Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Thursday, May 11, 2017

AKIBAT LANGKANYA NEGARAWAN MUSLIM (Menyoal Pembubaran HTI – Bagian Kedua)

Oleh: Fika Komara *)

Sebulan sebelum pernyataan resmi rezim Jokowi untuk membubarkan HTI, Kwik Kian Gie dalam tulisannya di Kompas 3 April 2017 berjudul Negarawan dan Politikus menguak keprihatinan betapa Indonesia adalah negara yang minus negarawan dan justru dikelilingi para political animal.
Langkanya Negarawan di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari hilangnya identitas politik peradaban umat. Dimana semenjak runtuhnya institusi politik Khilafah Islamiyah negeri-negeri Islam terjerumus pada sistem politik sekuler yang melahirkan hewan-hewan politik komprador yang menjual loyalitasnya kepada penjajah Barat. Tulisan ini mencoba menjelaskan hubungan antara kebijakan kontroversial rezim Jokowi membubarkan HTI dengan diskursus political animal dan negarawan - dalam dua bagian. Bagian pertama telah menganalisis blunder besar rezim Jokowi dalam membubarkan HTI, bagian kedua ini akan membahas penyebab lack of capacity rezim akibat langkanya negarawan di Indonesia dan bagaimana HTI justru menawarkan solusi pada negeri ini.

Lingkungan Politik Pragmatis dan Transaksional
Sejak keruntuhan institusi Khilafah 1924, umat Islam semakin mundur terjerembab dalam penjajahan dan perpecahan. Kurikulum Pendidikan dunia Islam lalu berkiblat ke Barat dan umat meninggalkan warisan peradaban Islam, sehingga umat Islam lebih akrab dengan pengertian politik dalam terminologi Barat sekuler, dimana politik sering didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan secara konstitusional maupun inkonstitusional. Konsep politik sekuler seperti ini meniscayakan munculnya praktik politik transaksional yang melahirkan sosok individu yang pragmatis yang tak lagi punya panggilan luhur untuk melayani negara, tetapi semua dihitung secara kalkulatif. Ibaratnya “Apa yang sudah saya keluarkan dan apa yang bisa dikembalikan oleh negara untuk saya. Dalam alam begini, orang hidup bukan untuk politik, tetapi dari politik”

Praktik politik sekuler ala Machiavelli yang didominasi pengejaran dan perebutan kekuasaan ini akhirnya menjadi landasan lahirnya praktik politik transaksional yang dilakukan oleh para hewan politik di dunia Islam. Wajar saja. secara alami dalam lingkungan politik kotor nan sekuler seperti ini sulit tumbuh sosok negarawan. Mereka lebih memilih mengabdi kepada penjajah dibanding melayani rakyat, membiarkan penjajah merampok dan merampas kekayaan alam negeri ini, tanpa perduli rakyat harus hidup menderita dan dijerat kemiskinan. Mereka adalah dedengkot kesesatan, pengikut hawa nafsu dan syahwat. Mereka didukung orang-orang Munafik, ekstrim, jahil tentang Islam dan lalai. Kadang mereka tampak berilmu dan benar, namun mereka menjual agama mereka untuk secuil dunia. Mereka menggunakan ilmunya untuk menjustifikasi kerusakan, dan sistem Kufur. Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Akibatnya, halal dan haram, makruf dan munkar menjadi kabur di mata umat.
Di sisi lain para political animal ini pun dengan jumawa dan keji mencoba terus membungkam dan mencabut pengaruh Islam Ideologis dari akarnya, karena khawatir kekuasaan mereka terancam dan pundi-pundi harta mereka lenyap. Sehingga keberadaan negarawan Muslim pun semakin sulit dan sedikit kecuali mereka merupakan kelompok yang ikhlas dan kuat pemikirannya. Ini mengingatkan kita pada kutipan perkataan tokoh pejuang Muslim Indonesia:
"Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya" (Muhammad Natsir)

Hizbut Tahrir Mendidik Umat Islam Menjadi Negarawan Muslim
Dihadapkan pada kelindan kerusakan nyata seperti ini alangkah baiknya kita kembali pada Islam. Iqra. Membaca dan mengkaji bagaimana pandangan Islam dengan niat tulus. Sungguh sangat jarang yang mencoba menengok dan menggali bagaimana khazanah pemikiran politik Islam seperti yang selama ini dipegang teguh oleh Hizbut Tahrir. Sesungguhnya Hizbut Tahrir hadir di negeri-negeri Islam menawarkan konsep politik yang berasal dari keluhuran khazanah pemikiran politik Islam. Konsep ini hadir di tengah keruhnya percaturan politik negeri-negeri Muslim yang kosong dari sosok negarawan sejati namun disesaki sosok hewan-hewan politik seperti yang dikhawatirkan Kwik Kian Gie (Kompas, 3 April) dan telah diulas pada bagian pertama tulisan ini.
Pemikiran politik Islam tercermin dalam ungkapan Ibn Taimiyyah bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama), maka makna politik (siyâsah) dalam Islam adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut. Definisi ini diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda “Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra).  “Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum Muslimin, Maka Dia bukan golonganku.” [al-Hadits].
Definisi di atas meniscayakan sosok politisi di dalam Islam akan fokus pada umat bukan mengejar rating kekuasaan. Pada titik ini saja konsep politik Islam telah mencegah profil politisi Muslim menjadi hewan politik. Sehingga di dalam Islam menjadi Negarawan adalah bagian dari cita-cita besar yang berakar pada tanggung jawab terhadap al Khaliq dan umat Islam. Negarawan adalah kualifikasi penting agar mampu mengemban peran besar dan cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad saw. Sosok ini hanya lahir dari lingkungan politik Islam yang sangat dipengaruhi oleh suasana keimanan (jawwul iman). Dimana politik dipahami sebagai bagian dari aktivitas ibadah. Setiap orang dapat bahkan wajib untuk hidup dilingkungan politik ini baik peran dia sebagai penguasa ataupun rakyat biasa.
Dalam buku Pemikiran Politik Islam karya Abdul Qadim Zallum (amir kedua Hizbut Tahrir) digambarkan dengan jelas bagaimana sosok negarawan itu adalah pemimpin politik tertinggi, namun Negarawan tidak selalu menjadi pejabat dan tidak semua pejabat adalah negarawan. Negarawan adalah pemimpin kultural yang siap untuk menjabat, meskipun tidak harus menjabat. Negarawan adalah pemimpin yang kreatif dan inovatif. Berani bertindak solutif saat yang lain tidak berani yang memiliki ciri: (1) Memiliki mentalitas pemimpin (leadership), (2) Mampu mengatur urusan kenegaraan, (3) Mampu menyelesaikan permasalahan, (4) Mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum
Negarawan Muslim akan lahir apabila ditanamkan tiga bekal yang hanya berasal dari Aqidah Islam, yaitu: (1) sudut pandang menyeluruh dan khas tentang kehidupan, (2) sudut pandang tertentu tentang kebahagiaan hakiki bagi masyarakat, (3) keyakinan akan sebuah peradaban (hadlarah) yang akan diwujudkan. Konsekuensi dari tiga bekal ini adalah kepekaan dan ketajaman ihsas (penginderaan) yang terbentuk pada sosok negarawan, karena ia memiliki sudut pandang yang tajam dan perspektif Islam yang khas yang membuatnya mampu menyadari kerusakan di sekelilingnya dan mampu memimpin perubahan besar pada zamannya.
Hizbut Tahrir bekerja melakukan edukasi epistemik di masyarakat, mendidik mereka dengan pemikiran politik Islam dan bagaimana urusan mereka diurusi oleh aturan-aturan Islam. Ini sangat terlihat dari konsep pemikirannya yang terkerangka dalam sekup kenegaraan dan kemasyarakatan. Ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah dihimpun dalam berbagai buku, booklet maupun selebaran., yang diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Bahkan Hizbut Tahrir telah menyiapkan sekumpulan tsaqafah yang sangat berharga, di antaranya menggambarkan struktur Daulah Khilafah. Di antara buku-buku yang memuat tsaqafah Hizb antara lain:
-    Struktur Daulah Khilafah
-    Sistem Pemerintahan Islam
-    Sistem Pergaulan Islam
-    Sistem Ekonomi Islam
-    Sistem Keuangan Daulah Khilafah
-    Politik Ekonomi Islam
-    Sistem Sanksi
-    Hukum Pembuktian
-    Pengantar Undang-undang Dasar
Semua buku di atas dapat diakses secara terbuka untuk dikaji dan didiskusikan oleh umat Islam dan semua pihak. Karena itu mari berdialog dengan Hizbut Tahrir dengan jernih. Hizbut Tahrir tidak sedang berkhayal tapi sedang memperjuangkan perubahan dan perbaikan melalui gagasan secara fikriyah dan tanpa kekerasan, persis seperti metode Rasul dalam berdakwah melakukan perubahan. Gagasan dihadapi dengan gagasan, bukan dengan pembungkaman. Anda Setuju?



Wednesday, May 10, 2017

BLUNDER REZIM “POLITICAL ANIMAL” (Menyoal Pembubaran HTI – Bagian Pertama)

Oleh: Fika Komara *)


Sebulan sebelum pernyataan resmi rezim Jokowi untuk membubarkan HTI, Kwik Kian Gie dalam tulisannya di Kompas 3 April 2017 berjudul Negarawan dan Politikus menguak keprihatinan betapa Indonesia adalah negara yang minus negarawan, yang justru dikelilingi para political animal. Apa bedanya negarawan dan political animal? Kwik Kian Gie menjelaskan bahwa Negarawan adalah orang yang tujuannya murni ingin menyejahterakan rakyatnya secara berkeadilan. Sementara political animal menggunakan arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Hidayat Banjar dalam Harian Analisa (11/04) juga memperdalam diskursus ini. Bagi hewan politik, tak ada yang lebih penting selain kepentingan. Juga tidak ada yang namanya ideologi, visi, misi dan nilai-nilai (vision, mission, value: atau vmv).

Tulisan ini mencoba menjelaskan hubungan antara kebijakan kontroversial rezim Jokowi membubarkan HTI dengan diskursus political animal dan negarawan - dalam dua bagian. Bagian pertama menganalisis blunder besar rezim Jokowi dalam membubarkan HTI, bagian kedua kemudian membahas penyebab lack of capacity rezim akibat langkanya negarawan di Indonesia.


Blunder Rezim Political Animal
Istilah hewan politik dalam terminologi Islam dikenal dengan sebutan Ruwaibidloh (penguasa bodoh), penguasa seperti inilah yang diingatkan Rasulullah SAW kepada kita sejak 14 abad lampau,
» سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ» [رواه الحاكم في المستدرك، ج 5/465]
Akan datang kepada kalian masa yang penuh dengan tipudaya; ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, Rruwaibidhah akan berbicara.” Mereka bertanya, “Apakah itu ruwaibidhah?” Rasulullah berkata, “Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.” (HR Ibnu Hakim dalam Mustadrak).

Hadits ini menjelaskan tentang kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera Jahiliyyah. Menyeru kepada ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti Kapitalisme, Sosialisme, Sekularisme, Liberalisme, Demokrasi. Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik dan hina. Mereka bukanlah orang yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur, tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai mengklaim.

Dalam konteks pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, maka terlihat jelas karakter rezim ruwaibidloh di Indonesia yang anti-Islam, kalah secara intelektual, dan gegabah dalam langkah. Narasi yang mereka ajukan untuk membubarkan HTI adalah demi mencegah berkembangnya ancaman terhadap keutuhan bangsa, perpecahan dan bertentangan dengan konstitusi negara dimana komitmen kebangsaan HTI dipertanyakan karena mengusung isu tentang negara Khilafah. Namun setidaknya akan kita jumpai 4 (empat) blunder besar dari narasi kebijakan pembubaran HTI ini :

1.       Gegabah menyalahi prosedur Undang-undang
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah tidak begitu saja dapat membubarkan ormas berbadan hukum dan berlingkup nasional, kecuali lebih dahulu secara persuasif memberikan surat peringatan selama tiga kali, ini berdasarkan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jika langkah persuasif tidak diindahkan, barulah Pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk membubarkan ormas tersebut ke pengadilan. Dalam sidang pengadilan, ormas yang ingin dibubarkan oleh Pemerintah tersebut, diberikan kesempatan untuk membela diri dengan mengajukan alat bukti, saksi dan ahli untuk didengar di depan persidangan. Keputusan pengadilan negeri dapat dilakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Sementara Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menegaskan dalam keterangan persnya tidak pernah sekalipun ada surat peringatan resmi kepada HTI selama ini. Pemerintah langsung melakukan jumpa pers sepihak di media bak ingin menggiring opini umum bahwa HTI adalah gerakan subversif.

2.       Mengaku Demokratis, namun bergaya Tiran Despotis
Noorhaidi Hasan, guru besar politik Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, menilai rencana pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sebuah blunder besar. "Pemerintah tampaknya bikin blunder besar dengan membubarkan HTI," katanya melalui pesan singkat kepada Tempo, Senin, 8 mei 2017. HTI, kata penulis buku Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (2006), tidak melakukan langkah-langkah sistematik untuk meruntuhkan kekuasaan. "Menurut Noorhaidi, HTI tak perlu dibubarkan. "Di Belanda saja HTI boleh. Kita malah ikut-ikutan negara otoritarian seperti Yordania dengan membubarkannya," kata dia. Noorhaidi menilai, jalan demokrasi yang dirintis dan dipertahankan sejak reformasi, termasuk ketika menghadapi kelompok radikal, rupanya sudah perlahan-lahan ditinggalkan. "Saya khawatir otoritarianisme kini sedang mengintai kita kembali. Kalau main membubarkan tanpa proses hukum, itu jelas namanya otoritarianisme."
Hizbut Tahrir sungguh secara konsisten menolak konsep dan falsafah demokrasi, tapi juga bukan berarti menyetujui otorianisme justru lantang menolak dan menelanjangi keburukan semua sistem non Islam. Hizbut Tahrir selalu konsisten dengan pandangannya, tidak seperti rezim Jokowi yang mengaku demokratis tapi berlagak despotis.

3.       Lempar Batu Sembunyi Tangan
Narasi bahwa HTI tidak punya komitmen kebangsaan perlu kita kuliti. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan : “Sekarang ada ormas dan aparat negara mengklaim Pancasila tapi korupsi luar biasa. Menjual belikan tata ruang tambang bisnis yang lain dan itu menimbulkan kemiskinan dan memperkuat budaya suap dan merusak Pancasila. Itu merusak NKRI itu harus ditindak tegas,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas seperti diberitakan merdeka.com, Senin (8/5). Busyro beranggapan, isu dan langkah pembubaran ormas yang akan dilakukan pemerintah merupakan bagian dari kepentingan politik. Isu pembubaran, kata Busyro, jangan sampai hanya untuk pengalihan konsentrasi masyarakat untuk mendapatkan edukasi politik jelang Pemilu 2019.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menyoroti praktik politik transaksional yang mendasari perekrutan dan seleksi pemimpin lembaga negara. Praktik politik yang berbiaya tinggi, bahkan sejak pemilu, membuat DPR yang bertugas menyeleksi para pemimpin lembaga negara sering kali tidak lepas dari cara-cara transaksional. Pada akhirnya, praktik transaksional itu melahirkan sosok individu yang pragmatis yang tak lagi punya panggilan luhur untuk melayani negara, tetapi semua dihitung secara kalkulatif untung rugi perut sendiri.
Sungguh mengherankan HTI yang tanpa lelah belasan tahun memperjuangkan hak rakyat, menolak liberalisasi migas, lantang menolak Papua lepas dari Indonesia, menolak kenaikan BBM dan TDL, menolak Freeport, LGBT, dan perdagangan bebas yang mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan kesejahteraan rakyat justru dituding sebagai ormas anti-Pancasila yang tidak punya komitmen kebangsaaan. Apalagi HTI tidak pernah terlibat kasus korupsi, makan uang negara ataupun berebut proyek negara. Siapa sebenarnya yang anti-Pancasila?

4.       Bias dan Islamophobia
Narasi bahwa ide Khilafah yang diusung HTI dianggap bertentangan dengan dasar negara telah merebak ke sejumlah komunitas, termasuk perguruan tinggi direspon oleh Menristekdikti dengan meminta para rektor untuk mencegah radikalisme di kampus. Permintaan itu berlangsung dalam acara Deklarasi Semangat Bela Negara di UNNES Sabtu 6 Mei, dua hari sebelum pernyataan resmi pemerintah akan membubarkan HTI.

Merespon seruan ini Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, dengan tajam mengemukakan pandangannya bahwa seruan ini tidak berpijak pada analisis sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme.
Pertama radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia radikalisme hampir selalu dikaitkan langsung dengan Islam walau ini tidak dinyatakan secara terus terang. Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian kebenaran. Radikalisme terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara mayoritas Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu. Kedua, penyebab kemunculan paham radikal itu hanya satu yaitu ketidakadilan dan ketimpangan. Jadi sikap radikal itu bukan sebab, tapi akibat dari ketidakadilan dan ketimpangan yang dibiarkan terus terjadi oleh para penguasa yang seharusnya justru menegakkan keadilan. Ketiga, sekulerisme -sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik- yang dianut banyak negara-bangsa adalah paham radikal. Setiap isme yang bergelora dan inspiratif selalu bersifat radikal. Biasnya definisi radikalisme dalam seruan pemerintah, dan kentalnya aroma Islamophobia pada kebijakan deradikalisasi serta kontroversi pembubaran HTI jelas terbaca.


Demikianlah blunder rezim political animal yang nampak jelas putus asa membungkam gelombang dukungan masyarakat Indonesia terhadap Syariah dan Khilafah yang menggema di seluruh nusantara. Dari tahun ke tahun suara yang merindukan Syariah Islam kian nyaring terdengar. Meski media-media sekuler sangat minim meliputnya. Hipokrasi terang-terangan yang ditunjukkan oleh rezim political animal di Indonesia untuk membungkam HTI ini hanyalah bukti lain dari kegagalan sistem sekuler Barat dan penjelasan mengapa semakin banyak umat Islam menolak demokrasi sekuler dan memeluk Islam sebagai sistem yang mampu menentukan masa depan politik, ekonomi, dan sosial mereka.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaf 61:8)


*) Penulis adalah Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir untuk Asia Tenggara dan penulis Buku “Menjadi Muslimah Negarawan”