PETA TANTANGAN
PEREMPUAN MUSLIM DI ASIA TENGGARA
Fika M. Komara
I. GEOPOLITIK ISLAM DI ASIA TENGGARA : REKAYASA IDENTITAS
Asia Tenggara merupakan persimpangan geografi Asia dimana Sinic, Hindu, Islam dan Budaya Barat telah bertemu dan berinteraksi selama sekitar 100 tahun. Di kawasan ini, terdapat 1413 bahasa (37% dari total bahasa yang ada di dunia), dan juga dapat ditemukan hampir seluruh agama yang ada di dunia (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konfusian, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya). Dengan populasi lebih dari 500 juta jiwa, pertumbuhan ekonomi yang cepat, kekayaan SDA yang melimpah, dan proporsi tinggi dari perdagangan Jepang, Korea, Taiwan, Australia termasuk import minyak, yang melintasi selat di Asia Tenggara, kawasan ini sangat signifikan bagi keseimbangan kekuatan antara Asia dan kekuatan global.
Jika batas negara bangsa digantikan dengan batasan ethno-religious, maka akan terbentuk sebuah busur panjang homogen yang menandakan identitas Muslim, terbentang dari Thailand Selatan, melalui semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, area pantai Kalimantan, sampai kepulauan Sulu dan sebagian Mindanao pada Philipina Selatan.
Gambar 1. Busur panjang sebaran Muslim di Asia Tenggara
Saat ini, ada sekitar 230 juta Muslim di Asia Tenggara atau sekitar 42 persen dari jumlah populasi penduduk Asia Tenggara. Jumlahnya sekitar 25 persen dari total penduduk Muslim dunia yang berjumlah 1,6 miliar jiwa. Dalam buku A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia, peta kekuatan Islam Politik di Asia Tenggara dipetakan berada pada 4 (empat) negara, yaitu : Indonesia (yang terbesar), Malaysia, Philipina dan Thailand.
Indonesia merupakan negara terbesar di dunia dalam hal populasi Muslim, meskipun sekitar 12 persen dari penduduknya adalah non-Muslim. Malaysia, meskipun tingkat kepadatan populasinya jauh lebih rendah dari Indonesia, secara politis didominasi oleh penduduk Muslim Melayu, dan faktanya Muslim Melayu adalah etnis mayoritas di negara ini. Di Thailand dan Philipina, populasi Muslim adalah minoritas yaitu hanya sekitar empat sampai lima persen, namun demikian, Muslim tetap terhitung sebagai minoritas yang besar, karena populasinya terkonsentrasi signifikan secara politis.
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai a global epicenter of cultural diversity, yaitu kawasan dengan tingkat heterogenitas budaya yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan Asia Tenggara potensial terhadap masalah kerawanan identitas. Dengan kata lain, Muslim di Asia Tenggara rentan menghadapi rekayasa pembentukan identitas.
Di Indonesia dan Malaysia misalnya, pembiasan identitas terus terjadi karena dibangunnya kehidupan pluralisme di tengah-tengah Umat Islam, bahkan sebagian pihak mengklaim bahwa Malaysia dan Indonesia adalah model sukses dalam demokrasi dan pembangunan ekonomi, dan merupakan model yang layak untuk ditawarkan pada dunia Arab yang saat ini sedang menjalani 'Musim Semi Arab'. Thailand dan Philipina beda lagi, kedua negara itu menghadapi gerakan gerilyawan etno-religius yang didefinisikan oleh pihak tertentu sebagai gerakan berideologi Islam namun dari perspektif etnis yakni ideologi Islam yang meletakkan penekanan pada kekerabatan, bahasa dan budaya. Lagi-lagi merupakan pembiasan identitas.
Isu terorisme yang belakangan semakin gencar, memperuncing konflik identitas tersebut dengan dimunculkannya kelompok Islam garis keras sebagai bad actors , seperti di Thailand, Philipina, dan Indonesia. Di Philipina Selatan, pemberontakan Moro berlangsung terus menerus dianggap telah mengacaukan stabilitas, investasi dan pembangunan lokal. Tiga kelompok yang berada di garis terdepan aksi militant di negara ini adalah : the Abu Sayyaf Group (ASG), the Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan the Misuari Breakaway Group (MBG). Di Thailand Selatan, aksi kekerasan diasosiasikan dengan kelompok separatis Muslim Melayu yang selalu melakukan aksi berulang kali sejak akhir 1960-an. Sekup kelompok militant ini tersebar di tiga provinsi bagian selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat yang semakin akut sejak tahun 2004.
Sementara itu, Indonesia dipandang paling memiliki identitas yang kuat dan representatif di Asia Tenggara, untuk memimpin ketahanan regional di Asia Tenggara. Indonesia yang berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia secara umum dan dunia pada umumnya. Pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana Indonesia sebagai negeri muslim terbesar berhadapan dengan isu-isu demokrasi dan keragaman politik dan agama? Eksperimen demokrasi yang gagal di Indonesia akan semakin menguatkan klaim bahwa demokrasi tidak akan pernah kompatibel dengan kultur politik di negeri-negeri muslim.
II. KAMUFLASE IDENTITAS PEREMPUAN DENGAN ASEAN VALUES
Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad ke-7 M yang disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang yang mendakwahkan Islam. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di belahan dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklukan (futuhat(. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Nilai-nilai keterbukaan (inklusivitas), tanpa kekerasan, plural, dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Asia Tenggara inilah yang kemudian dikedepankan untuk mengkonstruk identitas Islam di Asia Tenggara. Nilai-nilai ini sering disebut sebagai ASEAN Way atau ASEAN Values. ASEAN Way ini juga diadopsi menjadi prinsip pendirian organisasi regional ASEAN yang termaktub dalam piagam ASEAN. Organisasi ini terdiri dari 10 Negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Brunei Darussalaam, Singapura, Kamboja, Myanmar, Vietnam, dan Laos serta Timor Leste (yang akan bergabung ASEAN dalam waktu dekat).
Adalah Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN [The Southeast Asia Women’s Caucus on ASEAN] yang bercita-cita membentuk identitas perempuan Asia Tenggara dengan nilai-nilai ASEAN. Dengan slogan A New ASEAN is on Her Way mereka berupaya merepresentasikan perempuan di Asia Tenggara yang plural, inklusif dan memiliki keberagaman tinggi. Organisasi yang terbentuk sejak 2008 ini terdiri dari 55 organisasi hak asasi perempuan dari 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN serta Timor Leste. Kaukus ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ASEAN.
Terdapat 5 (lima) isu besar yang menjadi prioritas Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN, berangkat dari konteks persoalan perempuan di kawasan ini, yakni :
1. Migrasi
Kemiskinan, konflik ataupun kehilangan lahan pertanian menjadikan tingkat migrasi (perpindahan) perempuan di Asia Tenggara sangat tinggi. Kebanyakan buruh migran Asia Tenggara bekerja secara ilegal dengan bayaran rendah tanpa peraturan hukum yang melindunginya.
2. Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Against Women)
Banyaknya perempuan Asia Tenggara yang berkiprah di ruang publik, menjadikan kekerasan perempuan tidak hanya terjadi di dalam rumah. Ditemukan bentuk-bentuk kekerasan lain terhadap perempuan yang terjadi di banyak ruang publik.
3. Hak-hak Ekonomi Perempuan
Ditemukan banyak sekali ketidakadilan dalam hak-hak ekonomi perempuan di Asia Tenggara, baik perempuan yang bekerja pada sektor ekonomi informal maupun sektor formal.
4. Partisipasi Politik
5. Diskriminasi dalam Hukum, Kebijakan dan Implementasinya
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN ini bukanlah hal yang baru, apa yang menjadi cita-citanya selaras dengan apa yang telah dirumuskan dalam Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) -yang sering dianggap Bill of Rights-nya segala permufakatan internasional ide-ide gender. Hanya saja Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN mencoba mengdaptasikannya dengan nilai-nilai masyarakat di Asia Tenggara.
CEDAW sendiri memiliki program yang disebut CEDAW SEAP atau CEDAW South East Asia Programmes, yang telah bekerja sejak tahun 2004 untuk memfasilitasi implementasi CEDAW yang lebih baik dalam memajukan hak-hak perempuan di Asia Tenggara. Program ini menitikberatkan pekerjaannya di tujuh negara - Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Thailand, Vietnam dan Timor-Leste - dan telah berusaha untuk memainkan peran sebagai katalisator dalam mendorong tindakan yang lebih efektif di sekitar tujuan CEDAW.
Inilah sekilas gambaran upaya mereka untuk membentuk identitas perempuan Asia Tenggara yang massif dilakukan oleh The Southeast Asia Women’s Caucus on ASEAN maupun oleh CEDAW SEAP. Upaya kamuflase yang kontekstual ini merupakan kombinasi dari ide-ide tentang gender dan nilai pluralisme dari Asia Tenggara yang mereka ramu untuk mempengaruhi dan merusak identitas perempuan Asia Tenggara terutama perempuan Muslimnya.
III. MUSLIMAH ASIA TENGGARA : TANTANGAN IDENTITAS, SOSIAL DAN EKONOMI
Berdasarkan data statistik populasi yang dikeluarkan PBB Desember 2011 dan laporan Mapping The Global Muslim Population 2009 dari PEW Research Centre, maka perkiraan jumlah perempuan Muslim di Asia Tenggara, sebagai berikut [1] :
Negara Asia Tenggara | Prosentasi Muslim di Negara (%) | Total Populasi Muslim (juta jiwa) | Rasio Perempuan Per Laki-Laki (%) | Total Perempuan Muslim (juta jiwa) |
Indonesia | 88,1 | 204,8 | 50,5 | 103,424 |
Malaysia | 61,4 | 17,14 | 48,5 | 8,3129 |
Philipina | 5,1 | 4,74 | 49,5 | 2,3463 |
Thailand | 5,8 | 3,95 | 52 | 2,054 |
Brunei Darussalaam | 51,9 | 0,21 | 49 | 0,1029 |
Singapura | 14,9 | 0,72 | 49 | 0,3528 |
Kamboja | 1,6 | 0,24 | 52 | 0,1248 |
Myanmar | 3,6 | 1,9 | 51,5 | 0,9785 |
Vietnam | 0,2 | 0,16 | 51 | 0,0816 |
Laos | 0,1 | 0,001 | 50 | 0,0005 |
Total | 233,861 | 117,6962 |
Jumlah Muslimah di Asia Tenggara mencapai 117,7 juta jiwa, dimana sumbangan terbesar tentu berasal dari Indonesia sebanyak 103.424.000 jiwa, lalu berikutnya dari Malaysia, Philipina dan Thailand. Keempat negara ini total menyumbang 116.137.200 jiwa atau 98,7% dari total populasi Muslimah di Asia Tenggara. Jumlah yang fantastis ini sekaligus mengindikasikan bahwa populasi Muslimah terbesar dunia ada di kawasan Asia Tenggara, lebih spesifik lagi adalah di Indonesia.
Meski besar secara kuantitatif, sejauh ini belum ditemukan secara kualitatif pergerakan perempuan Islam yang bergerak lintas negara di Asia Tenggara, kecuali LSM atau NGO sekuler yang justru sering menyudutkan Islam. Pergerakan perempuan Islam baru didapati dalam sekup nasional saja, seperti Sister in Islam (Malaysia), Aisyiyah (Indonesia), dan sebagainya; itupun tidak mengusung Islam sepenuhnya dan belum mampu menjawab persoalan perempuan di wilayahnya.
Besarnya jumlah populasi perempuan Muslim di Asia Tenggara, mengandung potensi sekaligus sejumlah tantangan tersendiri, seperti dipetakan berikut ini :
1. Tantangan Identitas (Ideologis(
Perempuan Muslim Asia Tenggara yang dikenal moderat karena nilai-nilai ASEAN-nya tentu dihadapkan pada tantangan identitas berbeda dengan dunia lainnya. Jika di negeri Barat, tantangan besarnya adalah pelarangan busana Muslimah yang identik dengan identitas Islam. Maka di Indonesia justru adalah bergesernya nilai busana Muslimah dari sebuah kewajiban yang melekat pada identitas Muslim, menjadi hanya sekedar trend/ gaya hidup yang bisa berdampingan dengan budaya kebebasan.
Sebenarnya bukan tanpa alasan jika Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC) bersama pemerintah dan para pelaku industri mode menargetkan Indonesia sebagai kiblat mode muslim dunia pada 2020. Sebab saat ini Indonesia tercatat memiliki tingkat ekspor busana muslim yang besar ke negara-negara muslim seperti Malaysia, Turki, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lainnya di Timur Tengah (okezone.com, 10/10/2011).
Industri busana muslim di Indonesia seolah sengaja terus didorong untuk menarik perhatian dunia, dimana rancangan busananya dibuat jauh dari kesan kaku yang menggabungkan implementasi tren fashion terkini dan unsur budaya lokal. Walhasil, dorongan mengenakan busana muslimah bukan lagi dorongan Taqwa, melainkan lebih kepada seni dan tren masa kini yang mendukung gaya hidup permisif dan pluralis.
2. Tantangan Ekonomi
Sebagaimana masyarakat di Asia Tenggara pada umumnya, perempuan Muslim juga menghadapi tekanan ekonomi dan sosial akibat penerapan sistem ekonomi dan politik Sekuler-Kapitalistik. Ditambah lagi negara-negara Asia Tenggara pada umumnya tergolong negara berkembang dengan jumlah populasi besar yang masih diliputi oleh kemiskinan. Karena itulah di Indonesia dan Philipina khususnya, kaum perempuan bahkan dipekerjakan sebagai buruh migran ke luar negaranya, yang dikenal dengan sebutan TKW di Indonesia.
Sejumlah faktor menjelaskan mengapa terjadi pertumbuhan eksponensial dalam migrasi tenaga kerja perempuan di Asia Tenggara:
- Minimnya kendala budaya pada kultur Asia Tenggara terhadap mobilitas perempuan ke ruang publik;
- Perempuan migran Asia Tenggara biasanya berasal dari negara dengan tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang relatif tinggi. Kesulitan hidup, terutama di daerah pedesaan, menyebabkan para wanita memilih untuk menjadi buruh migran sebagai sarana untuk bertahan hidup,
- Pertumbuhan sektor jasa dan industri pariwisata telah menciptakan pilihan bagi wanita selain pekerjaan di sektor industri,
- Jaringan sosial yang telah memberi dukungan yang besar dan makin mengintensifkan tenaga kerja wanita untuk bermigrasi.
Meskipun bukan hal baru bagi Asia Tenggara, migrasi tenaga kerja wanita tidaklah sepi dari masalah. Kekerasan dan kejahatan pada buruh migran perempuan akhirnya menjadi hal yang biasa.
3. Tantangan Sosial
Perpindahan dari desa ke kota, dari daerah satu ke daerah lainnya, juga perpindahan melintasi perbatasan nasional suatu negara dalam konteks tumbuhnya “global cities” atau daerah urban global, ataupun wilayah penyangga perkotaan untuk mendukung pesatnya perindustrian.
Semua fenomena migrasi sosial ini tentu menimbulkan dampak yang signifikan, utamanya pada tatanan sosial yaitu terhadap struktur keluarga muslim di Asia Tenggara. Nilai – nilai hidup berkeluarga sesuai tuntunan Islam telah semakin memudar, sehingga muncullah bentuk-bentuk keluarga yang tidak lagi berada pada koridor Islam, semacam :
- Bentuk keluarga urban dimana suami istri bekerja, sementara pengasuhan anak diserahkan pada pembantu,
- Bentuk keluarga migran yang anggota keluarganya hidup jauh terpisah,
- Bentuk keluarga sambung (patchwork family), karena pernikahan baru, setelah sebelumnya terjadi perceraian, dan
- Bentuk keluarga single parent akibat hubungan tanpa pernikahan, dan sebagainya
Semua itu merupakan dampak dari migrasi sosial akibat tuntutan sosial ekonomi yang tidak bisa dihindari. Akibat yang paling menakutkan adalah rusaknya generasi, karena perhatian kaum ibu terforsir pada pekerjaan yang seringkali menuntutnya terpisah jauh dari anak-anaknya.
IV. MENJAWAB TANTANGAN PEREMPUAN MUSLIM ASIA TENGGARA
Sungguh kaum perempuan di seluruh dunia Islam, selama beberapa dekade menghadapi penindasan, kemiskinan dan penghinaan di bawah rezim represif yang korup dan sistem ekonomi yang sudah usang. Berbagai pemerintahan di Timur dan Barat, Utara dan Selatan telah menutup mata dan membiarkan pelanggaran terhadap hak perempuan dan bahkan melucuti hak-hak dasar mereka. Semua sistem Monarki dan Republik, "Demokrasi dan kediktatoran", selama delapan dekade terakhir telah gagal menjamin kehidupan yang layak dan menghormati perempuan.
Termasuk yang paling mencuat adalah adanya kebutuhan mendesak terhadap visi politik yang berbeda yang mampu menghadirkan perubahan hakiki yang memastikan masa depan sejahtera yang berkeadilan dan memberi kemakmuran baik bagi laki-laki maupun perempuan, bagi warga muslim dan non-Muslim.
Khusus pada kawasan Asia Tenggara, tentu dibutuhkan visi politik yang berbeda selain dari apa yang dilakukan oleh pergerakan perempuan sekuler dengan nilai-nilainya yang menyesatkan. Dibutuhkan gerakan perempuan alternatif yang memiliki visi yang lurus dan istimewa, serta menawarkan solusi tajam pada persoalan-persoalan perempuan di Asia Tenggara.
Adalah Islam, sebuah ideologi dan sistem kehidupan yang unik yang memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan persoalan kehidupan termasuk persoalan perempuan. Selain mencakup pemikiran dasar mengenai aqidah (aspek ruhiyah/spiritualitas), Islam juga mengatur aspek siyasiyah (pengaturan urusan kehidupan manusia), baik dalam masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam, termasuk hukum-hukum tentang perempuan.
Islam sedari awal telah memberi perempuan posisi yang bergengsi, dan posisi inilah yang berhak dia peroleh sebagai manusia yg bermartabat. Posisi itu adalah ummu wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Selain itu di dalam Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan seperti halnya pada laki-laki, karena perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Islam pun menetapkan hukum-hukum yang memelihara hak-hak perempuan, menjaga kemuliaan, dan menjaga potensi/ kemampuannya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (TQS. At Taubah [9] : 71).
Oleh karenanya gerakan perempuan alternatif yang harus hadir di Asia Tenggara adalah gerakan yang hanya mengusung ideologi Islam. Dengan begitu akan terjawab berbagai tantangan perempuan Muslim di Asia Tenggara. Islam akan menjawab dan menyelesaikan persoalan identitas, ekonomi, sosial maupun politik yang dihadapi oleh perempuan Asia Tenggara di bawah naungan pemerintahan Islam global yaitu Khilafah Islamiyah yang akan memayungi seluruh kawasan dunia Islam, termasuk Asia Tenggara.[ZS]
[1] Data diolah dari UN Gender Info 2010 http://www.devinfo.info/genderinfo/ dan laporan Mapping The Global Muslim Population 2009 dari PEW Research Centre
No comments:
Post a Comment