Kemunduran Geopolitik Amerika Serikat & Upayanya untuk Mempertahankan Hegemoninya di Asia
Oleh : Fika M. Komara
Amerika Serikat menghadapi tiga tantangan geopolitik di Asia: yang pertama adalah politik strategis di Timur Tengah Raya, kedua perjuangan untuk menanam pengaruh terhadap di level selatan negara-negara bekas Uni Soviet, dan yang ketiga adalah adanya pertumbuhan India dan Cina di Samudra Hindia. Yang terakhir tampaknya paling jinak dari tiga tantangan tersebut. China bukanlah musuh Amerika Serikat, seperti Iran, tetapi merupakan rekan pesaing yang sah. Sementara India adalah sekutu pemula. Dan kebangkitan angkatan laut India, segera menjadi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China, yang akan berfungsi sebagai penangkal ekspansi militer Cina.
Semenjak 2007, muncul diskursus pada banyak kalangan yang menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tengah mengalami kemunduran pengaruh secara perlahan dalam jangka panjang. Beberapa indikasi memperlihatkan itu. Perang Irak berfungsi sebagai konflik yang telah menyedot oksigen kebijakan luar negeri AS, sementara krisis keuangan global 2008 adalah merupakan sinyal dari berakhirnya model keuangan kapitalisme AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan pengamatan analis keamanan swasta Strategic Forecasting, Amerika tidak akan lagi berada pada kemampuan yang sama untuk menjadi pemberi bantuan bencana di laut Asia Tenggara. Dalam bencana berikutnya, kapal-kapal Amerika akan berbagi keunggulan dengan kapal-kapal dari Australia, Jepang, Korea Selatan, India, dan mungkin Cina. Betapa tidak, dalam beberapa dekade terakhir Angkatan Laut AS telah perlahan mengalami penurunan. Pada akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat memiliki 6.700 kapal. Sepanjang Perang Dingin memiliki sekitar 600 kapal. Pada 1990-an, setelah runtuhnya Tembok Berlin, telah lebih dari 350. Sekarang kita turun untuk kurang dari 280. Semua angka ini menunjukkan era unipolar Amerika di samudera-samudera dunia mulai memudar, khususnya di Samudera India dan Pasifik Barat dimana AS telah menguasai dua lautan itu selama lebih kurang 60 tahun. Hal ini terjadi karena Cina –pesaing Amerika di abad ke-21– semakin menerjemahkan kekuatan ekonominya menjadi kekuatan laut (seapower). [1]
Bagi Amerika Serikat, mencegah kekuatan baru yang bisa menyaingi hegemoninya adalah faktor konstanta dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Di Asia Timur, faktor ini bisa diterjemahkan dengan –antara lain- mencegah Weapon of Mass Destruction (WMD), juga penempatan pasukan Amerika Serikat di kala damai maupun perang yang tentu membutuhkan akses udara yang aman dan kebebasan navigasi di “strategic choke point” atau SLOC. [2]
Strategi maritim baru Angkatan Laut AS, yang diresmikan pada bulan Oktober 2007 di Naval College War, Newport Rhode Island menyatakan bahwa Angkatan laut AS mulai sekarang akan berupaya terus hadir secara berkelanjutan di Samudra Hindia dan Pasifik Barat yang berdekatan, tetapi tidak demikian di Samudera Atlantik."
Pernyataan "Visi dan Strategi" Korps Marinir AS, yang diresmikan pada bulan Juni 2008, sampai tahun 2025 juga menyimpulkan bahwa Samudera India dan perairan sekitarnya akan menjadi sentral teater dari konflik dan kompetisi global. Seiring dengan dominasinya yang terus berlanjut di Pasifik, AS jelas berusaha untuk menjadi kekuatan terbesar di Asia Selatan. Sinyal ini merupakan sebuah pergeseran strategi maritim yang bersejarah dan penting bagi Amerika Serikat, pergeseran jauh dari Atlantik Utara dan Eropa mengarah ke Asia Pasifik.
Karena itulah Amerika Serikat sebagai negara dengan kekuatan maritim terbesar, mengarahkan perhatian utamanya ke Asia Tenggara, dan secara praktis tentu memiliki multi kepentingan di Selat Malaka. Selain kepentingan ekonomi, Amerika juga punya kepentingan militer dan keamanan di Selat Malaka, jalur laut ini memang sangat kritis bagi pergerakan Angkatan bersenjata Amerika Serikat dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia.[3] Di sisi lain, dengan kontrol penuh terhadap Selat Malaka, Amerika Serikat juga bisa menghadang pengaruh China yang semakin besar di Asia Tenggara. Inisiatif keamanan maritim AS di Selat Malaka telah berusaha untuk membentuk sebuah peraturan yang membahas ancaman terorisme dan proliferasi senjata.
Oleh karena itu sebagai negara yang mempunyai kekuatan laut terbesar seperti Amerika Serikat, Selat Malaka merupakan jalur utama bagi mobilitas armada-armadanya dalam melakukan patroli di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. [4] Armada AS tersebut tidak hanya melewati Selat Malaka saja, tetapi secara tidak langsung sekaligus merupakan upaya AS untuk menjaga kepentingan AS dan menghadang pengaruh Cina di Asia Tenggara.
Walhasil Amerika Serikat sering mempermasalahkan keamanan selat Malaka karena kasus pembajakan yang terus meningkat, bahkan mereka memberikan penilaian bahwa negara pantai di Selat Malaka ini tak mampu menciptakan situasi aman bagi kapal yang lewat. Oleh karena itu mereka mulai ingin masuk lebih dalam untuk ikut mengendalikan keamanan Selat Malaka dengan mempromosikan kebijakan unilateral yang bernama PSI (Proliferation Security Initiative) dengan implementasi melaksanakan pemeriksaan terhadap kapal-kapal yang dicurigai mengangkut senjata pemusnah massal atau WMD (Weapon of Mass Destruction). Kemudian juga di bulan April 2004, komandan pasukan AS di Asia Pasifik memaklumkan Regional Maritime Security Initiative (RMSI) yang memungkinkan penempatan marinir dan pasukan AS di Selat Malaka untuk menjaga keamanannya. Meski menerima saran, bantuan perlengkapan dan pelatihan dari AS, Malaysia dan Indonesia menolak RMSI di Selat Malaka karena alasan kedaulatan. Thailand pun menolak penempatan pasukan AS di kawasan ini.
Ini adalah upaya gencar Amerika untuk menguasai Selat Malaka melalui kehadiran militernya, dengan mengembangkan opini bahwa Selat Malaka tidak aman gara-gara terorisme dan perompakan. Untuk menguasai Selat Malaka secara militer, Amerika dan kekuatan-kekuatan global di negara-negara maju, sepertinya tidak punya cara lain kecuali pengembangan opini bahwa Selat Malaka dan perairan laut Indonesia sekitarnya dalam keadaan tidak aman gara-gara meningkatkan perompakan dan terorirsme.
Fika MK
My Geostrategic Passion is just for Islam...
[1] Robert. D. Kaplan, China’s Two Ocean Strategy, dalam laporan China’s Arrival: A Strategic Framework for a Global Relationship, Center of New American Century, 2009
[2] Nur Rahmat Yuliantoro, Keamanan Selat Malaka : “Nafas Hidup” Sang Naga Versus “Kebebalan” Paman Sam, 9 Mei 2005
[3] Laporan RAND, Indonesia's Transformation and the Stability of Southeast Asia, 2007
[4] Mak Joon Num, “Unilateral and Regionalism: Working Together and Alone in the Malacca Straits”, ISEAS 2004
No comments:
Post a Comment