Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Wednesday, May 16, 2012

TAMPILNYA CHINA SEBAGAI SEBUAH KEKUATAN

INFORMASI UNTUK SYABAB
TAMPILNYA CHINA SEBAGAI SEBUAH KEKUATAN


  1. Lonjakan ekonomi China tidak terjadi secara tiba-tiba.  Akan tetapi itu adalah hasil dari strategi yang direncanakan dan diatur dengan baik.  Dimulai pada masa Deng Xiaoping yang pada waktu itu dikenal oleh sebagian orang dengan istilah “Politik Pintu Terbuka”.  Setelah Xiaoping, penggantinya menggunakan istilah “Kebangkitan Damai China”.  Kedua strategi tersebut -Politik Pintu Terbuka dan Kebangkinan Damai China- pada substansinya berbicara tentang tranformasi China menjadi kekuatan ekonomi dan menerjemahkan kekuatan ekonomi itu menjadi kekuatan militer yang bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan perdagangan China.  Begitu juga, kedua strategi itu ditujukan untuk menghadapi setiap pihak yang akan meminimalkan misi China dalam mempromosikan ideologinya secara kuat di luar negeri dan menghadapi siapa saja dari kekuatan besar yang berusaha menghadang China, utamanya Amerika Serikat.  Disamping itu, kedua strategi itu juga dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran tetangga China dan meyakinkan mereka akan tidak adanya niyat China dalam memperluas hegemoninya di kawasan Asia Pasifik.
  2. Untuk merealisasi hal itu, China mengembangkan perekonomiannya melalui dua tahap: pertama, reformasi pedesaan. Kedua, industrialisasi pedesaan dan reformasi perusahaan.  Hal itu didukung oleh beberapa faktor diantaranya upah buruh lokal yang murah, penguasaan teknologi maju dari barat - teknologi maju dirahasiakan- dan Rusia, urbanisasi yang cepat, eksport yang digerakkan oleh industri dan penjualan barang-barang murah ke seluruh dunia.  Sebagian besar ekspor industri China adalah ke Jepang dan Jerman. Oleh karena itu China pada era 80-an dan 90-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar.  Sejak tahun 1979 sampai tahun 2010 rata-rata angka pertumbuhan PDB China mencapai 9,91 %, dan tertinggi pernah mencapai 15,2 % pada tahun 1984.  Pada dekade pertama abad ini, China mencatatkan angka pertumbuhan PDB 13 % pada tahun 2007 sebelum akhirnya mengalami penurunan.  Perekonomian China belum benar-benar muncul kecuali pada dekade lalu.  PDB China melampaui PDB Italia pada tahun 2000, Prancis tahun 2005, Inggris tahun 2006, Jerman tahun 2007 dan akhirnya mengalahkan PDB Jepang pada tahun 2010 (Nin-Hai Tseng, ““China is richer, but most Chinese are still poor”, CNN online, 17 Feb, 2011).  Hal itu menjadikan China sebagai perekonomian kedua terbesar setelah Amerika Serikat.  Sebagian pihak memprediksi, China akan menjadi kekuatan perekonomian terbesar di dunia pada akhir tahun 2019 (“How to gracefully step aside”, The Economist online, 11 Januari 2011).  Periode itu mendorong sebagian orang China menganggap bahwa masa keemasan (Shengshi) China telah datang.
  3. Masalah utama kedaulatan perekonomian China adalah bagaimana menjaga kurs mata uang China Renminbi (juga dikenal dengan Yuan) pada tingkat tertentu terhadap Dolar Amerika sehingga bisa menjamin ekspornya akan tetap (harganya) murah dan atraktif mendorong negara-negara di seluruh dunia mengimpor dari China.  China merealisasi hal itu melalui sejumlah sarana:  Diantaranya sebagai contoh, ketika para pemilik pabrik di China memperoleh pembayaran untuk barang ekspor mereka dalam bentuk Dolar AS, dolar itu segera dirubah ke Yuan.  Hal itu karena tender/transaksi legal di pasar dalam negeri China adalah menggunakan Yuan.  Para pemilik pabrik harus membayar kepada para suplier, pekerja dan transaksi dalam negeri (faktur, tagihan, biaya, dll) dalam mata uang Renminbi (Yuan).  Ini menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap Yuan.  Sebab permintaan Yuan meningkat dan mengakibatkan naiknya nilai Yuan terhadap Dolar.  Oleh karena itu Bank Sentral China menggunakan sejumlah teknik untuk keluar dari masalah ekses Renminbi dari pasar dalam negeri.  Diantaranya adalah obligasi dalam negeri dan alat-alat finansial lainnya.  Bank Sentral China juga mengembalikan dolar yang diperolehnya ke perekonomian Amerika Serikat melalui pembelian surat utang Amerika Serikat.  Dengan jalan ini pemerintah China mampu menghalangi naiknya nilai (kurs) mata uangnya terhadap dolar.  Dengan jalan ini China menjadi negara utama pemberi utang kepada Amerika Serikat.  Pada bulan Mei 2011 China menguasai 26% dari surat berharga untuk pasar asing yang dikelola oleh departemen keuangan Amerika Serikat (setara dengan 8% dari total utang publik AS). China sangat keras membela kebijakan Yuan.  Beijing berargumentasi jika nilai Yuan naik dengan cepat hal itu akan berpengaruh negatif terhadap ekspornya (sehingga komoditi China biayanya akan lebih banyak dan kurang mampu bersaing di luar negeri).  Jika itu terjadi maka pabrik-pabrik akan terpaksa tutup dan akibatnya jutaan warga China akan menganggur.  Hal itu akan menjadi ancaman berbahaya terhadap kestabilan China.
  4. Ironisnya, Amerika -partner perdagangan terbesar China- sudah dan terus memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi China.  Hal itu dengan jalan Amerika memberi Beijing status Most Favoured Nation (MFN).  Amerika Serikat terus memperbarui status Most Favoured Nation (MFN) itu setiap tahun.  Padahal ada ketidakseimbangan neraca perdagangan antara AS dan China.  Sampai status itu dibakukan pada tahun 2000.  Dan Amerika mentolerir ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan itu karena menguntungkan bagi dua tujuan penting: Pertama, supaya China terus menerus disibukkan mengatur dan menjamin sumber-sumber di seluruh dunia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hal itu memaksa China untuk mendapatkan resources lebih banyak dan lebih banyak lagi.  Sehingga China kurang memperhatikan pengembangan kemampuan militernya.  Penting diisyaratkan bahwa Amrika mengalahkan Uni Soviet melalui politik perlombaan senjata seentara para pembuat kebijakan di Washington meyakini bisa mengalahkan China melalui perlombaan dalam aspek ekonomi. Kedua, untuk menciptakan kelas orang-orang China yang mencintai kapitalisme dan nilai-nilai Amerika.  Dengan begitu, China akan terancam untuk memberikan perubahan demokratis.  Dengan ungkapan lain, Amerika sudah dan terus mengintai untuk memicu revolusi di China menentang Partai Komunis melalui kelas menengah yang terpesona dengan kapitalisme. Disamping itu, Amerika Serikat menurunkan kemampuan China dalam memainkan peran lebih besar di dalam urusan-urusan kawasan dan global.  Amerika bekerja agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China.  Dan berikutnya bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China terhadap Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing.  Amerika juga memanfaatkan masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.
  5. Amerika mengalami bencana yang dalam di Irak dan Afganistan disamping sedang dilanda krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang memperuncing hubungan Amerika-China.  Amerika tidak lagi dinilai sebagai kekuatan besar seperti dahulu.  Dunia berubah dari satu kutub (uni polar) pada tahun 1991 menjadi multi kutub (multi polar) setelah invasi Irak pada tahun 2003.  Ketika itu, kekuatan-kekuatan besar bersaing dengan Amerika untuk mengontrol kawasan.  China adalah salah satu diantara negara-negara yang muncul ke permukaan.  Ada sebagian intelektual di Barat yang meyakini bahwa neraca kekuatan global sedang mengalami perubahan pasti untuk kepentingan China.  Beberapa buku yang menarik perhatian telah diterbitkan diantaranya berjudul: In the Jaws of the Dragon: America’s Fate in the Coming Era of Chinese Hegemony -Dalam Cengkeraman Naga: Masa Depan Amerika Di Tengah Era Hegemoni China- (oleh Eamonn Fingleton, 2008); Juga buku berjudul: When China Rules the World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order -Kapan China Memimpin Dunia: Akhir Dunia Barat Dan Lahirnya Tatanan Dunia Baru- (oleh Martin Jacques, 2009); dan buku berjudul: The Beijing Consensus: How China’s Authoritarian Model Will Dominate the Twenty-First Century -Konsensus Bejing : Bagaimana Model Otoritarianisme China Akan Mendominasi Abad Ke-21- (oleh Stefan Halper, 2010). Pada konteks ekonomi tampak bagi seluruh dunia bahwa perekonomian China telah melewati badai finansial dengan lebih baik dari Amerika dan Eropa.  Oleh karena itu, para pemimpin politik dan ekonomi Amerika menyerang kebijakan Beijing secara agresiv terkait masalah penjagaan nilai kurs Renminbi (Yuan) yang rendah.  Mereka percaya hal itu akan menyakiti prospek ekonomi Amerika untuk bangkit dari sakit dan membahayakan kemampuan Amerika untuk bersaing di pasar global.  Pada Januari 2009, Mr. Geithner sebelum ia menjadi menteri keuangan AS menyatakan: “presiden Obama meyakini -didukung dengan sejumlah kesimpulan dari para ekonom secara luas- bahwa China bemain-main dengan mata uangnya” (Jackies Calmes,”Geithner Hints at Harder Line on China Trade“, New York Times Online, 22 Januari, 2009 ).  Kritik-kritik ini tidak pada tempatnya.  Sebab penurunan nilai dolar itu berkaitan dengan menurunnya cadangan federal untuk nilai dolar melalui pencetakan uang dolar baru.  Hal itu lebih kuat hubungannya (dengan penurunan nilai dolar) dari pada kaitannya dengan bank sentral China yang mendukung penurunan nilai Yuan.  Disamping bahwa China belakangan mengijinkan kenaikan nilai mata uangnya (Yuan), bukan karena tekanan Amerika, akan tetapi karena memperhatikan fakta bahwa sebagian dari perekonomiannya yaitu pasar property mengalami overheating.  Hal itu menyebabkan penurunan PDB China yang sekarang mencapai sekitar 8%. Sedangkan pada konteks militer, krisis finansial telah membuat Amerika Serikat mengurangi daerah operasi militernya.  Kementerian pertahanan AS “Pentagon” mengumumkan penurunan besar dalam anggaran pertahanan.  Beberapa program persenjataan telah didrop.  Amerika Serikat secara resmi telah meninggalkan kebijakan terjun ke dua medan perang pada saat yang bersamaan.  Dalam alur ini, Amerika dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik menjadi jauh lebih perhatian dengan kemampuan militer China dibanding sebelumnya, khususnya terhadap angkatan laut China.  Melemahnya hegemoni militer Amerika di dunia memberikan dorongan kepada China untuk membesarkan otot militernya.  Sebagai contoh, pada November 2007 China melarang kapal induk USS Kitty Hawk untuk sampai ke selat Victoria di Hongkong.  Pada bulan Maret 2009 sejumlah kapal laut China mengancam kapal survei Amerika Serikat USNS Impeccable di laut China selatan.  Disamping China juga memodernisasi armada kapal perusaknya, China juga berencana untuk mendapatkan dua kapal pengangkut pesawat dan telah berinvestasi banyak dalam membangun kelas baru konvensional, penyerang nuklir dan kapal selam balistik.  Menurut Seth Cropsey, mantan wakil sekretaris angkatan laut AS, China dapat memiliki kekuatan kapal selam lebih besar dari yang dimiliki oleh angkatan laut AS yang terdiri dari 75 kapal selam dalam jangka waktu 15 tahun ke depan. Pada waktu China memodernisasi kekuatan militernya, maka menjadi sulit bagi Amerika untuk melindungi Taiwan.  Menurut kajian RAND tahun 2009, pada akhir tahun 2020, Amerika Serikat tidak akan bisa lagi melindungi Taiwan dari serangan China.  Disamping China mengkonsentrasikan kekuatannya pada Taiwan, angkatan laut China juga diproyeksikan menambah kekuatannya di laut China Selatan yang dianggap sebagai pintu gerbang China ke Asia Pasifik dan jalur transportasi hidrokarbon dunia. (Robert Kaplan, “The Geography of Chinese Power“, Foreign Affairs May/June 2010). Sesuatu yang memicu alarm Amerika adalah perkembangan cepat kekuatan militer China dan ambisi Beijing dalam memanfaatkan kekuatan angkatan lautnya untuk menghalangi sampainya kapal Amerika ke beberapa wilayah perairan dan pelabuhan.  Karenanya Amerika belakangan diminta untuk memperbarui komitmen keamanannya dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang meliputi Jepang, Australia, Indonesia dan Korea Selatan.  Sebagaimana, Amerika Serikat juga berjanji memberikan USD 6,4 miliar sebagai senjata kepada Taiwan.  Dalam kunjungan Obama ke negara-negara Asia Pasifik tahun lalu, Obama setuju penempatan 2.500 pasukan angkatan laut secara tetap di Australia dan menambah pesawat tempur seperti pembom B-52.  Obama juga mengumumkan untuk mensuplay 24 pesawat tempur F-16 C/D bekas yang diperbarui kepada Indonesia.  Obama juga memperingatkan China akan perselisihan di laut China Selatan.  Obama mengatakan: “saya sudah mengarahkan team keamanan nasional saya untuk menjadikan eksistensi dan misi kita di kawasan Asia Pasifik sebagai prioritas … termasuk perkara yang vital, bukan hanya berkaitan dengan perekonomian kami akan tetapi juga berkaitan dengan keamanan nasional kami”.  Beberapa estimasi memperkirakan bahwa nilai perdagangan yang melalui laut China Selatan mencapai lima triliun dolar dimana bagian Amerika mencapai 1,2 triliun dolar. (Robert Maginnis, “U.S. Declares Cold War With China“, Human Events online, 25 November 2011). Sebagaimana Amerika juga berupaya meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui Perjanjian Kerjasama Strategis Ekonomis Trans-Pasifik  (the Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement -TTP) untuk mengikat negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Australia, Selandia Baru dan Singapura dengan ikatan ekonomi yang kuat dan membatasi adanya komoditi China di negara-negara tersebut.

Ringkasnya
  • Tampak bahwa China memanfaatkan kemunduran Amerika.  China sekarang jauh lebih tegas dalam masalah laut China Selatan dan masalah perbatasan yang diperselisihkan dengan Jepang dan Vietnam.  China jauh lebih berani dan konfrontatif seputar permasalahan internasional.  Dimana Beijing belakangan bersikap melawan Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto resolusi Dewan Keamanan terkait Suria.  Pada saat yang sama, kekuatan militer China belum sanggup menghadapi Amerika Serikat.  Namun kekuatan militer China tetap siap untuk menghalangi sampainya kapal perang Amerika ke sebagian jalur perairan dan pelabuhan -awal dari semacam doktrin Monroe untuk China-.  Pada saat yang sama, Amerika Serikat bekerja menilai permusuhan China yang belakangan terbongkar.  Amerika Serikat siap menggunakan semua resourcesnya untuk menghalangi China menggantikan posisinya pada dekade mendatang.  Seorang ilmuwan politik AS John Mearsheimer meredaksikan hal itu dengan jalan yang berbeda.  Ia mengatakan bahwa kekuatan hegemoni di belahan bumi barat akan berusaha menghalangi China menjadi kekuatan yang mengontrol belahan timur.  Isyarat ini menjadi drama abad ini.
  • Akan tetapi sebelum China bisa menjadi ancaman bagi Amerika Serikat, China harus mengatasi sejumlah tantangan dalam negeri, yaitu: fokus berlebihan terhadap ekspor, dan ancaman perekonomiannya mengalami pelambatan.  Pada tahun 2007 presiden Wen Jiabao mensifati perekonomian China sebagai “tidak stabil, tidak seimbang, tak terkoordinasi dan tidak berkelanjutan”.  Masalah kependudukannya adalah aging populatin (populasi yang menua yaitu persentase jumlah penduduk usia tua makin membesar dibanding penduduk usia muda) -ini adalah akibat dari upaya Mao untuk membatasi jumlah penduduk China- dimana jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun mencapai 178 juta jiwa.  Jumlah ini akan menjadi dua kalinya pada akhir tahun 2030.  Masalah ini bukan hanya berarti makin kecilnya angkatan kerja, akan tetapi masalah pemeliharaan orang-orang yang sudah pensiun juga akan menjadi permasalahan sosial yang besar.  China juga menghadapi masalah pemilihan presiden baru oleh para elit pada tahun ini.  Skandal Bo Xilai telah menyingkap adanya kecemasan di kalangan elit.  Semua ini banyak bergantung pada bagaimana China menangani permasalahan-permasalahan itu.  Jika China menangani masalah-masalah itu dengan buruk, maka dunia akan menyaksikan kehancuran China dan bukan kemunculan China.
  • Hubungan-hubungan China-Amerika menciptakan kesempatan besar kepada daulah al-Khilafah di masa depan untuk mewujudkan perubahan di sejumlah medan.   Ini akan banyak bergantung pada titik sentral daulah al-Khilafah.
Sumber utama energi China datang dari Timur Tengah dan negara-negara Asia Tengah.  Ini bisa memberikan pengaruh sangat besar untuk daulah al-Khilafah dengan jalan sebagai berikut:
  1. Memaksa China untuk membuka front kedua dengan Amerika di kawasan Pasifik.  Hal itu bisa terealisasi dengan jalan mendorong China untuk mengambil kembali Taiwan, dan penyatuan semananjung Korea melalui Korea Utara.  Ini secara otomatis akan mengantarkan pada peperangan dengan Amerika.  Dengan begitu akan memberikan kesempatan kepada daulah al-Khilafah untuk membebaskan bumi-bumi kaum muslimin.
  2. Mendorong Cina untuk mengerahkan pasukan tambahan di perbatasannya dengan India, dan mengancam untuk menyerang Arunachal Pradesh dan Aksai Chin. Tujuan dari hal ini adalah agar India mengerahkan pasukannya (melawan China), untuk menghalangi India memobilisasi pasukannya menghadapi Pakistan (dengan asumsi negara Pakistan akan menjadi bagian dari daulah al-Khilafah).
  3. Mendorong Cina untuk melepaskan Dolar dan Euro yang dimilikinya dengan imbalan minyak dan gas murah. Hal ini akan menyebabkan masalah besar bagi Amerika Serikat dan Eropa, dan tentu saja akan mengakhiri dominasi ekonomi mereka.
  4. Memaksa China merubah perilakunya terhadap kaum muslimin di Turkistan Timur dan juga terhadap kaum muslimin yang hidup di bagian lain dari China.  Wilayah Turkistan Timur merupakan pintu gerbang untuk menyampaikan Islam ke China.  Pintu gerbang lainnya adalah Taiwan.  Jika Taiwan dikuasai oleh daulah al-Khilafah maka Taiwan akan menjadi semacam pengangkut pesawat yang tidak bisa ditenggelamkan dan bisa digunakan untuk mengekspos kekuatan al-Khilafah terhadap daratan China dan laut China selatan.  Hal itu masih ditambah dengan dekatnya Indonesia dan Malaysia.  Semua itu akan memberi kekuatan besar kepada daulah al-Khilafah di kawasan Asia Pasifik.
19 April 2012

Thursday, May 3, 2012

Antara Geopolitik, Konflik dan Industri Demokrasi


Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute

Geo itu bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan seterusnya. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan angin serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo, seharusnya tak hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan tetapi lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara yang hidup di atasnya bermartabat di dunia.


Seperti dikatakan oleh Bung Karno, “Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya” (1956). Dengan demikian, geopolitik merupakan ilmu tua yang mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di atas geo itulah seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai terhadap geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana bagi ilmu-ilmu (politik) yang ada.  
Memahami dan implementasi geopolitik itu sederhana saja, menurut Panglima Besar Soedirman: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947); atau Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965); Pak Harto dulu sering menyatakan: “.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara" (1967); dan menurut Dirgo D. Purbo, dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia sekaligus pakar perminyakan Indonesia menyebut bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional Republik Indonesia (2003).  
Geopolitik meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta non materi atau spirit. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas permukaan. Dengan demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup, umurnya sudah setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri. 
Di era modern, geopolitik suatu bangsa sering terdangkalkan bahkan ada yang dinihilkan dengan doktrin-doktrin global seperti kebebasan, demokrasi, profesionalisme, globalisasi, HAM dan lainnya. Ia dituduh sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan, dianggap hanya sekedar domain militer saja. Inti tujuannya mungkin agar tercitra bahwa geopolitik kini sudah tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama bagi fungsi atau institusi non militer. 
Teori Mackinder, Guilford dan lainnya tentang geopolitik sebenarnya hanya “meramu” atau mempeta kawasan berdasar kekayaan minyak, oleh karena dari aspek histori ilmu, geopolitik adalah realitas politik semenjak Adam turun ke bumi. Perselisihan antara Habil dan Qabil pada awal kehidupan tempo doeloe merupakan contoh realitas politik yang tak boleh dipungkiri siapapun. Bahkan segala bentuk peperangan di era Fir’aun, atau sejak zaman Babylonia, Romawi, Perang Dunia, atau konflik-konflik di berbagai negara baik yang vertikal maupun bersifat horizontal serta modus dan methode kolonialisme ataupun imperialisme gaya baru di masa kini, disebabkan karena kepentingan geopolitik. Contoh aktual ialah Syria. Negeri ini meski tak kaya minyak seperti Lybia, Irak, atau Arab Saudi namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata karena geopolitic pipeline serta geostrategic possition.
Geopolitik Indonesia
Indonesia memiliki geopolitik yang strategis dalam interaksi global, selain posisinya di antara dua samudera dan dua benua yang merupakan peluang betapa besar peran yang bisa dimainkan di panggung internasional, juga memiliki kekayaan alam (SDA) beraneka lagi melimpah ruah. Tetapi bangsa ini tidak mampu “mengelola” secara tepat dan baik letak ke-”strategis”-an posisi dan kekayaan SDA yang dimiliki. Mungkin hanya di era BK, Indonesia mampu mengelola geopolitiknya. 
Makanya ia menggempur Belanda di Irian Barat dan “mempermainkan” Amerika Serikat. BK memahami jika Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan nisaya bakal mengancam kedaulatan Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di wilayah barat memiliki lumbung minyak Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia. 
Sumatera adalah salah satu bukti nyata. Pulau di sebelah barat Indonesia ini tak sekadar cerita tentang pulau emas, eksotisme alam liar nan indah atau kemashyuran Sriwijaya. Secara geopolitik Sumatera ini sejatinya sangat strategis, namun celakanya banyak orang Indonesia sendiri yang tidak menyadarinya. Sumetara adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional (Baca Sumetara Tempo Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka, Anthony Reid, ed). 
Sebagai semacam barikade yang dihadapkan pada titik-titik masuk maritim ke Asia bagian timur, Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannnya, lalu kapur barus dari hutan-hutannnya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna dvipa-Tanah Emas. Bukan itu saja. Beberapa jejak peninggalan tertua dari pengaruh India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara dapat ditemukan di Sumatera.  Luar biasa!
Deli, di Sumatera Timur, sekadar ilustrasi yang lain lagi. Jika kita menelisik ke 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, sudah melukiskan Deli sebagai tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Di perbatasan Deli dengan Aceh, terdapat minyak tanah yang berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak. 
Bahkan, di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauksit di Riau dan Alumunium terdapat di Asahan, Deli. Bahkan jika dihubungkan dengan arang di Sawahlunto dan airmancur Sungai Asahan, yang punya kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan perindustrian berat apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah, dan lain lain dari tanah. 
Kalau kita mempelajari dan menyerap apa yang menjadi ketahanan budaya dan ketahanan nasional negara-negara lain, Iran bisa kita jadikan contoh nyata yang paling aktual. Betapa kesadaran dan wawasan geopolitik dan geostrategi para elit pemerintahan di Iran, merupakan salah satu faktor kebangkitan Iran sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Cina. 
Dengan segala kelebihan serta keterbatasannya mampu memaksimalkan peran geopolitik dalam perpolitikan global. Setidak-tidaknya ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Ahmadinejad dalam psy war kemarin telah membuat “kekhawatiran” para adidaya dunia, terutama bagi jajaran negara yang sangat tergantung dari dinamika selat tersebut. Ini cuma sekilas contoh, betapa dahsyat pemanfaatan geopolitik suatu bangsa bila dikelola secara baik, bahkan dapat dijadikan geopolitic weapon
Sebagaimana diurai di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan rahmat-Nya. 
Tatkala abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan energi berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta teori sosial politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan asing. Terjebak gegap diskusi pada tataran permukaan malah melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang di bawah permukaan. Nonsense. Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut oleh asing dan kaum komprador menjadi “industri demokrasi” dengan berbagai manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat, demonstrasi, ego sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya.  
Maka inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di ruang hakiki (substansi). Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa hanya sekedar mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan teori yang telah dikendalikan, berputar-putar dalam isue serta terminologi “rekayasa” (demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak kepada kepentingan luar tetapi nihil terhadap historisme yang mutlak harus dipikul dan menjadi tanggung jawab sejarah, sosial dan realitas politik terutama bagi kepentingan nasional saat ini.
Dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik, Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing. 
Sebagai contoh sederhana ialah maraknya berbagai konflik di tanah air sesungguhnya tak boleh dilepas dari hipotesa sebagai “hajatan asing” dalam rangka protection oil flow atau blockade somebody else oil flow. Pola yang lazim digunakan oleh kolonialisme ialah menghadirkan pasukan multinasional melalui resolusi PBB dengan alasan HAM dan kemanusiaan, lalu dikeroyok ala NATO seperti Libya atau berujung referendum sebagaimana terjadi di Sudan, Timor Timur dan lainnya. Itulah potensi yang bakal terjadi di republik ini, sementara para elit bangsa “sibuk” dengan dinamika di permukaan namun melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan). Sekali lagi, lupa geopolitik ialah  awal bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa.