Membantah pemikiran Olivier Roy : "No Geostrategy of Islam"
oleh : Fika M. Komara
Sebenarnya tulisan review ini sudah cukup lama, yaitu awal tahun lalu (2010), ditulis oleh seorang pengamat Jerman bernama Loay Mudhoon. Modhoon menulis review tentang buku Olivier Roy seorang profesor dibidang Islamisme asal Prancis yang berjudul The Politics of Chaos in The Middle East (2008).
Yang menarik bagi penulis sebenarnya adalah judul review itu sendiri yang berbunyi NO GEOSTRATEGY OF ISLAM, judul ini sangat provokatif dan menarik untuk diulas lebih jauh.
Modhoon secara implulsif berusaha menggambarkan pemikiran Olivier Roy tentang penolakannya terhadap adanya persepsi bahwa dunia Islam adalah satu kesatuan entitas geopolitik, bahkan Modhoon menulis "there is no such thing as an "Islamic world" in the sense of a single geopolitical entity at all; that, for him, is an image that is purely a "figment of the imagination".
Poin-poin pemikiran Olivier Roy yang bisa ditangkap dari ulasan review Modhoon ialah :
1. Roy menolak adanya Geostrategy Islam karena menurutnya sebagian besar konflik di Timur Tengah berlangsung di antara kalangan Muslim itu sendiri, sementara mayoritas rezim-rezim Islam saat ini menganggap mereka adalah sekutu Barat.
2. Roy juga berusaha membedakan antara jaringan teroris yang beroperasi skala global (seperti Al-Qaeda) dengan aktor Islam yang memiliki agenda lokal / nasional terbatas (seperti Hizbullah / Hamas), karena itu menurutnya aktor- aktor Islam hanya akan menjadi sebuah ancaman jika hanya dalam kondisi khusus. Pada bagian kedua ini Roy mengajak semua untuk melihat detil konflik internal setiap negeri Muslim yang beragam, sehingga baginya semakin jelas bahwa tidak ada yang namanya "benturan peradaban" antara Islam dan Barat atau Geostrategy of Islam dalam skala global.
Dua poin besar ini harus kita tinjau ulang dengan kacamata yang lebih komprehensif.
(1) Bantahan pertama dan utama jelas bahwa Roy samasekali mengabaikan aspek historis Dunia Islam yang sangat kuat. Roy mungkin lupa selama berabad-abad Dunia Islam sudah hidup sebagai kesatuan entitas geopolitik baik secara kultural maupun struktural, dan warisan kulturalnya masih bersisa dengan kuat dan mengakar di semua lapisan umat, apalagi dlm masyarakat muslim Timur Tengah
(2) Secara kultural, dalam masyarakat Islam, ikatan Aqidah, agama, dan ummah merupakan bangunan utama loyalitas dan komitmen, sedangkan ikatan negara-bangsa kurang begitu signifikan. Dalam Islam, ide tentang kedaulatan negara-bangsa sebenarnya bertentangan dengan kepercayaan terhadap kedaulatan Allah dan kekuasaan tertinggi (primacy) Ummah. Bahkan pada gerakan revolusioner, kalangan fundamentalisme Islam menolak sistem pemerintahan negara-bangsa dalam kaitan dengan unitas Islam sebagaimana Marxisme menolak unitas proletariat internasional.
(3) Secara empiris, sebagian besar masyarakat Muslim masih sangat menginginkan adanya institusi pelindung umat secara politis, sebuah survey yang dirilis oleh Universitas Maryland (2009) merupan indikator empirik yang tak terbantahkan. Dimana sebagian besar umat Islam di Mesir, Indonesia, Turki, Pakistan, Moroko, Palestina, Iran, dan Azerbaijan menginginkan Khilafah the Super State dan menolak konsepsi negara bangsa. Khilafah inilah yang akan menyatukan mereka dalam satu kesatuan struktural geopolitik bukan hanya kultural.
(4) Roy juga lupa mencermati bahwa sesungguhnya konflik yang terjadi di antara dunia Islam adalah konflik antara elit penguasa dengan rakyatnya. Dimana elit penguasa (baca : rezim) negeri-negeri Muslim kebanyakan adalah penguasa boneka yang tunduk kepada kepentingan Barat. tidak banyak aktor negara (state actor) dari dunia Islam yang memiliki independensi sikap politik, melainkan hanya segelintir saja. Di mata elit AS, masih terlihat bahwa sebagian besar negara Islam memiliki karakter a-politis, yang moderat dan pro barat seperti pemerintahan Saudi, Mesir, Tunisia, Turki, Pakistan,dll.
Sehingga kesimpulannya umat Islam sebenarnya masih memiliki ikatan geopolitik yang kuat meski hanya sebatas kultural, karena secara struktural aspirasi dan keinginan umat untuk bersatu terhalang oleh rezim-rezim boneka yang berkuasa. Hal inilah yang sering membuat kabur penglihatan sebagian besar pengamat Barat.
Kalau mau dilihat lebih jernih arena kontestasi Islam dengan Barat di abad 21 ini, interaksinya memang kian kompleks, karena Dunia Islam lebih banyak diwakili oleh aktor-aktor non negara (non state actor) sedangkan Barat punya kekuatan aktor negara. Sehingga Benturan Peradaban jelaslah ada, meski terjadi secara asimetris.
Fika MK -
My Geostrategic Passion is just for Islam...
No comments:
Post a Comment