplang” dan lainnya. Bagaimana dikatakan adil dan beradab, jika tukang cangkulnya mendapat 99 %, sedang pemilik tanah memperoleh 1 % saja? Gunung emas yang seharusnya memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh asing.

Kembali soal Darwin, konon sekitar 2500 marinir AS akan ditempatkan. Secara hitam putih terlihat sedikit, namun bila kapal induk merapat disana niscaya membawa 10.000-an serdadu lengkap dengan peralatan perang dan pesawat-pesawat tempur siap laga, belum termasuk instrumen pengiring baik kapal perang kecil maupun kapal-kapal selam. Itu sudah prosedur  tetap pergerakan kapal induk dimanapun.

Pertanyaan kenapa demikian, bahwa kesulitan AS dan sekutu menguasai (mengembalikan modal) di Jalur Sutra sebagai alasan pokok, bukankah lebih baik langsung masuk ke sasaran lain yakni: Indonesia Raya, negeri “miskin” di Asia Tenggara namun kaya akan sumberdaya alam. Banyak sumberdaya yang ada di Jalur Sutra dipastikan melimpah-ruah di Indonesia cuma belum tergali; sementara berbagai sumberdaya dimiliki Indonesia banyak yang tidak ditemui di Jalur Sutra. Konon Charlie Illingworth, Bos-nya John Perkins sewaktu berada di Bandung pernah bilang, bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004).

Lagaknya, apa yang dikerjakan AS kini ibarat memakan bubur panas, artinya memulai dari pinggiran-pinggirannya. Misalnya (rencana) pangkalan militer di Singapura, pangkalan di Subic, meskipun data terakhir AS  telah meninggalkan Philipina dekade 1992-an, dan paling terakhir adalah Darwin, Australia.

Dalam perspektif hegemoni AS, menerkam Indonesia sebenarnya tinggal menunggu saat serta momentum saja, sebab “pembusukan dari dalam” telah berjalan mulus dan lancar sejak Orde Baru lengser doeloe. Seperti perubahan total UUD dan intervensi puluhan UU lainnya (baca: Perlu Diselidiki Kebenarannya : Bantuan Asing Untuk Amandemen UUD 1945 dan Beberapa Paket Undang-Undang, 8/12/2011 di www.theglobal-review.com), “korupsi yang diciptakan” , atau “Perang Candu” dengan berbagai kemasan, pola adu domba berbungkus ego sektoral dan lainnya. Entah momentum nanti menumpang pada hiruk-pikuk politik internal negeri, atau bakal diletuskan ketika pemilu presiden (2014) nanti dan sebagainya. Wait and see. Sekali lagi, inilah mengecoh langit menyeberangi lautan. Lalu, masihkah anak bangsa ini asyik dengan “mainan ciptaan asing”, sedang itu bagian dari trap modus potong babi?

(Dari berbagai sumber)

Pangkalan AS di Darwin untuk Rebut Papua Bertahap




Pangkalan AS di Darwin untuk Rebut Papua Bertahap

PERKEMBANGAN lingkungan strategis secara Internasional , yang terjadi belakangan ini,negara yang kaya secara finansial dan memiliki kekuatan militer modern , trennya akan mencaplok negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, namun lemah kepemimpinan nasionalnya. Indikasinya, ada skenario besar dari negara super power seperti Amerika Serikat ( AS) ingin menguasai SDA Indonesia maupun dunia.

Seperti kita ketahui bersama, AS merupakan konsumen minyak terbesar di dunia yang mengonsumsi minyak sekitar 22 juta barrel per hari, sedangkan pasokan di dalam negerinya hanya mencapai enam juta barrel. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka harus didatangkan dari luar negeri.

Untuk mengamankan pasokan dan mengendalikan harga minyak mereka, maka AS akan mencari minyak ke mana saja, jika perlu dengan perang. Selain minyak, tentunya SDA yang lainnya seperti tambang emas dan tembaga.

Dengan penguasaan SDA Indonesia oleh asing, maka bangsa Indonesia tidak akan pernah mandiri. Jika kemudian di belakang hari ada masalah, maka akan dipakai sebagai alat untuk mengendalikan bangsa Indonesia.

Contohnya konflik yang terjadi belakangan ini di Papua yang eskalasinya terus mengalami peningkatan, menurut Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Sutowo, disebabkan provokasi asing yang sangat berkepentingan dengan SDA di Papua yang kaya raya. Dengan kekayaan alam yang dimilikinya, Papua diincar oleh banyak pihak, terutama negara yang mempunyai kepentingan atau membutuhkan SDA.

Apalagi dalam waktu dekat, AS akan membangun pangkalan militer di Darwin, Australia Utara, dengan menempatkan 2500 orang personel maninir. Sedangkan jarak antara Darwin dengan Papua, hanya 850 km. Pembangunan pangkalan militer AS di Darwin itu, menurut Presiden AS Barrack Obama, untuk mengamankan Asia Pacifik dan menghambat gerak laju negara super power Asia, Cina. Seperti diketahui , Cina kini menambang di Papua Barat.

Seperti biasanya isu-isu central yang dikedepankannya adalah pelanggaran HAM, ketidakadilan dan kemiskinan. Padahal kekeyaam alam Papua selama 50 tahun telah dikeruk oleh asing.
Untuk meredam konflik di Papua, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu ,pemerintah harus tegas menangani semua konflik di Papua. Ketegasan aparat keamanan sangat dibutuhkan agar Papua tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan itu adalah harga mati."Tangkap yang melawan aparat. Jangankan yang sampai menembaki aparat, yang membawa senjata juga harus ditangkap",katanya.

Terkait upaya penegakan hukum dan penegakan kedaulatan bangsa Indonesia di Papua yang selalu dikaitkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ryamizard berkomentar : HAM kita adalah HAM Pancasila. HAM yang melindungi 237 juta rakyat Indonesia, bukan melindungi satu, dua atau tiga orang di sana (Papua)."

Memang dibutuhkan ketegasan dari pemerintah pusat di Jakarta untuk meredam konflik di Papua.Jika tidak tegas, maka Papua bisa melepaskan diri dari NKRI dengan bantuan pihak negara asing yang berkepentingan dan sangat membutuhkan SDA di Papua.

Harapan kita, konflik Papua harus diselesaikan secara internal, karena Papua merupakan bagian dari NKRI, tidak boleh ada campur tangan asing dalam menyelesaikan konflik Papua. Selain itu, anggaran otonomi khusus ( otsus) yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah untuk menyejahterakan rakyat Papua, perlu dievaluasi kembali, karena program tersebut hanya menyejahterakan para pejabatnya, bukan rakyat Papua. Lain daripada itu, percepatan pembangunan di semua aspek , perlu ditindaklanjuti dengan target dan limit waktu.[]

Oil: Iran's Hormuz Strait Threats Could Wreak Global Economic Havoc

 http://www.forbes.com/sites/afontevecchia/2011/12/13/oil-irans-hormuz-strait-threats-could-wreak-global-economic-havoc/

Crude oil prices surged on Tuesday on reports that Iran was set to begin war games in the Strait of Hormuz to practice closing down the key chokepoint which concentrates 30% of global seaborne oil shipments.  Prices retracted a little after Iran’s Foreign Ministry confirmed the Strait remained open, and as OPEC cut its 2012 demand forecast by 100,000 barrels per day to 1.1 million daily barrels given a cooling global economy.
There is little doubt that geopolitical concerns will remain a key factor for commodity prices in 2012.  Added to the Eurozone sovereign debt and competitiveness crisis and a surging budget deficit in the U.S. and U.K., conflict risk in the Middle East has escalated.
Exemplified in Tuesday’s price action, Iran’s influence on global crude oil prices is substantial.  West Texas Intermediate crude prices broke the $100 mark after surging 3.5% in New York Tuesday morning to $101.25 per barrel while Brent crude, the international benchmark, jumped 3.6% to $111.10.  Prices retraced part of their gains, with WTI closing the day at $99.64.
The pop in crude oil prices came after Iranian MP Parviz Sorouri of the Majlis National Security and Foreign Policy Committee said:
Currently, the Middle East region supplies 70 percent of the world’s energy needs, (most of) which are transported through the Strait of Hormuz. We will hold an exercise to close the Strait of Hormuz in the near future. If the world wants to make the region insecure, we will make the world insecure.
The comments, picked up by the quasi-official Iranian Student News Agency, and reported by the Tehran Times, were later complemented by a statement by the Iranian Foreign Ministry noting the Strait remains open, according to Bloomberg.
Hormuz is one of the world’s most important waterways, with daily flow of about 15 million barrels of oil.  That’s 90% of Persian Gulf Exports and 40% of global consumption, according to geopolitical analysts at Stratfor.
“The importance of this waterway to both American military and economic interests is difficult to overstate. Considering Washington’s more general — and fundamental — interest in securing freedom of the seas, the U.S. Navy would almost be forced to respond aggressively to any attempt to close the Strait of Hormuz,” explained analysts at Stratfor.  Iran’s intentions, though, are to avoid an attack and therefore would use the threat for deterrence rather than as an offensive or defensive action.
Iran is being pushed by what the analysts call a “covert intelligence war” carried on by the U.S., Israel, and other U.S. allies.  A recent U.S. drone, shot down over Iranian airspace, added to other recent examples of escalation like “the defection to the West of Iranian officials with knowledge of Tehran’s nuclear program; the Iranian seizure of British servicemen in the Shatt al Arab Waterway; the assassination of Iranian nuclear scientists; the use of the Stuxnet worm to cripple Iranian uranium enrichment efforts,” according to Stratfor.
On the markets front, Iran could cause substantial crude oil price movements if it chose to take action.  From Stratfor:
A single ship striking a naval mine (or even a serious Iranian move to sow mines) could quickly and dramatically drive up global oil prices and maritime insurance rates. This combination is bad enough in the best of times. But the Iranian threat to the Strait of Hormuz could not be more effective than at this moment, with the world just starting to show signs of economic recovery. The shock wave of a spike in energy prices — not to mention the wider threat of a conflagration in the Persian Gulf — could leave the global economy in even worse straits than it was a year ago.
Crude oil prices are set to remain high, despite OPEC’s bearish call that demand will be lower than expected.  Citi’s analysts expect global oil demand, and supply, to hit 90.3 million barrels per day, pushing Brent to an average $110 per barrel and WTI to $100 through 2012.  The reversal of the Seaway Pipeline, recently sold by Conoco Phillips to Enbridge, will provide further support for WTI prices, as the bottleneck at Cushing, Oklahoma is eased and crude begins to flow into refineries owned by Exxon Mobil, BP, Marathon Petroleum, Valero Energy, and others.

Iran Ancam akan Tutup Selat Hormuz

Iran ancam akan tutup Selat Hormuz

28 Desember 2011 20:45 WIB

Iran mengatakan mereka mungkin akan menutup salah satu jalur minyak utama jika Barat meningkatkan sanksi terhadap Teheran terkait dengan program nuklir.

Wakil Presiden Mohammad Reza Rahimi memperingatkan tidak setetes pun minyak bisa melewati Selat Hormuz bila sanksi terhadap Iran ditambah.

Kepala Staf Angakatan Laut Iran Laksamana Habibollah Sayari mengatakan menutup selat tersebut adalah hal yang mudah.

"Menutup Selat Hormuz lebih mudah dibandingkan meminum segelas air," kata Laksamana Sayari kepada stasiun televisi Iran Press TV.

"Namun untuk saat ini kami belum merasa perlu menutup selat. Ada Laut Oman yang berada di bawah kendali kami dan kami juga mengontrol transit di perairan ini," jelas Sayari.

Selat Hormuz menghubungkan negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia.

Sekitar 40% kapal tanker minyak dunia melewai selat tersebut. Sehingga Selat Hormuz dikenal sbg chokepoint (titik sedak) jalur perdagangan maritim dunia yg paling rawan dan strategis. Setelah itu juga dikenal Selat Malaka yg menempati posisi kedua.

Komentar:
Pakar geopolitik energi, Dirgo D.Purbo pernah mengatakan gampang saja membuat bangkrut AS dan China, yaitu dgn cara (1) embargo dan (2) blokade. Embargo pasokan minyaknya dan blokade jalur perdagangan maritimnya. Kedua langkah ini hanya bisa dilakukan oleh negeri-negeri muslim karena semua kekayaan minyak bumi dan kekayaan jalur strategis dunia dimiliki oleh Dunia Islam. Subhanallah!

Monday, October 31, 2011

Konflik Libya, Cermin Perubahan Politik Global?

 Konflik Libya, Cermin Perubahan Politik Global?

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6228&type=4

Penulis : M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Catatan ini diilhami asumsi Mahdi Darius Nazemroaya, sosiolog dan peneliti pada Central for Research on Globalization (CRG) di Montreal, bahwa sebuah skenario kekacauan seperti di Afghanistan doeloe, kini tengah berlangsung di Benua Afrika. Ia menyebut sebagai kisah yang berulang.Ya. Manakala Amerika Serikat (AS) dan sekutu “menciptakan” Taliban, akhirnya justru dikobarkan perang global terhadap Taliban itu sendiri.


Itulah yang sering terjadi. AS dan sekutu asyik membuat berbagai skenario “musuh masa depan” --- sedang sebelumnya saling bekerja sama, kemudian “musuh ciptaan”-nya distigma sebagai penabur benih kekacauan di internal negara dan kawasan negeri sekitarnya untuk kemudian dijadikan lawan. Mungkin yang perlu dikaji secara tajam ialah motivasi kenapa ia berbuat demikian?

Sedang asumsi lain yang mendasari coretan ini berasal dari Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times. Ia mengatakan bahwa politik praktis itu bukanlah apa yang tersurat tetapi apa yang tersirat. Kemudian dicontohkan, ketika Bush Jr menyatakan terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), genosida, atau tidak demokratis terhadap suatu pemerintahan negara tertentu, maka sesungguhnya negara dimaksud (mungkin) tengah diincarnya sebab memiliki kandungan emas, minyak dan gas bumi.

Dalam politik praktis, isue-isue seperti HAM, korupsi, demokratisasi dan lain-lain hanyalah dalih. Pada konstelasi kekuasaan sebagaimana kini bergolak di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara), isue yang diusung sesungguhnya cuma kulit luar guna merasuk pada agenda lebih dalam yakni destabilisasi, pergantian rezim, dan berujung kolonialisme gaya baru. Retorikanya, apakah hal ini terjadi juga pada banyak negeri di dunia yang saat ini tengah bergolak akibat terpaan isue di atas?

Geostrategi dan geopolitik di Afrika menarik disimak bersama. Mulanya Prancis dianggap sebagai Polisi Regional di benua tersebut, namun masuknya pengaruh Cina menyebabkan hegemoni Prancis ---master ex penjajah di Afrika--- menurun. Inilah persoalan. Bagi AS dan sekutu, ancaman asimetris Cina yang berupa ekspansi ekonomi, politik, budaya dan lainnya telah mampu mengubah kebijakan serta mapping politiknya. Dan perubahan langkah politis negara-negara Barat terindikasi jelas, antara lain: (1) masuknya kembali Prancis ke struktur NATO tahun 2009 setelah 30-an tahun lebih (sejak 1966) melaksanakan “cuti” panjang; dan (2) methode kolonialisme kini tidak lagi mengkedepankan hard power (invasi militer) tetapi cenderung menggunakan smart power melalui gerakan rakyat via media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di internal negeri yang diincar, walau untuk beberapa target, misalnya di Libya terdapat sinergi (smart and hard power) keduanya.

Tak boleh dipungkiri, meskipun Perang Dingin dianggap usai 1992-an dengan runtuhnya Uni Sovyet selaku “mbah”-nya komunisme, agaknya benturan peradaban antara kapitalis versus komunis belum rampung dan terus berlangsung di beberapa negara dengan ragam kemasan. Akhirnya muncul asumsi bahwa konflik lokal adalah bagian konflik global. Dua pertanyaan timbul, apakah ancaman Cina mengakibatkan militer Prancis rela menjadi subordinasi dari Pentagon, ataukah Afrika cuma lapangan tempur (proxy war) bagi AS dan sekutu melawan hegemoni Cina? Ini memang sebuah premis (minor) prematur. Terlalu terburu-buru. Tetapi setidaknya bisa dijadikan catatan sementara, bahwa ancaman Cina mampu mengintegrasikan kembali kebijakan dan langkah politik AS dengan beberapa negara Uni Eropa yang dulunya saling bersaing.

Adalah National Endowment for Democracy (NED), sebuah LSM-nya Pentagon yang  didanai Kongres AS dengan “1000-an proyek” per tahun. Sebagai LSM negara superpower, sering dijuluki sebagai organ spesial ganti rezim. Dan sudah barang tentu ia “banyak kaki” yang nota bene adalah para LSM juga di  berbagai belahan dunia. Inilah yang akan didiskusikan dalam tulisan sederhana ini, dimana Afrika cq Libya sebagai salah satu contoh aktual.

Terkait menurunnya hegemoni Prancis, terlihat AS hendak mengambil-alih peran tersebut. Entah apa motivasinya. Namun bagi Nicolas Sarkozy, sang presiden pemrakarsa kembalinya Prancis dalam struktur NATO, keinginan AS untuk take over Afrika sepertinya tak menjadi masalah. Artinya kebijakan Sarkozy pun ternyata selaras dengan semangat itu, oleh karena melalui LSM Federasi Internasioal untuk HAM (FIDH) asal Prancis justru bermitra dengan NED, termasuk merangkul LSM internal yakni Liga Libya HAM (LLHR) dan lainnya. Gayung bersambut. Lalu NED pun menghibahkan dana pertama sebesar $ 140.186 US untuk “proyek” di Afrika. Intinya adalah: menuntut adanya intervensi internasional dan menghadirkan pasukan asing di Libya!

Untuk proyek ganti rezim di Libya, sejatinya NED telah melangkah jauh sebelum bermitra dengan FIDH-nya Prancis. Misalnya menjadikan LSM Front Nasional Keselamatan Libya bahkan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai kakinya, termasuk beberapa warga Libya yang menjadi anggota NED seperti Ashur Shamis, tercatat sebagai salah satu direktur di NED pada Forum Pembangunan Manusia dan Politik di Libya bersama-sama Aly Ramadhan Abuzakuk; kemudian Norman Benotman mantan pendiri dan pemimpin Kelompok Pejuang Islam Libya (LIFG) yang terkait dengan jaringan televisi Al Jazeera. Ketiganya merupakan burunon Interpol dalam kasus narkoba, kejahatan pemalsuan bahkan terorisme namun selama ini aman-aman saja tinggal di Inggris. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa agenda NED di Libya juga difasilitasi oleh MI-6 dan CIA, badan Intelijen Inggris dan AS.

Selanjutnya ialah Beta Wozniak, warga Libya yang senantiasa hadir selaku dewan di semua LSM dan organisasi kaki NED, misalnya di webb Akbar bersama Aly dan Ashur, kemudian di Transparacy Libya Limited serta beberapa perusahaan Inggris.

Peristiwa penting yang layak dicermati adalah konferensi tahun 1994 di London yang akhirnya melahirkan Dewan Peralihan di Libya hingga saat ini. Ya. Konferensi London diselenggarakan oleh Pusat Studi Internasional dan Strategis (CSIS) bersama dengan Ashur Shamis dan Aly Abuzakuk dengan judul: “Libya-Pasca Gaddafi: Prospek dan Janji”. Inti pertemuan ialah membangun rencana perubahan rezim di Libya.

Bahwa sepanjang 20 tahun terakhir, setiap pemberontakan yang di dukung CIA guna menggulingkan Gaddafi tidak pernah berhasil. Seperti upaya National Front for the Salvation of Libya (NFSL) dekade 1984-an hendak menggulingkan Gaddafi dalam kudeta bersenjata pun mengalami kegagalan. Tercatat tahun 2005 Ibrahim Sahad mendirikan National Conference of Libyan Opposition (NCLO) di London. Dan awal 2011-an, berdasarkan konferensi tersebut, maka panggilan atau slogan gerakan-gerakan massa di Libya adalah “Hari Kemarahan”. Ya. Konflik Libya menjadi bukti riil bahwa antara smart dan hard power bergerak secara simultan dengan intensitas berbeda tergantung perkembangan situasi di lapangan.

Merujuk judul di atas, bahwa perubahan peta politik global memang ada dan nyata, terutama di Afrika yang tengah mengalami pergeseran, dari sebelumnya di bawah komando Prancis kini berubah dalam kendali AS meski tidak secara langsung; sedang perubahan methode politik cenderung menggunakan smart power via gerakan massa menggunakan LSM setempat (internal) berkolaborasi dengan NED mengusung isue HAM, korupsi, transparansi, demokratisasi dan lainnya. Langkah dan kiat gerakan menggunakan media massa untuk membentuk opini supaya (rakyat) publik tidak percaya kepada pemerintahan syah; lalu diciptakan lambang-lambang tertentu dan sebaris slogan pemersatu serta penyemangat gerakan!

Disadari oleh penulis bahwa sajian ini memang belum komprehensif. Kurangnya referensi, waktu dan keterbatasan kemampuan penulis menjadi kendala utama, sehingga banyak faktor penting lain tidak terbahas. Apaboleh buat, tulisan ini hanya mengupas pada kajian perubahan peta politik global yang kini tengah berlangsung. Dan sebelum mengakhiri catatan ini, retorika menarik yang menyeruak ialah: adakah gelombang NED bersama para kakinya kini juga menerpa banyak negara dan beberapa kawasan di dunia dengan isue sama dan langkah-langkah yang sama pula?

Silahkan saudara-saudara mencermatinya.

Sunday, October 16, 2011

Focal-Points (Titik Distribusi)

Hub Port (Focal-Points)

    Dalam era globalisasi ekonomi, pelabuhan berkembang dari penghubung tradisional antara darat dan laut menjadi penyedia jaringan logistik yang lengkap. Dimana pada studi logistik modern saat ini Hub Port (pelabuhan pengumpul) sering disebut sebagai the new Chokepoint karena merupakan titik terpadat lalu lintas barang dan mempunyai koneksitas yang tinggi baik itu lokal, regional bahkan global. Pelabuhan pengumpul (Hub Ports) yang dibangun sebagai terminal distribusi maritim bertindak sebagai pusat distribusi yang menghubungkan ke transportasi daratan dan udara, dan memainkan peranan sentral dalam sistem dukungan logistik (logistic support systems) yang menyangga ekonomi global. Berikut adalah 4 (empat) hub ports yang dinilai sebagai focal points di Asia Pasifik : [1]
1. Singapura
2. Hong Kong
3. Kaohsing
4. Pusan
Perkembangan globalisasi perdagangan maritim telah melahirkan tuntutan distribusi yang lebih cepat dan volume produksi yang lebih besar, sehingga sistem logistik modern yang kita kenal sebagai “one stop services” atau “total package services” yang mendukung just-in-time production, just-in-time shipping schedules dan just-in-time delivery yang sangat mengandalkan kecepatan, ketepatan dan efisiensi waktu pengapalan akan sangat membutuhkan Hub Port atau pelabuhan raksasa yang bisa memproses puluhan ribu perputaran supply & demand dalam perdagangan ekonomi global. [2]
Selain itu, jaringan layanan feeder yang menghubungkan hub port dengan pelabuhan regional dan sistem transportasi darat dan udara, secara bertahap mengambil bentuk dalam proses hub and spoke network. Sehingga perkapalan harus dilihat tidak hanya sebagai sistem untuk transportasi laut, tetapi sebagai sub sistem-esensial dari Total Logistic Support System yang menjadi penyangga ekonomi global.


[1] Kazumine Akimoto, Structural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes,Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001
[2] R. Tumbelaka, Mengantisipasi kemungkinan Terorisme Maritim sebaga Kuda Troya Intervensi Asing di Selat Malaka, Jurnal Intelijen CSICI no. 36, 2011

Choke-Points (Titik Sumbat)

Choke-Points

Chokepoints adalah konsep umum dalam geografi transportasi, karena merujuk pada lokasi yang membatasi kapasitas sirkulasi dan tidak dapat dengan mudah dilewati, karena sangat mudah untuk diblokir. Ini berarti bahwa setiap alternatif dari chokepoint melibatkan sebuah rute memutar atau penggunaan alternatif yang berimplikasi pada biaya keuangan dan penundaan waktu yang signifikan.[1]
Chokepoint bisa berupa selat atau alur pelayaran yang sempit dan padat sebagai akibat terpusatnya lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari berbagai jalur perdagangan dunia yang biasanya berlokasi dekat dengan Hub-Port atau paling tidak berada di lintasan alur pelayaran kapal-kapal dari dan ke suatu Hub-Port. Terdapat 5 (lima) chokepoints di kawasan Asia Pasifik : [2]
1. Selat Malaka
2. Selat Sunda
3. Selat Lombok dan Makassar
4. Laut Cina Selatan
5. Laut Cina Timur

Chokepoints nomor 2 dan 3 harus disebut sebagai ALKI (alur laut kepulauan Indonesia). Untuk nomor 4, Laut Cina Selatan, mengacu pada area yang dikelilingi oleh pantai timur Vietnam, Kepulauan Spratly, Selat Bashi / Luzon dan pulau Hainan. Sedangkan nomor 5, Laut Cina Timur, adalah wilayah laut berbatasan dengan Taiwan, Diaoyu / Kepulauan Senkaku, Kyushu, Selat Tsushima, Cheju Island, dan pantai Timur Cina selatan Shanghai. Berbagai faktor kepentingan strategis dan ketidakstabilan kelima area ini sebagai titik konvergensi, maka semua diklasifikasikan secara kolektif sebagai "chokepoints."


[1] Jean-Paul Rodrigue, Straits, Passages and Chokepoints A Maritime Geostrategy of Petroleum Distribution, Cahiers de Géographie du Québec,Volume 48, no 135, Desember 2004, Pages 357-374
[2] Kazumine AkimotoStructural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes,Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001

GLOBALIZED MARITIME'S WORLD TRADE

GLOBALISASI PERDAGANGAN MARITIM

Pelayaran dunia secara umum dibagi menjadi dua kategori yaitu Bulk Carrier dan Container Shipping. Bulk carrier adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut minyak mentah, bijih besi dan kargo curah lainnya dalam volume besar. Muatannya secara umum ada dua kategori yaitu "kargo kering" dan "kargo cair." Kargo kering mencakup bijih besi, batubara, biji-bijian dan lainnya, kargo curah kecil seperti baja dan kayu. Kargo cair adalah minyak mentah. Sementara itu yang dimaksud dengan Container Shipping adalah Kapal kontainer yang memuat perangkat industri dan produk jadi.
Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah keseimbangan kekuatan laut dunia sebelumnya, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Selain itu, globalisasi aktivitas ekonomi telah menghilangkan perbatasan antar negara dalam industri perkapalan, dan struktur hukum pada eksploitasi maritim berubah sebagai hasil dari Konvensi PBB tentang Hukum laut. Sehingga terjadilah pergeseran paradigma dalam dunia maritim dan meninggalkan dampak yang kuat pada jalur laut (sea lines).
Seperti laba-laba memintal jaring (web) di udara bebas, Sea Lines of Communication (SLOC) membentuk "web" itu. Ketika terintegrasi dengan berbagai sistem distribusi, beberapa SLOC akan membentuk kompleks organik yang menyangga logistic support system yang sangat penting bagi perekonomian dunia. Sebuah jaring (web) dari banyak sea lane di seluruh lautan dunia akan membentuk jalan-jalan raya maritim di samudera-samudera dunia. Consolidated Ocean Web of Communication (COWOC) mungkin istilah ini lebih tepat untuk menggambarkan dunia baru ini. [1]
Sebagai pusat gravitasi perekonomian global, Kawasan Timur Asia (termasuk Asia Tenggara) memiliki jumlah penduduk sekitar 50 persen dari penduduk dunia. Cina memiliki sekitar 1,3 miliar penduduk, sementara India menyumbang sekitar 1,2 miliar orang, dan ASEAN dihuni oleh sekitar 600 juta jiwa. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik.
Sea Lines of Communication (SLOC) seperti batang dari tanaman teratai: Di lautan terbuka, di luar pelabuhan keberangkatan, jalur ini secara bertahap berpencar menjadi lebih luas, kemudian berkumpul di kemacetan bottleneck ketika melalui chokepoint. Setelah melewati kemacetan, mereka berpencar sekali lagi, sebelum akhirnya fokus dalam pada pelabuhan lain untuk mengumpulkan kargo. Titik-titik konvergensi ini dan hambatan lain digambarkan sebagai "choke-points", sementara hub port, yang digunakan sebagai pusat distribusi, disebut "focal-points." [2]


[1] Kazumine Akimoto, Structural Weaknesses and Threats in the Sea Lanes, Institute for International Policy Studies, Tokyo 2001
[2] Kazumine Akimoto, ibid

KONDISI GEOSTRATEGIK SELAT MALAKA

Fakta pergulatan kekuatan dan situasi keamanan di kawasan Samudera Hindia yang berdinamika tinggi, terus memuntahkan tantangan segar bagi keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka. Selat Malaka secara geopolitik sangat vital sebagai jalur laut terpendek antara Samudera India dan Laut China Selatan atau Samudera Pasifik, yang memiliki nilai strategis tidak hanya bagi negara pantai (littoral states) tetapi juga bagi negara pengguna (user states). Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kepentingan banyak negara di Selat Malaka, yaitu (1) peperangan dan proyeksi kekuatan militer melintasi dunia, (2) kepentingan komersial dan perdagangan maritim, (3) Eksploitasi ekonomi sumber daya laut. Negara-negara besar yang menjadi aktor ekstra-regional dan pengguna selat memiliki kepentingan besar pada dua faktor pertama. Sedangkan negara-negara pantai Selat Malaka lebih punya kepentingan pada faktor yang ketiga. [1]
Relevansi posisi Selat Malaka ini jika dihadapkan dengan perkembangan lingkungan strategis global, regional maupun nasional akan menciptakan korelasi bersifat kausalitas antara situasi yang cenderung saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sangat logis jika eksistensi Selat Malaka turut menjadi faktor pertimbangan geo-strategi, geo-politik maupun geo-ekonomi bagi kepentingan seluruh negara di dunia.
Letak dan posisi Selat Malaka di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya yang membujur dari utara ke selatan hingga Kepulauan Riau dan membelok ke Timur.  Selat Malaka panjangnya kurang lebih dari 900 mil laut, dengan lebar rata-rata 8,3 mil laut dimana tempat tersempit terletak di Pulau Karimun Kecil (Indonesia) dan Pulau Kutub (Malaysia) yang lebarnya hanya 8,4 mil laut. Sedangkan tempat tersempit di Selat Singapura berada antara Pulau Senang (Singapura) dan Pulau Takong Besar (Indonesia) selebar 3,2 mil laut serta antara Pulau St. John dan Pulau Anak Sambo selebar 3,4 mil laut. [2]
Curah hujan yang tinggi, adanya pasang surut dan terdapatnya angin musim (Monsoon) semakin menambah kompleksitas Selat Malaka. Selain kondisinya yang sempit, kedalaman laut dan pasang surutnya juga tidak beraturan, mulai lebih dari 73 meter hingga kurang dari 25 meter. Sehingga kondisi pasang surut berkisar dari 3,7 meter di sekitar perairan One Fathom Bank dan 1,6 meter di perairan sekitar mercusuar Horsburgh. Kondisi demikian diperlukan kehati-hatian ketika melintasi perairan sekitar lokasi tersebut. Selain itu terdapat pula kedalaman laut yang sangat dangkal dengan kedalaman 4,9 meter, yaitu di sekitar perairan Raleigh Shoal yang terletak antara Indonesia dan Malaysia atau di sekitar kepulauan Aruah. Secara garis besar, kondisi perairan Selat Malaka di wilayah perairan Indonesia relatif lebih dangkal daripada di wilayah perairan Malaysia, padahal sebagian besar alur pelayaran internasional berada di wilayah perairan Indonesia. [3]
Gambar 3.8 Peta Detail Selat Malaka [4]

Jika kondisi geografis Selat Malaka dikontekstualisasikan dengan kondisi geostrategik Indonesia, dimana secara geostrategis Indonesia punya posisi yang sangat strategis, antara lain :
1)          Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari Eurasian Blue Belt.
2)         Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global Logistic Support System dan khususnya terkait dengan SLOCS (Sea Lanes Of Communications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web Of Communication).
3)   Wilayah lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu India, Southeast dan South Pacific bertemu didalamnya
4)    Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo. [6]



Maka selanjutnya pembahasan mengenai tantangan Selat Malaka di abad 21 ini akan dibagi menjadi tiga kelompok isu besar, yaitu : (1) Isu Keamanan (Security) di Selat Malaka, (2) Isu Keselamatan Pelayaran dan Lingkungan (Navigational Safety and Environment), (3) Isu Logistik Perdagangan Maritim di Selat Malaka. [7]
1)   Domain pertama yaitu ranah ancaman keamanan (security), untuk menangkal ancaman pembajakan, penegakan hukum dan menjaga kedaulatan Indonesia.
2) Domain kedua adalah ranah keselamatan pelayaran dan lingkungan (Navigational Safety and Environment), untuk meminimalisir bahaya pelayaran akibat kondisi fisik selat yang rawan.
3)     Sedangkan domain terakhir adalah ranah logistik perdagangan maritim  dalam rangka mengembangkan peluang dan potensi Selat Malaka sebagai jalur perdagangan dunia (SLOT) demi ketahanan ekonomi Indonesia.


[1] Joyce Dela Pena, Maritime Crime in the Strait of Malacca: Balancing Regional and Extra-Regional
Concerns, Stanford Journal of International Relations, Spring 2009.
[2] Daniel P. Fin dan Y. Hanayana, Oil Pollution from Tankers in the Strait Malacca, East – West Centre, 1979. Halaman 20
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut , Kumpulan Karangan...
[4] Sumber gambar : file presentasi Dirgo D. Purbo, analis geopolitik energi PASKAL dan dosen tamu PKN UI
[5] Barret Bingley, Security Interest of the Influencing States : The Complexity of Malacca Straits, The Indonesian Quarterly Vol.32 no.4. halaman 354-359
[6] http://indomaritimeinstitute.org, Alur Laut Kepulauan Indonesia: Peluang dan Ancaman bagi NKRI
[7] Analisis ini disarikan dari wawancara narasumber Dirgo D. Purbo dan Djumantoro Purbo

Saturday, October 8, 2011

AROMA KUAT IMPERIALISME DALAM COMPREHENSIVE PARTNERSHIP AS-INDONESIA (TINJAUAN KRITIS BIDANG PENDIDIKAN)

 AROMA KUAT IMPERIALISME 
DALAM COMPREHENSIVE PARTNERSHIP AS-INDONESIA 
(TINJAUAN KRITIS BIDANG PENDIDIKAN) 
Oleh : Zidniy Sa’adah, ST., M.Si

I. MEMBACA KEPENTINGAN AS TERHADAP INDONESIA
   Kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) antara AS dan Indonesia yang digagas sejak 2009 masih terus bergulir sampai sekarang, meski gaungnya di media tidak terlalu nyaring. Bagi kalangan intelektual, hal ini harus dicermati dengan baik karena setiap hubungan antar negara pasti berhubungan dengan politik luar negeri negara tersebut dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara tersebut. Apalagi kita tahu bahwa Amerika Serikat adalah negara adidaya yang berbasis ideologi Kapitalisme.
   Tidak sulit dibantah bahwa sebagian besar materi kerjasama komprehensif kedua negara sesungguhnya mengacu pada kepentingan nasional Amerika Serikat. Kalau kurang yakin, silakan periksa Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 yang resmi diluncurkan oleh pemerintahan Obama pada bulan Mei 2010 lalu. Dokumen itu menyebutkan bahwa beban dunia tidak lagi bisa dipikul oleh Amerika Serikat sendirian, apalagi Amerika Serikat juga sedang mengalami keterpurukan ekonomi, maka sangat diperlukan adanya kerjasama dunia terutama dengan negara-negara kuat dan berpengaruh.

“The starting point for that collective action will be our engagement with other countries. The cornerstone of this engagement is the relationship between the United States and our close friends and allies in Europe, Asia, the Americas, and the Middle East—ties which are rooted in shared interests and shared values, and which serve our mutual security and the broader security and prosperity of the world. We are working to build deeper and more effective partnerships with other key centers of influence—includ¬ing China, India, and Russia, as well as increasingly influential nations such as Brazil, South Africa, and Indonesia—so that we can cooperate on issues of bilateral and global concern, with the recognition that power, in an interconnected world, is no longer a zero sum game.”


   Amerika Serikat dengan jelas menyebutkan bahwa kerjasama antar negara harus berakar pada nilai-nilai yang sama (shared values) dan juga kepentingan yang sama (shared interests). Amerika Serikat jelas punya kepentingan besar untuk menyebarkan nilai-nilai yang mereka yakini ke seluruh dunia yakni Demokrasi dan HAM, yang dinilai sebagai aset terbaik Amerika, karena nilai-nilai itu bukan saja menguatkan negaranya, namun juga membuat Amerika tetap aman.


“We uphold our most cherished values not only because doing so is right, but because it strengthens our country and keeps us safe. Time and again, our values have been our best national security asset—in war and peace, in times of ease, and in eras of upheaval. Fidelity to our values is the reason why the United States of America grew from a small string of colonies under the writ of an empire to the strongest nation in the world.” (President Barack Obama, National Archives, May 21, 2009)


   Karena itulah dalam konteks Indonesia, AS sangat berhasrat menjalin hubungan yang “komprehensif”, hubungan yang satu paket dari tataran nilai hingga tataran praktis. Menurut AS, Indonesia adalah mitra penting di kawasan bagi isu kawasan dan lintas negara, seperti perubahan iklim, counterterrorism, keamanan maritim, pemeliharaan perdamaian dan disaster relief.


“Indonesia—as the world’s fourth most populous country, a member of the G-20, and a democracy—will become an increasingly important partner on regional and transnational issues such as climate change, counterterrorism, maritime security, peacekeeping, and disaster relief. With tolerance, resilience, and multiculturalism as core values, and a flourishing civil society, Indonesia is uniquely positioned to help address challenges facing the developing world”


   Apalagi secara geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka yang merupakan chokepoint (titik sumbat) dunia. Sedangkan secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara-negara imperialis untuk menguasainya, langsung ataupun tidak langsung. Disamping itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 243 juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara-negara industri.
   Perhatian AS di kawasan Asia Tenggara sebenarnya bukan hanya kepada Indonesia, melainkan lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan Cina di berbagai bidang, karena AS memprediksikan Cina dapat menjadi negara yang paling berpengaruh setelah AS dalam 20 tahun kedepan. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia, dan negara-negara di Asia Tenggara, telah melakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China pada 2010.
   AS saat ini tengah kewalahan akibat banjirnya produk China di pasar Asia. Wajar saja karena perdagangan bebas yang dilakukan China dengan ASEAN bisa menggerus keuntungan perdagangan Amerika hingga 25 miliar dolar setiap tahun. Tidak hanya kerugian perdagangan, Amerika pun takut tingkat pengangguran di negaranya meningkat seiring hilangnya pasar produk Amerika di kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, AS berusaha lebih keras untuk menggarap pasar Asia. Pangsa pasar yang sangat besar di kawasan Asia Tenggara (Asia Pasifik) dapat menjadi bumper bagi masalah akut perekonomiannya. Dalam kontes inilah, Indonesia dilihat AS sebagai negara yang memiliki posisi penting bagi kepentingan nasionalnya.
   Jadi sangat jelas bahwa apa yang tercantum dalam dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 sangat mewarnai agenda kemitraan komprehensif Indonesia-Amerika Serikat di semua bidang.


II. PENDIDIKAN TINGGI : FONDASI PENJAJAHAN KOMPREHENSIF
   Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan selain menjadi epistemic community yang menyangga peradaban mereka secara fundamental; pendidikan tinggi juga merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain.
   Lihatlah sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth. Sehingga wajar, lembaga perdagangan dunia yakni WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier .
   Bisa disimpulkan pendidikan tinggi mampu memainkan peranan utama dalam banyak konteks. Mulai dari ekonomi, pembangunan, stabilitas sosial, politik sampai bagaimana mengelola globalisasi. Karena strategisnya peran perguruan tinggi inilah Amerika Serikat melakukan langkah-langkah strategis taktis, dengan melibatkan para pemimpin perguruan tinggi mereka di garis start untuk masuk ke Indonesia. Dengan begitu kerjasama yang akan terjadi diharapkan mampu terbentuk secara “komprehensif”.
   Sebagai langkah awal adalah kunjungan pimpinan beberapa universitas di AS ke Indonesia untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Departemen Pendidikan Nasional, dan melakukan site visit ke beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia yang berpotensi dan memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan universitas-universitas di AS. Kunjungan ini diharapkan dapat mendefinisikan bidang-bidang kerjasama secara lebih spesifik serta mengatur strategi dan langkah-langkah yang diperlukan. Kunjungan berlangsung dari tanggal 26 Juli hingga 1 Agustus 2009, dan delegasi yang melakukan kunjungan ke Indonesia ini berjumlah 31 orang, terdiri dari 26 orang pimpinan dari 25 universitas, Deputy Assistant Secretary of States, DoS, Presiden USINDO, Presiden dan Direktur East West Center. Hasil kunjungan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Presiden Obama tentang kerjasama RI-AS di bidang pendidikan sebelum melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada tahun ini.


III. STRUKTUR IMPERIALISME YANG PARALEL
   Praktek imperialisme merupakan praktek yang sesungguhnya belum hilang dari muka bumi. Masih banyak fakta yang menunjukkan bahwa praktek tersebut masih ada dan cenderung menguat. Hanya saja, praktek imperialisme pada masa kini lebih menyentuh pada sisi “dalam” sebuah negara, kebudayaan, atau peradaban. Salah satu praktek imperialisme yang sangat relevan dengan dunia intelektual disebut sebagai imperialisme akademis (academic imperialism) atau intelektual. Istilah ini dikeluarkan oleh Syed Hussein Alatas. Baginya, struktur imperialisme politik dan ekonomi menyebabkan berdirinya strukur yang parallel dalam cara berpikir golongan yang ditindas. Menurut alatas, terdapat enam ciri imperialisme politik dan ekonomi yang juga dapat digunakan untuk mencirikan imperialisme intelektual.



   Hubungan paralel seperti ini sangat jarang bisa dipahami oleh kalangan intelektual saat ini, karena kebanyakan intelektual atau akademisi di negeri ini hanya menganggap peran mereka sebatas ikatan profesi semata tanpa basis ideologi. Kiprah mereka akhirnya sebatas mengejar target profesionalisme tanpa arah sistem yang jelas. Bahkan kemitraan komprehensif dengan AS ini justru sangat menyilaukan bagi kebanyakan kalangan intelektual di negeri ini.
   Kondisi ini sungguh ironis, karena justru profesionalisme tanpa ideologi inilah yang bisa dengan mudah ditunggangi oleh kepentingan ideologi lain yang merusak. Akhirnya sebagian besar kiprah kaum intelektual muslimah Indonesia terarahkan hanya untuk melaksanakan program dan proyek asing yang notabene kontraproduktif bahkan destruktif bagi bangsanya sendiri.
   Padahal keenam ciri berikut ini demikian logis dan masuk akal, pada prakteknya sudah banyak akademisi-akademisi negeri ini yang menjadi korban.
1. Eksploitasi. Seperti halnya eksploitasi ekonomi, dimana bahan mentah diserap dari daerah jajahan, diproses di Barat dan kemudian dijual kembali sebagai barang siap pakai dengan harga yang sangat tinggi kepada negara jajahan, eksploitasi intelektual juga terjadi. Banyak ilmuwan dari Barat datang ke negara berkembang guna mengumpulkan data. Sekembalnya mereka ke Barat, data ini diproses sehingga menghasilkan pemikiran yang kemudian dijual dan disuguhkan kembali kepada negara-negara berkembang. Terkadang ilmuwan-ilmuwan Barat tidak menuliskan sumber-sumbernya.
2. Pengajaran. Dahulu, pada saat ingin mempekerjakan bangsa yang dijajah, kaum penjajah memberikan mereka pendidikan. Bagitu juga dalam konteks akademis, mentalitas yang mengatakan jka ingin meraih pendidikan bagus, pergilah ke universitas di Amerika, juga masih sangat nyata. Contoh lain adalah dahulu bangsa Eropa beranggapan bahwa jika mereka memberikan kemerdekaan pada bangsa jajahan, maka mereka tidak akan mengerti cara menjalankan negara. Oleh karena itu mereka harus diajarkan caranya oleh bangsa Eropa melalui proses kolonialisasi.
3. Konformitas. Konformitas adalah normalitas atau hal-hal yang sudah semestinya. Dahulu untuk dapat diterima, kaum terjajah harus berpakaian, makan, dan berbicara seperti orang Eropa. Hari ini, dalam bidang teori dan metodologi, para sarjana muslim diminta untuk menggunakan metode analisa yang sesuai dengan keinginan mereka di Barat. Sehingga jika kita menggunakan metode yang berbeda, pemikiran kita akan sulit untuk diterima.
4. Peranan sekunder yang diberikan pada bangsa terjajah. Dahulu bangsa Eropa mendudukui posisi penting , baik dalam pemerintahan, perkebunan, maupun instansi-instansi lain. Golongan pribumi hanya diberikan pekerjaan pembantu, buruh kasar dan petani. Sekarang para ilmuwan muslim dan ilmuwan dari negara berkembang hanya melakukan penelitian yang teraplikasi, bukan pemikiran kreatif. Bagi para ilmuwan di Barat, ilmuwan dari negara berkembang tidak perlu ikut serta dalam pemikiran kreatif karena hal tersebut sangat mahal. Untuk itu, lebih baik mereka memfokuskan diri pada penelitian yang dapat diaplikasikan.
5. Rasionalisasi misi peradaban. Dahulu, kaum kolonial mencoba merasionalisasi penjajahan dengan mengutarakan maksud untuk memajukan dan memperkenallkan peradaban kepada mereka yang tidak beradab. Saat ini, di negara berkembang terdapat perdebatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan yang telah ditentukan. Dari sinilah bangsa eropa memonopoli dan mendominasi ilmu pengetahuan.
6. Kecakapan inferior. Dahulu bangsa Eropa datang ke daerah jajahan adalah mereka yang mempunyai kecapakan inferior dbanding mereka yang tinggal di Eropa. Hanya orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di Eropalah yang datang ke daerah jajahan untuk bekerja. Saat ini, begitu banyak ilmuwan asing yang bekerja di negara berkembang. Namun dapat kita lihat bahwa sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan di negara asal mereka. Namun bagi kita yang tinggal di negara berkembang, keberadaan mereka adalah suatu berkah.

IV. SIKAP INTELEKTUAL MUSLIM
   Intelektual muslim adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Islam meletakkan para intelektual dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi umat. Umat membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan menanamkannya ke tengah-tengah umat. Umat membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Allah menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab.


“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab.” (QS: Al Baqoroh :269)


   Maka tentu terhadap kerjasama kemitraan komprehensif dengan AS ini, intelektual Muslim punya sikap yang jelas dan lugas. Bahwa intelektual Muslim harus menolak segala bentuk penindasan terhadap umat dan setiap kerjasama yang menodai harga diri umat dan negaranya.


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.(QS. Ali Imran [3]: 118)


   Menjalin kemitraan dengan AS tidaklah akan menjadikan umat Islam mulia, maju dan berwibawa. Resep-resep ramuan kapitalisme seperti demokratisasi, HAM, liberalism, dialog peradaban, kerjasama militer dan lain sebagainya yang ditawarkan AS hanya akan menjadikan penyakit yang telah menjangkiti negeri ini yakni berbagai goncangan politik dan ekonomi serta moral semakin parah dan akut sebagaimana negeri Islam lainnya yang berujung keporakporandaan dan kebinasaan.
   AS dan Kapitalisme bukanlah sumber kemuliaan dan kemajuan. Karena kemuliaan hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Siapa saja yang mengharapkan kemuliaan pada AS dan ideologinya, jelas keliru. Allah berfirman:


“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. Fathir[35]:10)


Wallahu A’lam bishshowab

Sumber :
1.Dokumen U.S National Security Strategy, Mei 2010
2.James E. Mauch, The Emerging Market and Higher Education, Routledge Falmer,New York and London, 2000
3. Tabloid Diplomasi, Kunjungan Pimpinan Universitas AS dalam Kerangka Comprehensive Partnership, Edisi Agustus 2009 
4. Syed Hussein Alatas, Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems, Southeast Asian Journal of Social Science, 2000