Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Thursday, March 8, 2012

TANTANGAN PEREMPUAN MUSLIM DI ASIA TENGGARA

TANTANGAN  PEREMPUAN MUSLIM DI ASIA TENGGARA
Oleh : Fika M. Komara


I.        GEOPOLITIK ASIA TENGGARA
Asia Tenggara merupakan bagian dari kawasan Timur Jauh atau yang sering disebut dengan Asia Pasifik. Dari tinjauan strategis, kawasan Timur Jauh dipandang penting bagi Amerika Serikat dan Rusia. Dari arah Samudera Pasifik, kawasan Timur Jauh menjadi vital karena berkaitan dengan batas-batas Amerika Serikat. Selain itu, di Samudera Pasifik terdapat dua kekuatan besar yang dapat menjadi bahaya terhadap Amerika Serikat. Dua kekuatan itu adalah Jepang dan Cina. Karena itu, Amerika Serikat sangat berambisi untuk mempunyai kekuatan di Timur Jauh dan tetap mempunyai kekuatan di sana. Bahkan sebelum dan sesudah serangan ke Pearl Halbour oleh Jepang, pada Perang Dunia II, Timur Jauh telah menjadi hegemoni Amerika Serikat dari segi strategis, karena kawasan ini tetap menjadi benteng-benteng laut dan udara bagi Amerika Serikat secara permanen siang dan malam. Filipina dapat dianggap sebagai basis Amerika Serikat sebelum Perang Dunia II sampai saat ini. Amerika Serikat sangat memperhatikan kawasan ini untuk menjaga dirinya sendiri. [1]
Posisinya yang strategis membuat kawasan Timur Jauh cukup lama menjadi daerah koloni bangsa-bangsa Eropa. Ini terjadi mulai abad pertengahan. Adanya kebutuhan untuk memdapatkan sumber daya telah memaksa bangsa-bangsa Eropa untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka sampai ke seluruh pelosok dunia. Mulai dari Portugis diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda datang ke Asia Pasifik dalam usahanya mendapatkan sumber daya, diawali dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa di Asia Pasifik.
Namun memasuki abad ke-20 tepatnya menjelang Perang Dunia ke-2, ide kemerdekaan dari penjajahan menyebar ke seluruh dunia termasuk kawasan ini, dan semakin tersebar pasca Perang Dunia ke-2. Pemikiran ini pulalah yang kemudian berhasil membuat era kolonisasi bangsa-bangsa Eropa harus berakhir. Walhasil, ide kemerdekaan dari penjajahan (anti kolonialisme) sangat mendominasi bangsa-bangsa di kawasan Timur Jauh khususnya Asia Tenggara, dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan pemikiran itu dicetuskan oleh kaum komunis sebagai satu bagian dari konfrontasi komunisme melawan kapitalisme. Pemikiran ini masuk dari Uni Soviet melalui Cina ke bangsa-bangsa Timur Jauh secara kuat, sehingga membangkitkan bangsa-bangsa ini.[2] Oleh karena itu maka tidak heran jika prinsip anti kolonialisme dan non-interferensi menjadi ciri kuat dalam pembentukan organisasi regional ASEAN yang terbentuk 1967. Organisasi ini sekarang terdiri dari 10 Negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Brunei Darussalaam, Singapura, Kamboja, Myanmar, Vietnam, dan Laos serta Timor Leste (yang akan bergabung ASEAN dalam waktu dekat).
Meski begitu bukan berarti era imperialisme telah berakhir total di kawasan ini. Karena Amerika Serikat dan Inggris telah memahami dengan baik kenyataan bahwa pemikiran anti kolonial begitu dominan di kawasan Asia Tenggara. Maka, keduanya berusaha keras untuk tidak menampakkan pengaruhnya di kawasan ini dalam bentuk penjajahan gaya lama. Mereka menggunakan cara hubungan-hubungan ekonomi, politik, dan budaya serta kesepakatan-kesepakatan, yang secara lahiriah seakan-akan hanya hubungan-hubungan internasional, bukan dikte-dikte imperialistik. [3]
 Gambar 1. Asia Tenggara

Bagi Amerika Serikat, Asia tenggara sangat signifikan peranannya dalam kepentingan ekonominya. Dengan populasi lebih dari 500 juta, pertumbuhan ekonomi yang cepat sebelum krisis 1997-1998, serta kekayaan SDA yang melimpah; Asia Tenggara sangat strategis menjadi pasar komoditas bagi produk industri Amerika Serikat juga lahan empuk eksploitasi Sumberdaya Alam. Dari perspektif militer, Asia Tenggara yang memiliki jalur laut strategis (sea lanes of communication) yang merupakan jalur persimpangan (crossroad) dunia; jalur laut ini sangat kritis bagi pergerakan Angkatan bersenjata Amerika Serikat dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia. [4]
Di sisi lain terjadi perkembangan Islam yang semakin pesat di kawasan ini, disebabkan 230 juta orang muslim berdomisili di kawasan Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia bisa menjadi kekuatan yang menentukan di kawasan Asia Pasifik yang tidak kalah dari kekuatan besar lainnya yang berpengaruh di kawasan ini. Itu dapat terwujud jika Indonesia dan Malaysia mengambil Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan. Demikian pula terdapat potensi yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia dengan Dunia Islam lainnya karena adanya kemajuan ilmu dan teknologi di bidang komunikasi dan transportasi. Hal ini semakin membuat khawatir negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat sang adidaya.

II.        ISLAM DI ASIA TENGGARA : REKAYASA IDENTITAS
Keseriusan Barat dalam merekayasa identitas Islam di Asia Tenggara sangatlah terlihat, bukti kekhawatiran mereka yang demikian besar terhadap perkembangan Islam. Berpangkal dari dokumen RAND Corporation yang berjudul Building Moderate Muslim Network (2007) yang merupakan penelitian tentang bagaimana menciptakan "Jaringan Muslim Moderat" di berbagai belahan dunia; dengan tujuan meredam, meminimalisir, bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai "ekstremis/ radikal Islam" dan menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat. Dimana karakter Islam moderat menurut RAND adalah Muslim yang mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan jender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang non sektarian, dan menentang terorisme. [5]
Khusus Asia Tenggara mereka bahas tersendiri pada bab ke-7, disitu dipetakan siapa saja yang menjadi komponen kunci dalam membangun jaringan Islam moderat di kawasan ini, yaitu : (1) institusi pendidikan yang moderat baik itu pesantren maupun universitas Islam, (2) media, (3) institusi demokrasi seperti Lakpesdam NU, (4) bangunan jaringan regional yang melink-kan antara jaringan nasional dengan jaringan kawasan seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Selain itu pada ranah sosial, prioritas yang akan dirangkul oleh AS untuk membangun saluran propaganda hegemonis mereka dan memerangi ekstremisme Islam adalah: Pertama, intelektual atau akademisi yang sekular dan liberal. Kedua, cendekiawan muda religius yang moderat. Ketiga, komunitas aktivis (sekular). Keempat, kelompok perempuan yang aktif dalam propaganda kesetaraan gender. Kelima, jurnalis dan penulis moderat. [6]
Terlebih Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai a global epicenter of cultural diversity, yaitu kawasan dengan tingkat heterogenitas budaya yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan Asia Tenggara potensial terhadap masalah kerawanan identitas. Dengan kata lain, Barat bisa lebih mudah dalam melakukan pembentukan identitas terhadap Muslim di Asia Tenggara.
 Gambar 2. Busur panjang sebaran Muslim di Asia Tenggara

Asia Tenggara merupakan persimpangan geografi Asia dimana Sinic, Hindu, Islam dan Budaya Barat telah bertemu dan berinteraksi selama sekitar 100 tahun. Di kawasan ini, terdapat 1413 bahasa (37% dari total bahasa yang ada di dunia), dan juga dapat ditemukan hampir seluruh agama yang ada di dunia (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konfusian, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya). Jika batas negara bangsa digantikan dengan batasan ethno-religious, maka akan terbentuk sebuah busur panjang homogen yang menandakan identitas Muslim, terbentang dari Thailand Selatan, melalui semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, area pantai Kalimantan, sampai kepulauan Sulu dan sebagian Mindanao pada Philipina Selatan.
Saat ini, ada sekitar 230 juta Muslim di Asia Tenggara atau sekitar 42 persen dari jumlah populasi penduduk Asia Tenggara. Jumlahnya sekitar 25 persen dari total penduduk Muslim dunia yang berjumlah 1,6 miliar jiwa. Dalam buku A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia, peta kekuatan Islam Politik di Asia Tenggara dipetakan berada pada 4 (empat) negara, yaitu : Indonesia (yang terbesar), Malaysia, Philipina dan Thailand.
Indonesia merupakan negara terbesar di dunia dalam hal populasi Muslim, meskipun sekitar 12 persen dari penduduknya adalah non-Muslim. Malaysia, meskipun tingkat kepadatan populasinya jauh lebih rendah dari Indonesia, secara politis didominasi oleh penduduk Muslim Melayu, dan faktanya Muslim Melayu adalah etnis mayoritas di negara ini. Di Thailand dan Philipina, populasi Muslim adalah minoritas yaitu hanya sekitar empat sampai lima persen, namun demikian, Muslim tetap terhitung sebagai minoritas yang besar, karena populasinya terkonsentrasi signifikan secara politis.
Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad ke-7 M yang disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang yang mendakwahkan Islam, tentu tanpa menafikan adanya visi politik terorganisir dari Daulah Islam yang saat itu berada di Timur Tengah. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di belahan dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklukan (futuhat(. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Nilai-nilai keterbukaan (inklusivitas), tanpa kekerasan, plural, dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Asia Tenggara inilah yang kemudian dikedepankan untuk mengkonstruksi identitas Islam di Asia Tenggara. Nilai-nilai ini sering disebut sebagai ASEAN Way atau ASEAN Values dan sering dianggap sebagai identitas penting negara-negara ASEAN.
Di Indonesia dan Malaysia pembiasan identitas terus terjadi karena dibangunnya kehidupan pluralisme di tengah-tengah Umat Islam, bahkan sebagian pihak mengklaim bahwa Malaysia dan Indonesia adalah model sukses dalam demokrasi dan pembangunan ekonomi, dan merupakan model yang layak untuk ditawarkan pada dunia Arab yang saat ini sedang menjalani 'Musim Semi Arab'. Thailand dan Philipina beda lagi, kedua negara itu menghadapi gerakan gerilyawan etno-religius yang didefinisikan oleh pihak tertentu sebagai gerakan berideologi Islam namun dari perspektif etnis yakni ideologi Islam yang meletakkan penekanan pada kekerabatan, bahasa dan budaya yang lagi-lagi merupakan pembiasan identitas.
            Sementara itu, Indonesia sebagai negara terbesar (dari sisi luas wilayah dan jumlah penduduknya) dipandang paling memiliki identitas yang kuat dan representatif untuk memimpin ketahanan regional di Asia Tenggara. Indonesia yang berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia secara umum dan dunia pada umumnya. Pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana Indonesia sebagai negeri muslim terbesar berhadapan dengan isu-isu demokrasi dan keragaman politik dan agama? Eksperimen demokrasi yang gagal di Indonesia akan semakin menguatkan klaim bahwa demokrasi tidak akan pernah kompatibel dengan kultur politik di negeri-negeri muslim.

III.        KAMUFLASE  IDENTITAS PEREMPUAN ASIA TENGGARA
Dalam dokumen RAND Building Moderate Muslim Network juga disebutkan bahwa isu kesetaraan gender adalah salah satu medan pertempuran utama dalam perang pemikiran melawan Islam, promosi kesetaraan gender adalah komponen penting dari setiap proyek untuk memberdayakan muslim moderat. Bahkan Chris A.Wade mengatakan bahwa perempuan dan kelompok perempuan adalah sekutu kuat dalam mengurangi pengaruh sebaran Islam Ideologis.[7] Karena itu dengan dipetakannya kelompok aktivis perempuan feminis sebagai elemen penting yang harus dirangkul Amerika Serikat dalam rangka membangun jaringan Islam Moderat; maka ini berarti menyangkut persoalan identitas perempuan Asia Tenggara, dengan kata lain merupakan serangan pemikiran bagi perempuan Muslim.
Adalah Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN [The Southeast Asia Women’s Caucus on ASEAN] yang bercita-cita membentuk identitas perempuan Asia Tenggara dengan nilai-nilai ASEAN. Dengan slogan A New ASEAN is on Her Way  mereka berupaya merepresentasikan perempuan di Asia Tenggara yang plural, inklusif dan memiliki keberagaman tinggi. Organisasi yang terbentuk sejak 2008 ini terdiri dari 55 organisasi hak asasi perempuan dari 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN serta Timor Leste. Kaukus ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ASEAN. Terdapat 5 (lima) isu besar yang menjadi prioritas Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN, berangkat dari konteks persoalan perempuan di kawasan ini, yakni : (1) Migrasi, (2) Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Against Women), (3) Hak-hak Ekonomi Perempuan, (4) Partisipasi Politik, dan (5) Diskriminasi dalam Hukum, Kebijakan dan Implementasinya
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN ini bukanlah hal yang baru, apa yang menjadi cita-citanya selaras dengan apa yang telah dirumuskan dalam Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) -yang sering dianggap Bill of Rights-nya segala permufakatan internasional ide-ide gender. Hanya saja Kaukus Perempuan Asia Tenggara ASEAN mencoba mengdaptasikannya dengan nilai-nilai masyarakat  di Asia Tenggara.
CEDAW sendiri memiliki program yang disebut CEDAW SEAP atau CEDAW South East Asia Programmes, yang telah bekerja sejak tahun 2004 untuk memfasilitasi implementasi CEDAW yang lebih baik dalam memajukan hak-hak perempuan di Asia Tenggara. Program ini menitikberatkan pekerjaannya di tujuh negara - Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Thailand, Vietnam dan Timor-Leste - dan telah berusaha untuk memainkan peran sebagai katalisator dalam mendorong tindakan yang lebih efektif di sekitar tujuan CEDAW.
Demikianlah gambaran upaya mereka untuk membentuk identitas perempuan Asia Tenggara yang massif dilakukan oleh The Southeast Asia Women’s Caucus on ASEAN maupun oleh CEDAW SEAP. Upaya serangan pemikiran ini merupakan kombinasi dari ide-ide tentang gender dan nilai pluralisme dari Asia Tenggara yang mereka ramu untuk mempengaruhi dan merusak identitas perempuan Asia Tenggara terutama perempuan Muslimnya.

IV.        PETA PERSOALAN MUSLIMAH ASIA TENGGARA
Berdasarkan data statistik populasi yang dikeluarkan PBB Desember 2011 dan laporan Mapping The Global Muslim Population 2009 dari PEW Research Centre, maka perkiraan jumlah perempuan Muslim di Asia Tenggara, sebagai berikut [8] :
Negara Asia Tenggara
Prosentasi Muslim di Negara
(%)
Total Populasi Muslim
(juta jiwa)
Rasio Perempuan Per Laki-Laki (%)
Total Perempuan Muslim
(juta jiwa)
Indonesia
88,1
204,8
50,5
103,424
Malaysia
61,4
17,14
48,5
8,3129
Philipina
5,1
4,74
49,5
2,3463
Thailand
5,8
3,95
52
2,054
Brunei Darussalaam
51,9
0,21
49
0,1029
Singapura
14,9
0,72
49
0,3528
Kamboja
1,6
0,24
52
0,1248
Myanmar
3,6
1,9
51,5
0,9785
Vietnam
0,2
0,16
51
0,0816
Laos
0,1
0,001
50
0,0005
Total

233,861

117,6962
          Jumlah Muslimah di Asia Tenggara mencapai 117,7 juta jiwa, dimana sumbangan terbesar tentu berasal dari Indonesia sebanyak 103.424.000 jiwa, lalu berikutnya dari Malaysia, Philipina dan Thailand. Keempat negara ini total menyumbang 116.137.200 jiwa atau 98,7% dari total populasi Muslimah di Asia Tenggara. Jumlah yang fantastis ini sekaligus mengindikasikan bahwa populasi Muslimah terbesar dunia ada di kawasan Asia Tenggara, lebih spesifik lagi adalah di Indonesia.
Meski besar secara kuantitatif, sejauh ini belum ditemukan secara kualitatif pergerakan perempuan Islam yang bergerak lintas negara di Asia Tenggara, kecuali LSM atau NGO sekuler yang justru sering menyudutkan Islam. Pergerakan perempuan Islam baru didapati dalam sekup nasional saja, seperti Sister in Islam (Malaysia), Aisyiyah (Indonesia), dan sebagainya; itupun tidak mengusung Islam sepenuhnya dan belum mampu menjawab persoalan perempuan di wilayahnya.
Besarnya jumlah populasi perempuan Muslim di Asia Tenggara, menuntut kejelian kita dalam memetakan motif dan strategi barat yang membidik populasi perempuan Muslim di kawasan ini. Berikut dipetakan dalam dua klasifikasi besar yaitu masalah utama dan masalah cabang :
1.          MASALAH UTAMA
a.    Serangan Pemikiran (Ideologis(
Seperti yang diyakini oleh RAND bahwa ide kesetaraan gender adalah salah satu senjata utama dalam perang pemikiran melawan Islam, maka persoalan mendasar yang dihadapi oleh perempuan muslim Asia Tenggara adalah ide kebebasan (liberalisme) dan feminisme. Ditambah lingkungan Asia Tenggara yang dikenal moderat dan plural karena nilai-nilai ASEAN-nya akan semakin menggiring perempuan-perempuan muslimnya menjadi sekuler dan pluralis, meninggalkan agamanya.
Menurut John L. Esposito, perempuan berada di pusat perang budaya di banyak negara muslim saat ini. Mereka dipandang sebagai “pengemban budaya”, “pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga”, “benteng terakhir” melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat. Mengenakan jilbab bukan hanya menjadi lambang kesopanan, melainkan lambang pertahanan Islam. Perempuan Muslim dianggap memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islami masyarakat Muslim. [9] Oleh karena itu jika pemikiran perempuan Muslim dinodai maka sama saja dengan  menodai entitas masyarakat Muslim secara luas.
Kombinasi ide gender dan pluralisme yang dipropagandakan oleh The Southeast Asia Women’s Caucus on ASEAN maupun oleh CEDAW SEAP merupakan racun pemikiran yang berbahaya karena nilai-nilainya sangat bertentangan dengan Aqidah serta prinsip dasar Islam. Di dalam ide gender terkandung paham kebebasan yang justru akan menjerumuskan perempuan pada jurang kenistaan, sementara ide pluralisme akan membuat kebenaran menjadi nisbi. Perpaduan kedua ide ini tentu lebih berbahaya.

  1. b.   Belenggu Politik – Ekonomi
Penerapan sistem ekonomi dan sistem politik Sekuler-Kapitalistik sejatinya adalah sumber dari kesengsaraan perempuan dunia, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Ditambah negara-negara Asia Tenggara pada umumnya  masih tergolong negara berkembang dengan jumlah populasi besar yang diliputi oleh kemiskinan.
Seperti yang sudah digambarkan di awal tulisan bahwa Amerika Serikat tetap berupaya menghegemoni Asia Tenggara dengan penjajahan gaya baru melalui banyak program politik dan ekonomi. Dari sisi politik, gelombang demokratisasi dengan program good governance –nya ternyata tidak mampu membuat sistem politik negara-negara ASEAN mampu menjamin hak-hak politik, keamanan dan perlindungan bagi perempuan terwujud. Suara perempuan hanya dibeli untuk kepentingan pragmatisme politik praktis saat Pemilu di sisi lain kriminalitas dan eksploitasi perempuan terus dibiarkan.
Dari sisi ekonomi pembentukan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN –yang banyak dimotori oleh AS- alih-alih mensejahterakan justru malah semakin mengeksploitasi tenaga perempuan sebagai buruh murah. Kebijakan itu antara lain seperti Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT), Singapura-Johor-Riau (Sijori atau IMS-GT) dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipina (BIMP-EAGA), sampai pada akhirnya melahirkan Master Plan ASEAN Connectivity yang justru melayani kepentingan perdagangan bebas 2015 di ASEAN.
Di sisi lain keterbatasan kemampuan negara dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya di dalam negeri juga menyebabkan angka migrasi buruh perempuan Asia Tenggara menjadi sangat tinggi. Karena itulah di Indonesia dan Philipina khususnya, kaum perempuan banyak dipekerjakan sebagai buruh migran ke luar negaranya, yang dikenal dengan sebutan TKW di Indonesia. 
Sejumlah faktor menjelaskan mengapa terjadi pertumbuhan eksponensial dalam migrasi tenaga kerja perempuan di Asia Tenggara:
  • Minimnya kendala budaya pada kultur Asia Tenggara terhadap mobilitas perempuan ke ruang publik;
  • Perempuan migran Asia Tenggara biasanya berasal dari negara dengan tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang relatif tinggi. Kesulitan hidup dan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan, menyebabkan para wanita memilih untuk menjadi buruh migran sebagai sarana untuk bertahan hidup,
  • Pertumbuhan sektor jasa dan industri pariwisata telah menciptakan pilihan bagi wanita selain pekerjaan di sektor industri,
  • Jaringan sosial yang telah memberi dukungan yang besar dan makin mengintensifkan tenaga kerja wanita untuk bermigrasi.
Meskipun bukan hal baru bagi Asia Tenggara, migrasi tenaga kerja wanita tidaklah sepi dari masalah. Kekerasan dan kejahatan pada buruh migran perempuan akhirnya menjadi hal yang biasa.

2.          MASALAH CABANG
a.    Runtuhnya Tatanan Sosial
Perpindahan dari desa ke kota, dari daerah satu ke daerah lainnya, juga perpindahan melintasi perbatasan nasional suatu negara dalam konteks tumbuhnya “global cities” atau daerah urban global, ataupun wilayah penyangga perkotaan untuk mendukung pesatnya perindustrian.
Semua fenomena migrasi sosial ini tentu menimbulkan dampak yang signifikan, utamanya pada tatanan sosial yaitu terhadap struktur keluarga muslim di Asia Tenggara. Nilai – nilai hidup berkeluarga sesuai tuntunan Islam telah semakin memudar, sehingga muncullah bentuk-bentuk keluarga yang tidak lagi berada pada koridor Islam, semacam :
·         Bentuk keluarga urban dimana suami istri bekerja, sementara pengasuhan anak diserahkan pada pembantu,
·         Bentuk keluarga migran yang anggota keluarganya hidup jauh terpisah,
·         Bentuk keluarga sambung (patchwork family), karena pernikahan baru, setelah sebelumnya terjadi perceraian, dan
·         Bentuk keluarga single parent akibat hubungan tanpa pernikahan, dan sebagainya
Semua itu merupakan dampak dari migrasi sosial akibat tuntutan sosial ekonomi yang tidak bisa dihindari. Akibat yang paling menakutkan adalah rusaknya generasi, karena perhatian kaum ibu terforsir pada pekerjaan yang seringkali menuntutnya terpisah jauh dari anak-anaknya.

b.   Serangan Budaya
Jika di negeri Barat, tantangan besarnya adalah pelarangan busana Muslimah yang identik dengan identitas Islam. Maka di Indonesia justru adalah bergesernya nilai busana Muslimah dari sebuah kewajiban yang melekat pada identitas Muslim, menjadi hanya sekedar trend/ gaya hidup yang bisa berdampingan dengan budaya kebebasan.
Sebenarnya bukan tanpa alasan jika Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC) bersama pemerintah dan para pelaku industri mode menargetkan Indonesia sebagai kiblat mode muslim dunia pada 2020. Sebab saat ini Indonesia tercatat memiliki tingkat ekspor busana muslim yang besar ke negara-negara muslim seperti Malaysia, Turki, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lainnya di Timur Tengah (okezone.com, 10/10/2011).
Industri busana muslim di Indonesia seolah sengaja terus didorong untuk menarik perhatian dunia, dimana rancangan busananya dibuat jauh dari kesan kaku yang menggabungkan implementasi tren fashion terkini dan unsur budaya lokal. Walhasil, dorongan mengenakan busana muslimah bukan lagi dorongan Taqwa, melainkan lebih kepada seni dan tren masa kini yang mendukung gaya hidup permisif dan pluralis.
Imbas serangan budaya pada bidang kesehatan juga tidak kalah mengerikan. Terbukti di penghujung tahun 2011 kemarin, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara. Ketua BKKBN Sugiri Syarief mengungkapkan ada 26.400 jiwa pengidap AIDS dan 66.600 jiwa positif terinfeksi HIV. Yang mencemaskan, 70 % penderita HIV/AIDS adalah kategori usia produktif (20 – 39 tahun). Penularan penderita HIV/AIDS pada kalangan ibu rumah tangga di DKI Jakarta dan Jawa Barat pun meningkat tinggi. Reportasi harian Kompas mengungkapkan bahwa penyebab penyebaran tertinggi adalah dari seks bebas (76.3%). Kebebasan seksual adalah buah pemikiran liberal yang mendewakan HAM, dan ini adalah bentuk nyata dari serangan budaya kepada umat Islam di Asia Tenggara.


[1] Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Edisi Mu’tamadah, 2009, hal. 157
[2] Idem, hal. 163
[3] Idem, hal. 164
[4] Laporan RAND, Indonesia's Transformation and the Stability of Southeast Asia, 2007
[5] Laporan RAND, Building Moderate Muslim Network, 2007
[6] Idem, Bab VII
[7] Chris A.Wade, Muslim Women And Women’s Organizations: Allies In The War Of Ideas (2007)
[8] Data diolah dari UN Gender Info 2010 http://www.devinfo.info/genderinfo/ dan laporan Mapping The Global Muslim Population 2009 dari PEW Research Centre
[9] John L. Esposito, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, Mizan Pustaka, 2011

No comments:

Post a Comment