Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Wednesday, May 10, 2017

BLUNDER REZIM “POLITICAL ANIMAL” (Menyoal Pembubaran HTI – Bagian Pertama)

Oleh: Fika Komara *)


Sebulan sebelum pernyataan resmi rezim Jokowi untuk membubarkan HTI, Kwik Kian Gie dalam tulisannya di Kompas 3 April 2017 berjudul Negarawan dan Politikus menguak keprihatinan betapa Indonesia adalah negara yang minus negarawan, yang justru dikelilingi para political animal. Apa bedanya negarawan dan political animal? Kwik Kian Gie menjelaskan bahwa Negarawan adalah orang yang tujuannya murni ingin menyejahterakan rakyatnya secara berkeadilan. Sementara political animal menggunakan arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Hidayat Banjar dalam Harian Analisa (11/04) juga memperdalam diskursus ini. Bagi hewan politik, tak ada yang lebih penting selain kepentingan. Juga tidak ada yang namanya ideologi, visi, misi dan nilai-nilai (vision, mission, value: atau vmv).

Tulisan ini mencoba menjelaskan hubungan antara kebijakan kontroversial rezim Jokowi membubarkan HTI dengan diskursus political animal dan negarawan - dalam dua bagian. Bagian pertama menganalisis blunder besar rezim Jokowi dalam membubarkan HTI, bagian kedua kemudian membahas penyebab lack of capacity rezim akibat langkanya negarawan di Indonesia.


Blunder Rezim Political Animal
Istilah hewan politik dalam terminologi Islam dikenal dengan sebutan Ruwaibidloh (penguasa bodoh), penguasa seperti inilah yang diingatkan Rasulullah SAW kepada kita sejak 14 abad lampau,
» سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ» [رواه الحاكم في المستدرك، ج 5/465]
Akan datang kepada kalian masa yang penuh dengan tipudaya; ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, Rruwaibidhah akan berbicara.” Mereka bertanya, “Apakah itu ruwaibidhah?” Rasulullah berkata, “Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.” (HR Ibnu Hakim dalam Mustadrak).

Hadits ini menjelaskan tentang kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera Jahiliyyah. Menyeru kepada ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti Kapitalisme, Sosialisme, Sekularisme, Liberalisme, Demokrasi. Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik dan hina. Mereka bukanlah orang yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur, tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai mengklaim.

Dalam konteks pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, maka terlihat jelas karakter rezim ruwaibidloh di Indonesia yang anti-Islam, kalah secara intelektual, dan gegabah dalam langkah. Narasi yang mereka ajukan untuk membubarkan HTI adalah demi mencegah berkembangnya ancaman terhadap keutuhan bangsa, perpecahan dan bertentangan dengan konstitusi negara dimana komitmen kebangsaan HTI dipertanyakan karena mengusung isu tentang negara Khilafah. Namun setidaknya akan kita jumpai 4 (empat) blunder besar dari narasi kebijakan pembubaran HTI ini :

1.       Gegabah menyalahi prosedur Undang-undang
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah tidak begitu saja dapat membubarkan ormas berbadan hukum dan berlingkup nasional, kecuali lebih dahulu secara persuasif memberikan surat peringatan selama tiga kali, ini berdasarkan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jika langkah persuasif tidak diindahkan, barulah Pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk membubarkan ormas tersebut ke pengadilan. Dalam sidang pengadilan, ormas yang ingin dibubarkan oleh Pemerintah tersebut, diberikan kesempatan untuk membela diri dengan mengajukan alat bukti, saksi dan ahli untuk didengar di depan persidangan. Keputusan pengadilan negeri dapat dilakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Sementara Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menegaskan dalam keterangan persnya tidak pernah sekalipun ada surat peringatan resmi kepada HTI selama ini. Pemerintah langsung melakukan jumpa pers sepihak di media bak ingin menggiring opini umum bahwa HTI adalah gerakan subversif.

2.       Mengaku Demokratis, namun bergaya Tiran Despotis
Noorhaidi Hasan, guru besar politik Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, menilai rencana pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sebuah blunder besar. "Pemerintah tampaknya bikin blunder besar dengan membubarkan HTI," katanya melalui pesan singkat kepada Tempo, Senin, 8 mei 2017. HTI, kata penulis buku Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (2006), tidak melakukan langkah-langkah sistematik untuk meruntuhkan kekuasaan. "Menurut Noorhaidi, HTI tak perlu dibubarkan. "Di Belanda saja HTI boleh. Kita malah ikut-ikutan negara otoritarian seperti Yordania dengan membubarkannya," kata dia. Noorhaidi menilai, jalan demokrasi yang dirintis dan dipertahankan sejak reformasi, termasuk ketika menghadapi kelompok radikal, rupanya sudah perlahan-lahan ditinggalkan. "Saya khawatir otoritarianisme kini sedang mengintai kita kembali. Kalau main membubarkan tanpa proses hukum, itu jelas namanya otoritarianisme."
Hizbut Tahrir sungguh secara konsisten menolak konsep dan falsafah demokrasi, tapi juga bukan berarti menyetujui otorianisme justru lantang menolak dan menelanjangi keburukan semua sistem non Islam. Hizbut Tahrir selalu konsisten dengan pandangannya, tidak seperti rezim Jokowi yang mengaku demokratis tapi berlagak despotis.

3.       Lempar Batu Sembunyi Tangan
Narasi bahwa HTI tidak punya komitmen kebangsaan perlu kita kuliti. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan : “Sekarang ada ormas dan aparat negara mengklaim Pancasila tapi korupsi luar biasa. Menjual belikan tata ruang tambang bisnis yang lain dan itu menimbulkan kemiskinan dan memperkuat budaya suap dan merusak Pancasila. Itu merusak NKRI itu harus ditindak tegas,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas seperti diberitakan merdeka.com, Senin (8/5). Busyro beranggapan, isu dan langkah pembubaran ormas yang akan dilakukan pemerintah merupakan bagian dari kepentingan politik. Isu pembubaran, kata Busyro, jangan sampai hanya untuk pengalihan konsentrasi masyarakat untuk mendapatkan edukasi politik jelang Pemilu 2019.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menyoroti praktik politik transaksional yang mendasari perekrutan dan seleksi pemimpin lembaga negara. Praktik politik yang berbiaya tinggi, bahkan sejak pemilu, membuat DPR yang bertugas menyeleksi para pemimpin lembaga negara sering kali tidak lepas dari cara-cara transaksional. Pada akhirnya, praktik transaksional itu melahirkan sosok individu yang pragmatis yang tak lagi punya panggilan luhur untuk melayani negara, tetapi semua dihitung secara kalkulatif untung rugi perut sendiri.
Sungguh mengherankan HTI yang tanpa lelah belasan tahun memperjuangkan hak rakyat, menolak liberalisasi migas, lantang menolak Papua lepas dari Indonesia, menolak kenaikan BBM dan TDL, menolak Freeport, LGBT, dan perdagangan bebas yang mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan kesejahteraan rakyat justru dituding sebagai ormas anti-Pancasila yang tidak punya komitmen kebangsaaan. Apalagi HTI tidak pernah terlibat kasus korupsi, makan uang negara ataupun berebut proyek negara. Siapa sebenarnya yang anti-Pancasila?

4.       Bias dan Islamophobia
Narasi bahwa ide Khilafah yang diusung HTI dianggap bertentangan dengan dasar negara telah merebak ke sejumlah komunitas, termasuk perguruan tinggi direspon oleh Menristekdikti dengan meminta para rektor untuk mencegah radikalisme di kampus. Permintaan itu berlangsung dalam acara Deklarasi Semangat Bela Negara di UNNES Sabtu 6 Mei, dua hari sebelum pernyataan resmi pemerintah akan membubarkan HTI.

Merespon seruan ini Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, dengan tajam mengemukakan pandangannya bahwa seruan ini tidak berpijak pada analisis sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme.
Pertama radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia radikalisme hampir selalu dikaitkan langsung dengan Islam walau ini tidak dinyatakan secara terus terang. Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian kebenaran. Radikalisme terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara mayoritas Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu. Kedua, penyebab kemunculan paham radikal itu hanya satu yaitu ketidakadilan dan ketimpangan. Jadi sikap radikal itu bukan sebab, tapi akibat dari ketidakadilan dan ketimpangan yang dibiarkan terus terjadi oleh para penguasa yang seharusnya justru menegakkan keadilan. Ketiga, sekulerisme -sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik- yang dianut banyak negara-bangsa adalah paham radikal. Setiap isme yang bergelora dan inspiratif selalu bersifat radikal. Biasnya definisi radikalisme dalam seruan pemerintah, dan kentalnya aroma Islamophobia pada kebijakan deradikalisasi serta kontroversi pembubaran HTI jelas terbaca.


Demikianlah blunder rezim political animal yang nampak jelas putus asa membungkam gelombang dukungan masyarakat Indonesia terhadap Syariah dan Khilafah yang menggema di seluruh nusantara. Dari tahun ke tahun suara yang merindukan Syariah Islam kian nyaring terdengar. Meski media-media sekuler sangat minim meliputnya. Hipokrasi terang-terangan yang ditunjukkan oleh rezim political animal di Indonesia untuk membungkam HTI ini hanyalah bukti lain dari kegagalan sistem sekuler Barat dan penjelasan mengapa semakin banyak umat Islam menolak demokrasi sekuler dan memeluk Islam sebagai sistem yang mampu menentukan masa depan politik, ekonomi, dan sosial mereka.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaf 61:8)


*) Penulis adalah Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir untuk Asia Tenggara dan penulis Buku “Menjadi Muslimah Negarawan”


No comments:

Post a Comment