Pendekatan Geopolitik dalam studi kawasan Dunia Islam, adalah pendekatan yang sama sekali baru, karena sebenarnya pendekatan ini lahir dan berkembang akibat kepentingan imperialisme dan kolonialisme abad ke-18. Sejak kelahirannya bersama risalah Muhammad Saw, umat Islam selalu dalam kondisi satu, bukan hanya satu kesatuan Aqidah (kepercayaan) tetapi juga satu kesatuan sistem kehidupan. Sementara paham nasionalisme yang tumbuh di Dunia Islam adalah realitas baru bagi pemetaan kawasan Dunia Islam.
L. Stoddard, pengarang buku “the New World of Islam” yang terbit sekitar 1920-an mengatakan dengan nada yang provokatif “Seluruh Dunia Islam dewasa ini sedang mengalami pergolakan yang maha dahsyat! 250.000.000 umat Islam yang tersebar antara Maroko dan Tiongkok, antara Turkestan dan Konggo, sedang bergerak menuju ide baru, stimulan baru dan aspirasi baru, satu perubahan maha dahsyat yang kelak akan dirasakan oleh seluruh umat manusia!.” Perubahan besar yang dimaksud adalah “nasionalisme”.
Padahal sebelumnya Umat Islam adalah umat yang satu, dimana sekitar abad ke-8 hingga abad ke- 18, kepemimpinan dan pusat pemerintahannya berada di bawah satu sistem kekhalifahan (the super state). Sekarang, dengan jumlahnya yang lebih dari 1 milliar, umat Islam sekarang berada di masing-masing wilayah kebangsaannya, menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri, menerapkan aturan agama mereka berdasarkan persoalan yang ada di lingkungan masing-masing.
Hal ini terjadi sejak masuk dan berkembangnya imperialisme Barat di dunia Islam, terutama sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20, yang ternyata secara tidak langsung telah menumbuhkan semangat fragmentasi politik di kalangan umat Islam. Khususnya dalam semangat kebangsaan di masing-masing wilayah dunia Islam. Secara langsung, imperialisme Barat di dunia Islam, telah melahirkan rangsangan yang sangat signifikan bagi terbentuknya paham nasionalisme, termasuk juga tentang konsep-konsep pemerintahan dan sistem parlemen yang dikembangkan.[1]
Merujuk pada Ajid Thohir, dengan menggunakan pendekatan regionalisme budaya yang didasari etno linguistik-historik, secara general juga bisa ditentukan corak ragam perbedaan kawasan Dunia Islam. Dimana setelah paham nasionalisme masuk ke Dunia Islam maka terbentuk pemetaan baru secara spesifik yang dipotret dan dikaji dari perspektif nasionalismenya, dengan pendekatan yang menitikberatkan pada batasan-batasan wilayah, administrasi politik, perkembangan dan potensi daerah, serta pembangunan dan penduduk yang ada di dalamnya. Konsep regionalisme budaya yang didasari pada studi nasionalisme (negara-bangsa) Dunia Islam semakin memperjelas objek kajian wilayah Islam secara objektif dan spesifik.
Kawasan Dunia Islam dibagi ke dalam 5 (lima) tipologi kawasan, yaitu :
1) ETNIS ARAB / KAWASAN TIMUR TENGAH
Timur Tengah (Arab Saudi, Syria, Libanon, Yordania, Yaman, dan Irak)
2) ETNIS PERSIA /KAWASAN IRAN -SEMENANJUNG INDIA
Irano-Persia (Iran, Afghanistan, dan Pakistan)
3) ETNIS TURKI / KAWASAN EURASIA
Eurasia; Eropa dan Asia (Turki Modern, negara-negara Balkan, dan etnik Turki di Asia Tengah dan Timur)
4) ETNIS NEGRO / KAWASAN AFRIKA
Afrika Hitam (Afrika Timur, Afrika Barat, Afrika Selatan, Afrika Utara, Aljazair, Maroko, Sudan, dan Lybia)
5) ETNIS MELAYU / KAWASAN ASIA TENGGARA
Asia Tenggara (Malaysia, Brunei, Muangthai, Filipina, Kamboja, Singapura, dan Indonesia).
Fika MK
My Geostrategic Passion is just for Islam...
My Geostrategic Passion is just for Islam...
[1] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, Rajawali Pers, 2009
No comments:
Post a Comment