Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sunday, August 21, 2011

GAGASAN KHILAFAH ISLAM DAN POLITIK NEGARA BANGSA

GAGASAN KHILAFAH ISLAM DAN POLITIK NEGARA BANGSA


Oleh : Fika Monika, M.Si



Gagasan Khilafah Islam (Islamic Caliphate) semakin nyaring terdengar dalam kancah opini internasional terutama semenjak satu dasawarsa terakhir, tepatnya saat insiden 11 September 2001. Pasalnya, jaringan Al-Qaeda yang dituduh paling bertanggungjawab atas serangan itu memiliki tujuan yang fenomenal, yaitu mengembalikan Khilafah Islam. Pergerakan Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden dengan tujuan mengembalikan Khilafah inilah yang ditulis oleh Charles Allen[1] sebagai karakter terorisme abad ke-21, karena kekuatannya melintasi batas negara dan menyebarkan pengaruh pada generasi muda Muslim dari berbagai negara, berikut kutipannya :


…we now face an enemy unmatched by anything we saw or experienced among terrorist groups of the twentieth century. Al-Qaeda is a cultlike organization drawing to it youthful adherents from Muslim countries and communities around the world with the objective of restoring “the caliphate,” which stretched at one time from southern Europe through Indonesia…[2]


Di luar jaringan Al Qaeda, ada juga kelompok Islam lain yang berada di garis depan dalam mempromosikan tujuannya mengembalikan Khilafah Islam. Salah satu kelompok itu adalah Hizbut Tahrir. Namun berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbut Tahrir tidak bisa terkategori sebagai kelompok teroris karena tidak pernah merestui penggunaan kekerasan dalam aktivitasnya.[3]


Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. [4]




SURVEY OPINI PUBLIK DUNIA ISLAM


Menguatnya gagasan Khilafah Islam ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi konsepsi negara-bangsa (nation state) yang selama ini diakui dalam hukum internasional. Meskipun baru berupa gagasan, tetapi realitas opini publik di dunia Islam menunjukkan kuatnya keinginan untuk mengembalikan Khilafah sangat signifikan. Sebuah survey yang dilakukan oleh Universitas Maryland dengan programnya WorldPublicOpinion.org menunjukkan bahwa dunia Muslim tidak bisa sepenuhnya menerima konsepsi negara bangsa begitu saja. Survey yang berjudul ”Public Opinion in the Islamic World on Terrorism, al Qaeda, and U.S Policies” dipublikasikan Februari 2009, ini dilakukan di beberapa negara besar dengan penduduk mayoritas Muslim yaitu Mesir, Indonesia, Turki, Pakistan, Moroko, Palestina, Iran, dan Azerbaijan. Survey ini menunjukkan mayoritas dukungan yang signifikan terhadap kembalinya Khilafah Islam; seperti 70% responden Mesir meyakini bahwa Mesir harus dihapus untuk menjadi bagian dari super state, 69% responden Pakistan setuju bahwa negara mereka harus dibubarkan untuk alasan yang sama, 67% responden Moroko juga menyatakan sikap yang sama, sementara responden Indonesia hanya mendukung 35%. [5]


Mayoritas responden juga cenderung meyakini bahwa sistem nation state sebagai konspirasi asing untuk melemahkan dan memecahbelah dunia Muslim. “Weaken and Divide” begitulah sebutan yang dipergunakan dalam polling tersebut untuk merepresentasikan tujuan dari strategi Amerika Serikat terhadap dunia Muslim. 87% responden Mesir menyatakan bahwa weaken and divide adalah tujuan Amerika Serikat terhadap dunia Islam, 62% responden Indonesia juga menyatakan demikian, Pakistan 74%, Moroko 78%, Palestina 87%, Iran 84%, Turki 82%, Yordania 80%, dan Azerbaijan 65%. [6]



THE END OF NATION STATES


Namun nampaknya tantangan besar bagi nation state bukan hanya dari Khilafah Islam, fenomena globalisasi dari aspek ekonomi juga sempat menjadi tantangan serius bagi entitas ini. Globalisasi yang ditandai dengan peningkatan yang tajam dalam perdagangan Internasional; investasi; arus kapital; dan kemajuan dalam bidang teknologi investasi, serta meningkatnya peran institusi-institusi multilateral bersamaan dengan semakin melemahnya kedaulatan negara, telah membuat seakan negara satu dan lainnya kehilangan batas-batas jelas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara–bangsa”, yang sama persis seperti ramalan Profesor Kenichi Ohmae didalam bukunya yang berjudul The End of Nation State. Dalam buku itu, Kenichi Ohmae mengatakan bahwa era globalisasi yang berwujud adanya perpindahan lintas batas yang cepat sekali dari Investasi, Industri, teknologi Informasi dan konsumen yang Individual – kemudian disebut 4 I - maka negara bangsa akan berakhir, dimana oleh Ohmae diprediksikan akan terjadi Nation of Corporations (bangsa perusahaan) dan State of Markets (negara pasar). [7] Contoh riil dari ancaman perpindahan lintas batas yang teramat cepat tersebut adalah perdagangan internasional ilegal yang terdiri dari lima bentuk yaitu perdagangan obat-obatan (drugs), senjata, hak milik intelektual, manusia dan uang. Keuntungan finansial yang sangat besar memotivasi kegiatan-kegiatan tersebut. [8]


Sementara John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox (1994) menyatakan bahwa dengan adanya globalisasi yang ditandai dengan demokratisasi, merupakan babak awal sejarah baru (the beginning of history), yaitu terpecahnya negara-bangsa menjadi unit-unit kecil, menurutnya demokrasi membesarkan dan melipatgandakan kearsetifan suku. Semakin banyak demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil unit atau bagian dari ekonomi global, inilah sebuah paradoks global. John Naisbitt pun menegaskan bahwa ide pemerintahan pusat adalah bagian penting dari sebuah pemerintahan kini sudah usang, ide negara dan perbatasan menjadi tidak lagi relevan, pendeknya semakin subur demokrasi semakin banyak negara. Bahkan, secara meyakinkan ia meramalkan bahwa jika pada dekade 1990-an jumlah negara bangsa mendekati 200 unit, maka menjelang tahun 2000 akan ada 300 negara, dan di masa depan angka ini akan terus membengkak mencapai 1000 negara. [9]


Penting untuk dicermati bahwa fenomena konektivitas global dan interdependensi dalam dua dasawarsa terakhir telah membawa dua konsekuensi ke hadapan entitas negara-bangsa yaitu “integrasi” dan “fragmentasi”. Integrasi bermakna pergeseran kedaulatan negara yang meninggi ke atas yaitu ke struktur transnasional, sementara fragmentasi menggambarkan menurunnya atau hilangnya kekuatan negara ke bawah beralih ke kelompok-kelompok subnasional. Sehingga kekuatan negara-bangsa bisa kehilangan kedaulatannya dari atas (ke aktor transnasional) ataupun juga dari bawah (ke aktor subnasional). Penyebabnya bisa sangat kompleks meliputi kondisi eksternal dan internal suatu negara, seperti menurunnya tingkat perang antar negara, ketidakmampuan untuk menjamin keamanan dalam negeri, ekonomi global, komunikasi global, dan berbagai ancaman transnasional, semua faktor ini menyumbangkan bagiannya dalam krisis legitimasi negara-bangsa. Bisa dibilang hari ini negara-bangsa telah kehilangan vitalitasnya, bahkan negara-bangsa tidak lagi mampu mengontrol pikiran setiap warga negaranya yang tidak lagi memberikan loyalitas pada bangsa dan negaranya. [10] Jean­Marie Guehenno menyebut fenomena ini sebagai “the common space of politics has lost its legitimacy”. Karena selama dua abad terakhir konsep bangsa dianggap sebagai sebuah kelaziman dan ide yang modern, juga karena seruan nasionalisme pernah menjadi mesin penggerak bagi proses dekolonisasi dunia. [11]



SEJARAH NEGARA BANGSA


Entitas negara bangsa lahir di tengah pergolakan politik dahsyat di belahan bumi Eropa pada akhir abad ke-18. Pergolakan ini dikenal dengan revolusi sistem ketatanegaraan yang menjungkirbalikkan entitas politik monarki yang bersimbiosis dengan institusi keagamaan -dalam konteks ini Gereja- menjadi entitas politik yang sama sekali baru dan cenderung menafikan dominasi institusi agama. Kekuatan paham nasionalisme kemudian pada perkembangannya tersebar ke seluruh dunia dan akhirnya juga mengilhami dunia Islam. Negara-negara Timur Tengah yang sebelumnya berbentuk Khilafah Islam (Ottoman Empire) dengan wilayah kekuasaan yang membujur dari barat; Mesir dan sekitarnya ke timur; Pakistan dan sekitarnya serta melintang dari utara; Austria, Hungaria ke selatan; sampai ke Yaman, harus terfragmentasi akibat menguatnya nasionalisme di internal umat Islam kala itu. Muncullah kemudian entitas-entitas politik baru yang bernafaskan negara-bangsa seperti Turki yang sukses merevolusi diri menjadi entitas sekuler di bawah panduan Mustafa Kemal Pasha (Attaturk), Irak, Iran, Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Suriah, Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon, dan lain sebagainya. Masing-masing dari negara ini memiliki kepala negara dan pemerintahannya sendiri-sendiri, tidak lagi sama ketika mereka dulu bergabung dengan Imperium Islam Turki di bawah satu kepemimpinan Khilafah. [12]


Selama dua abad terakhir konsep bangsa dianggap sebagai sebuah kelaziman dan ide yang modern. Bermula dari perjanjian Westphalian tahun 1648 yang merupakan tonggak terbentuknya sistem internasional dari negara modern yang berdaulat, dimana perjanjian itu mengakhiri perang tiga puluh tahun karena konflik agama di Eropa. Kemudian pada abad ke-18 hingga awal abad 20, nasionalisme menjelma menjadi pergerakan ideologi romantis yang mempunyai kekuatan pemersatu, bahkan saat Napoleon Bonaparte menggunakan kekuatan nasionalisme dengan levée en masse, maka pasukannya bisa menyapu seluruh Eropa.





DUA TANTANGAN TRANSNASIONAL

Dari dua tantangan transnasional di atas – Khilafah Islam dan Globalisasi Ekonomi –, maka kajian terhadap konsep negara-bangsa menjadi sangat penting dilakukan. Karena jika kita perhatikan dengan seksama setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, kerangka konsep negara-bangsa begitu banyak mendapatkan tantangan transnasional yang bersifat mengancam kedaulatan (sovereignity) negara-bangsa. Dasawarsa pertama yaitu sepanjang periode 1990-an, mulai datang tantangan serius dari fenomena globalisasi ekonomi. Sementara dasawarsa kedua yaitu memasuki abad ke-21 sejak 2001 hingga kini, kembali gagasan nation-state mendapat tantangan yang tak kalah serius dari propaganda terorisme global dan pergerakan opini tentang Khilafah Islam. Oleh karena itu kajian terhadap konsep negara-bangsa yang dikaitkan dengan sejarah umat Islam dan bagaimana sebenarnya sikap ajaran Islam terhadap nasionalisme, akhirnya juga perlu dilakukan. Hal ini sangat krusial, khususnya dalam menyikapi gagasan Khilafah Islam yang semakin meluas selama 10 tahun terakhir.


Dalam konteks Indonesia, kajian ini tentu sangat relevan karena bagaimanapun Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Apalagi realitas menunjukkan dukungan di dalam negeri pada gagasan Khilafah tidak mengalami penurunan. Hal ini diindikasikan pada bulan Agustus 2007, cabang organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional ketiga di Jakarta. Berbeda dengan konferensi yang pertama pada bulan Mei 2000, yang hanya dihadiri oleh sekitar 5000 peserta, maka Konferensi Khilafah Internasional 2007 dihadiri oleh sekitar 100.000 pesera dari 39 negara yang berbeda. Di lain pihak, Indonesia saat ini juga berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara-bangsa lemah yang bergerak menuju negara-bangsa yang gagal, seperti yang diungkap oleh Robert I. Rotberg. [13]


Pernyataan ini bukan tanpa dasar dan analisa pada kenyataan yang dihadapi Indonesia saat ini. Bangsa ini mengalami kompleksitas persoalan yang tidak bisa dipandang remeh. Di antara persoalan itu, seperti isu disintegrasi bangsa, hal ini ditunjukkan dengan konflik di daerah-daerah yang belum tuntas; ancaman terorisme, penegakan hukum yang ambivalen; pemberantasan KKN yang setengah hati; dan upaya perbaikan ekonomi yang belum menandakan keberhasilan.


Maka mengkaji ulang kelayakan sistem politik negara bangsa dalam kehidupan bernegara kita, adalah sebuah keniscayaan. Apalagi melihat tantangan-tantangan transnasional yang terus berkembang dan menguat, membuat banyak pihak mempertanyakan ulang kekuatan sistem politik negara bangsa. Ketika banyak orang dengan mudahnya melihat kemilau globalisasi sebagai suatu hal yang positif, maka seharusnya gagasan Khilafah Islam jangan dulu buru-buru dipandang sebagai sebuah ancaman bagi negeri ini. Bisa jadi justru Khilafah adalah solusi terbaik bagi negeri ini, mari kita diskusikan dengan semangat perbaikan negeri bukan dengan kacamata apriori!!


Fika MK
My Geostrategic Passion is just for Islam...



[1] Charles Allen is undersecretary for the Office of Intelligence and Analysis and chief of intelligence at the Department of Homeland Security. His career has included appointments as special assistant to the director of the Central Intelligence Agency (CIA) and as the CIA’s national intelligence officer for counterterrorism.

[2] Charles Allen, Terrorism in the Twenty-First Century : Implication for Homeland Security, The Washington Institute, 2008


[3] The Washington Institute, Presidential Task Force on Confronting the Ideology of Radical Extremist; Rewriting the Narrative An Integrated Strategy for Counterradicalization. Halaman 4-5.


[4] http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/apa-itu-khilafah/


[5] Kull, Stephen et al. “Public Opinion in the Islamic World on Terrorism, al Qaeda, and US Policies.” February 25, 2009. World Public Opinion.org. http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/feb09/STARTII_Feb09_rpt.pdf. Halaman 21


[6] Kull, Stephen, op cit., halaman 11


[7] Kenichi Ohmae, The End of Nation State : The Rise of Regional Economics, The Free Press, New York, 1995. Halaman 3-5.


[8] Bantarto Bandoro, Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 2003. Halaman 8-11



[9] Lili Romli, Tantangan Nasionalisme di Era Globalisasi, Jurnal Widya, halaman 28-29 www.katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../2267/2268.pdf


[10] Phil Howison, The Decline of Nation State, Victoria University, Wellington, New Zealand


[11] Jean-Marie Guéhenno, (diterjemahkan oleh Victoria Elliot). The End of the Nation-State, (Minneapolis, MN: U of Minnesota P, 1995), halaman. 12.


[12] Fahlesa Munabari, Negara-Bangsa dan Nasionalisme: Sebuah Refleksi, http://munabari.wordpress.com/2007/04/28/negara-bangsa-dan-nasionalisme-sebuah-refleksi/


[13] The New Nature of Nation-State Failure, http://www.twq.com/02summer/rotberg.pdf  dan Indonesia dalam Zona Bahaya ke Arah Negara yang "Gagal", Kompas, 28 Maret 2002

No comments:

Post a Comment