String Of Pearls : Strategi Geopolitik China Abad 21
Oleh : Fika M. Komara
Cina adalah kekuatan ekonomi baru di Asia Timur yang dinilai paling mampu mengimbangi sang adidaya Amerika Serikat. Dengan tingkat pertumbuhan tahunan dalam output ekonomi dan perdagangan luar negeri yang rata-rata hampir 10 dan 16 persen, berturut-turut, dari 1978 hingga 2000, kinerja ekonomi China telah membuat iri dunia. Meskipun terwujudnya kesejahteraan baru terjadi di daerah Cina pesisir, namun jumlah penduduk Cina yang hidup dalam kemiskinan absolut telah berhasil dikurangi lebih dari 200 juta jiwa selama era reformasi.
Setelah Mao Zedong meninggal pada 1976, maka reformis ekonomi Den Xiaoping muncul sebagai pemimpin China. Den Xiaoping banyak melakukan perubahan, melalui reformasi ekonomi yang mendorong masyarakat pedesaan untuk berani melakukan xiahai, atau “melompat ke dalam lautan bisnis.” Deng melakukan reformasinya dengan cara “menyeberangi sungai dengan merasakan batu-batunya” sebuah ungkapan China yang berarti melakukan selangkah demi selangkah. Di dalam usahanya untuk menemukan model pembangunan China, Deng Xiaoping banyak belajar dari Singapura dan bahkan mengunjungi negara Singa ini di November 1978. Perjalanan ini telah membuka mata Den dan menjadi titik balik bagi China.
Mulai tahun 1980-an China membangun tambang-tambang batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi. Selama tahun 1990-an China berpacu meningkatkan produksi gas alam dan minyak. Selama periode 1990-2003 China membangun jaringan pembangkit listrik baru yang modern. Infrastruktur dibangun, pelabuhan-pelabuhan kargo dibangun, demikian juga jalan raya, rel-rel kereta api serta bandara-bandara modern. Ratusan zona ekonomi juga ikut dibangun. Upaya modernisasi terencana yang terpusat ini masih berlanjut sampai sekarang. [1]
Setelah China mulai reformasi ekonomi pada tahun 1978, energy intensity (jumlah energi yang dibutuhkan per unit output) Cina meningkat secara dramatis. Pemerintah China terus melakukan langkah-langkah efisiensi energi seperti merubah industri berat padat energi menjadi industri manufaktur ringan. Namun, meskipun pemerintah China terus berharap bahwa keuntungan dalam efisiensi energi akan terus berlanjut, namun justru tren menunjukkan sebaliknya pada awal tahun 2002. Permintaan energi Cina tumbuh empat kali lebih cepat dari yang diperkirakan, naik dari 10 persen dari kebutuhan energi global pada tahun 2001 menjadi 15 persen pada tahun 2006. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh industri, yang sekarang mengkonsumsi lebih dari 70 persen dari total kebutuhan energi Cina. [2]
Faktor inilah yang mendorong Cina terus memodernisasi angkatan lautnya, guna menjamin keamanan pasokan energinya yang besar dari Timur Tengah. Anggaran militer China terus merangkak naik, angkanya mencapai 14,9 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2009 Pemerintah China menaikkan anggaran militernya mencapai 480,686 miliar yuan (70,2 miliar dolar AS), meningkat 62,482 miliar yuan dari 2008.[3] Kemudian pada tahun 2010, Pemerintah China meningkatkan lagi anggaran pertahanannya dengan besaran yang masih diperhitungkan, kemungkinan seperti yang di lansir sebuah lembaga riset perdamaian internasional di Stockholm itu, China akan menambahkan lagi sebesar 10% dari 84,9 miliar dolar tahun lalu untuk anggaran militer tahun 2010.
China saat ini tengah mengembangkan blue water navy yang kemampuannya dibentuk untuk mengamankan kepentingan suplai energi China, bukan hanya di seputaran Laut China Selatan tetapi juga sampai di Samudera Hindia dan Teluk Persia. Studi terhadap Cina menunjukkan bahwa strategi String of Pearls [4] yang diadopsi China merupakan strategi komprehensif untuk kepentingan keamanan suplai energi China, strategi ini membutuhkan modernisasi militer yang progresif. Karena itu untuk menjalankan strategi ini, China membutuhkan akses ke lapangan terbang dan pelabuhan. Rangkaian Mutiara (pearls) ini memanjang dari pantai daratan Cina melalui pesisir di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, dan ke pesisir Laut Arab dan Teluk Persia. Daftar mutiara (pearls) itu adalah sebagai berikut : fasilitas militer yang memadai di Hainan Island; landasan terbang darurat di Pulau Woody yang terletak di kepulauan Paracel sekitar 300 mil laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air yang dalam di Sittwe, Burma; pembangunan basis angkatan laut dalam Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di propinsi Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala di dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka. Strategi String of Pearls ini menggambarkan manifestasi pengaruh geopolitik China melalui upaya peningkatan akses ke pelabuhan dan lapangan terbang, mengembangkan hubungan diplomatik khusus, dan modernisasi kekuatan militer yang membentang dari Laut Cina Selatan melalui Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, dan masuk ke Teluk Arab. Dalam beberapa kasus, Cina banyak memberikan subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi bahwa fasilitas tersebut akan dibuat sesuai dengan standar kebutuhan China. [5]
Zhao Yuncheng, seorang cendekiawan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations bahkan mengatakan : “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Kesimpulannya ini diulangi oleh Presiden Hu Jiantao yang mengatakan bahwa “Malacca-dilemma” adalah persoalan kunci bagi keamanan energi China, karena sebesar 80 persen dari impor energi Cina melewati Selat Malaka, keamanan Selat adalah penting untuk pembangunan berkelanjutan ekonomi China. Hu memberikan isyarat bahwa sejumlah pihak (termasuk AS) telah berusaha memperbesar pengaruhnya di Selat Malaka dengan jalan mencoba mengontrol navigasi di Selat Malaka.
Pemerintah Cina juga merencanakan sebuah kanal di Tanah Genting Kra, di Thailand, untuk menghubungkan Samudera Hindia ke pantai Pasifik China, proyek yang mirip Terusan Panama dan lebih lanjut bisa membawa kemajuan kawasan ujung Asia pada keseimbangan kekuatan dalam mendukung Cina, dengan memberikan akses mudah kepada angkatan laut China yang berkembang dan maritim armada komersialnya ke sebuah kontinum samudera luas yang membentang sepanjang jalan dari Afrika Timur ke Jepang dan Semenanjung Korea.
Fika MK
My Geostrategic Passion is just for Islam...
My Geostrategic Passion is just for Islam...
[1] Robyn Meredith, The Elephant and the Dragon: The Rise of India and China and What It Means for All of U, 2007
[2] Dr. Joshua W. Busby, The Need for Power: Implications of Chinese Energy Security and Climate Change Policies for Sino-American Relations
[3] kata jurubicara parlemen China, Li Zhaoxing kepada para wartawan seperti dikutip AFP
[4] Christopher J. Pehrson (Juli 2006) dalam papernya String Of Pearls: Meeting The Challenge Of China’s Rising Power Across The Asian Littoral menggambarkan rangkaian String of Pearls : “ ...Each “pearl” in the “String of Pearls” is a nexus of Chinese geopolitical influence or military presence. Hainan Island, with recently upgraded military facilities, is a “pearl.” An upgraded airstripon Woody Island, located in the Paracel archipelago 300 nautical miles east of Vietnam, is a “pearl.” A container shipping facility in Chittagong, Bangladesh, is a “pearl.” Construction of a deep water port in Sittwe, Myanmar, is a “pearl,” as is the construction of a navy base in Gwadar, Pakistan.Port and airfield construction projects, diplomatic ties, and force modernization form the essence of China’s “String of Pearls.” The “pearls” extend from the coast of mainland China through the littorals of the South China Sea, the Strait of Malacca, across the Indian Ocean, and on to the littorals of the Arabian Sea and Persian Gulf...”
[5] Christina Y. Lin, Militarisation of China’s Energy Security Policy – Defence Cooperation and WMD Proliferation Along its String of Pearls in the Indian Ocean
No comments:
Post a Comment