GEOSTRATEGI PERTAHANAN JEPANG
Oleh : Fika M. Komara
Visi pertahanan Jepang adalah menjaga dan mempertahankan survival Jepang serta selalu menjadi sekutu AS. Proses penentuan sistem pertahanan Jepang selalu dikaitkan dengan perkiraan ancaman terhadap wilayah Jepang berdasarkan kondisi perkembangan keamanan di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Semenanjung Korea (ancaman nuklir Korea Utara) dan kawasan laut di Selat Malaka serta Selat Taiwan, merupakan wilayah strategik yang harus dipertahankan dan diperjuangkan stabilitas keamanannya.
Prinsip dasar yang mempengaruhi orientasi kebijakan pertahanan dan pengembangan kekuatan militer Jepang, bertitik tolak dari penafsiran pasal 19 konstitusi 1947 Jepang -dikenal sebagai doktrin Yoshida- yang membatasi wewenang militer Jepang agar hanya memiliki kekuatan minimum untuk keperluan mempertahankan diri saja. Akibatnya keamanan dan survival Jepang sangatlah tergantung dari jaminan security AS, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam “US-Japan Mutual Security Treaty” (MST). Kebijakan ini untuk selanjutnya merupakan identitas politik Jepang menghadapi perkembangan regional maupun global.
Meski awalnya kemampuan angkatan laut Jepang dibatasi oleh konstitusinya hanya untuk peran defensif, tetapi kemudian kondisi ini telah berkembang dari waktu ke waktu, karena menanggapi permintaan Amerika untuk berbagi beban (burden sharing).
Tahun 1997, dicapai kesepakatan yang disebut “US-Japan Defense Guideline” yang menetapkan “comprehensive planning mechanism” yang lebih menekankan kerjasama bilateral yang bukan hanya terfokus pada pertahanan wilayah Jepang saja, tetapi juga untuk mengantisipasi gangguan keamanan regional. Lalu akhirnya pada bulan Juli 2005 majelis tinggi Jepang berhasil mengesahkan amandemen undang undang yang memberi wewenang kepada menteri pertahanan Jepang untuk memerintahkan militer Jepang menembakkan peluru kendali penangkal, apabila ada ancaman serangan peluru kendali dari luar, tanpa harus memberitahu terlebih dahulu kepada perdana menteri.
Tahun 2006, pemerintah Jepang berhasil menyusun rancangan undang-undang untuk mempersiapkan pembentukan kementerian pertahanan. Penggantian nama “self defense agency” menjadi “ministry of defense” yang dipimpin oleh seorang menteri kabinet, sebagai tanda dimulainya proses transisi yang menjadikan “pasukan beladiri Jepang” (Self Defense Force) sebagai angkatan bersenjata reguler, yang tentunya akan segera diikuti dengan pengembangan kebijakan politik pertahanan dan sistem persenjataan pertahanan Jepang.
Sebagai negara maju, pasukan bela diri Jepang (SDF) sebenarnya memiliki pasukan yang berkemampuan tinggi dengan peralatan yang berteknologi canggih. Jumlah keseluruhannya diperkirakan sebanyak 140.000 pasukan, 140 kapal angkatan laut dengan total bobot 398.000 ton dan memiliki sejumlah 480 pesawat terbang militer. Pasukan AS yang ditempatkan di Jepang dengan tugas utama melindungi wilayah Jepang saat ini sebanyak sekitar 21.000 anggota, yang didukung oleh sejumlah 130 pesawat terbang militer. Armada ketujuh AS yang juga berfungsi sebagai bagian dari sistem pertahanan Jepang, berkekuatan 40 buah kapal dengan total bobot 610.000 ton yang diperkuat dengan 70 pesawat terbang yang siap siaga di kapal induk.
Proses transisi sistem pertahanan Jepang ini telah meningkatkan sikap ketidakpercayaan yang sudah ada di antara China dan Jepang. Di masa depan, Wang Jisi mengingatkan bahwa dinamika hubungan Sino-Jepang akan terhambat oleh sejarah permusuhan dan nasionalisme antagonis yang belum terselesaikan. Jika hal ini tidak dikelola, maka akan dengan mudah berevolusi dari masalah politik menjadi krisis serius. [1]
Hubungan Jepang dengan Cina memang masih diwarnai oleh sikap masing-masing yang saling curiga dan saling tidak percaya, akibat sejarah hubungan kedua bangsa di masa lalu. Jepang dan China mungkin terlibat dalam pengembangan sebuah “quiet arms-race dynamic” atau sebuah dinamika perlombaan senjata yang tenang. Jepang berusaha untuk mengcounter angkatan udara, angkatan laut dan kemampuan rudal jelajah Cina yang baru dengan kekuatan-proyeksi asetnya sendiri.[2] Tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan militer yang saling berhadapan di Asia Timur, pada kenyataannya adalah antara China di satu pihak menghadapi Amerika Serikat dan Jepang di pihak yang lain.
Fika MK
My Geostrategic passion is just for Islam...
[1] Wang Jisi, ‘‘China’s Search for Stability with America,’’ hal. 44.
[2] Hughes, Japan’s Remilitarisation, p. 143.
assalamu'alaikum, afwan ukht ijin kutip pembahasan
ReplyDeletemasya Allah muslimah yang aktif dalam konteks ke-HIan, Barakallah