Visi Geospasial

Rasulullah Saw bersabda : “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya, dan aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepadaku”. (HR.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sunday, August 21, 2011

MITOS DAN BAHAYA DEMOKRATISASI DI NEGERI MUSLIM

MITOS DAN BAHAYA
DEMOKRATISASI DI NEGERI MUSLIM
 Oleh : Fika M. Komara, M.Si

WAJAH DEMOKRASI INDONESIA
Sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia dipandang paling berhasil melangsungkan demokratisasi di antara negeri-negeri muslim lainnya, setidaknya begitulah menurut penilaian Amerika Serikat  - sang kampiun demokrasi. Amerika Serikat memang mempunyai misi menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia. Inilah yang oleh O’Donnell dan Schmitter (1993) disebut praktik "ekspor" demokrasi oleh AS ke berbagai negara di dunia. Indonesia yang berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia untuk mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi ala Amerika (Barat). Keberhasilan Indonesia dalam konteks ini akan dipandang menjadi keberhasilan AS pula. Tentu bukan tanpa alasan kalau Hillary Clinton dalam kunjungan terakhirnya di Indonesia, memuji-muji negeri ini sebagai negara muslim demokratis terbesar dunia yang berhasil menggabungkan Islam dan demokrasi. Bukan tanpa alasan pula kalau negara Barat memberikan bantuan dana yang besar bagi suksesnya pemilu Indonesia termasuk menghadirkan pemantau asing.
Klaim dari Amerika Serikat tersebut sebenarnya patut kita pertanyakan, kalau tidak bisa kita sebut menyesatkan. Karena realitas perjalanan demokrasi di Indonesia justru sangat memilukan. Demokratisasi Indonesia pasca reformasi sudah ditandai dengan tiga kali ‘ritual’ pesta demokrasi (baca: pemilu) yaitu 1999, 2004 dan 2009. Dan potret keberhasilan Pemilu 2009 kali ini ternyata jauh panggang dari api, justru malah mengalami kemunduran dari pemilu-pemilu sebelumnya. Jauh sebelum dimulainya pemilu, sudah banyak kekhawatiran dari kalangan intelektual -yang akhirnya memang menjadi kenyataan- yaitu merosotnya angka partisipasi rakyat alias ’golput’. Ditambah kasus DPT yang juga sudah menghantui sejak babak awal Pemilu 2009 dimulai. Belum lagi ancaman konflik sosial yang meluas akibat besarnya peluang kegagalan para caleg dalam kompetisi pemilu legislatif.
Dan satu fakta yang paling menyedihkan adalah kekalahan partai-partai Islam yang hampir  pasti selalu terjadi setiap Pemilu di Indonesia, mungkin inilah yang disebut oleh Hillary sebagai keberhasilan Indonesia dalam menggabungkan Islam dan Demokrasi. Yaitu keberhasilan ‘meminggirkan’ Islam dari ranah politik bernegara. Tentu ada baiknya jika mengingat kutipan strategi Amerika Serikat dalam membangun karakter Islam Moderat; “Meski selalu ada potensi bahaya dari partai Islam terhadap kebebasan yang demokratis, jika kelak berkuasa, pelibatan partai-partai tersebut dalam institusi-institusi demokrasi secara terbuka dalam jangka panjang akan mendorong lahirnya sikap moderat” (RAND Project AIR FORCE)
Fenomena demokratisasi di daerah juga tidak kalah memilukan. Setelah lahirnya Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) seakan menjadi suntikan baru bagi partisipasi politik masyarakat. Tetapi sebenarnya terobosan otonomi daerah ini adalah sebuah kemunduran dalam berdemokrasi, seperti yang disampaikan oleh Muladi, ketua Lemhanas, yang menginginkan Gubernur di daerah ditunjuk langsung saja oleh presiden. Bayangkan, Pilkada harus berlangsung di 226 daerah, terdiri 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, dan menelan dana sekitar Rp1,25 triliun, suatu harga mahal tentunya yang harus di bayar oleh rakyat indonesia untuk bisa berdemokrasi di tengah kemiskinan yang melanda negeri ini. Pilkada Jatim 2008 saja menghabiskan dana Rp 830 miliar. Untuk daerah lain, Litbang Kompas mencatat, Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar; Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya tidak kurang dari Rp 500 miliar. Tentu ini belum biaya yang dikeluarkan masing-masing calon.
Kesimpulannya baik Pemilu maupun Pilkada yang dianggap sebagai indikator demokrasi di sebuah negara adalah sangat melelahkan dan menghabiskan biaya yang sangat besar. Secara umum rakyat Indonesia yang miskin harus mencoblos atau mecontreng 3 hari sekali dalam Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kalau terjadi sengketa, konflik dan anarkisme akibat Pilkada. Sungguh potret demokrasi yang sangat ironis.

KESABARAN YANG TERLALU NAIF
Kecacatan dan kelemahan demokrasi yang tercatat dalam sejarah reformasi di negeri ini, anehnya selalu mendapat pemakluman dan toleransi yang besar dari pemimpin negeri, bahkan juga dari sebagian besar intelektual dan tokoh masyarakat. Mereka berargumen bahwa bangsa ini masih ‘belajar’ berdemokrasi, bahwa saat ini Indonesia sedang melalui fase ‘transisi demokrasi’, dan bahwa usia demokrasi Indonesia masih sangat muda baru 11 tahun, dan sejumlah argumen lain yang terdengar klise. Toleransi dan harapan yang besar terhadap demokrasi seakan menutup mata mereka terhadap kerusakan yang ditimbulkannya. Mereka terus mengumandangkan bahwa bangsa Indonesia harus ‘bersabar’ dalam menjalani proses transisi demokrasi ini. Jadi, wajar jika masih terjadi kekurangan di sana-sini karena 'masih merupakan proses transisi demokratisasi'.  Begitulah argumen naif yang sering kita dengar berulangkali.
Pertanyaannya, apakah kesabaran itu harus diletakkan dalam kerangka ‘ketidakpastian’? apakah kita masih harus tetap bersabar, sementara tidak ada satupun jaminan/garansi bahwa demokrasi akan menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik? Pertanyaannya, sampai kapan proses transisi itu berakhir (never-ending process)?
Sebenarnya kalangan pakar dari Barat pun mengakui; bahwa tidak ada satupun jaminan yang bisa diberikan oleh demokrasi. Paham demokrasi sama sekali tidak bisa menjamin bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia, makmur, damai, dan adil. Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang paling demokratis, tak akan mampu memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut di muka. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan (Snyder, 2003).
Penelitian dari Jurnal LIPI, bertajuk “Kritik atas Determinisme dalam Model Transisi Demokrasi”, menyebutkan, fakta hanya sedikitnya negara yang “berhasil” dalam transisi. Sejumlah negara yang telah meninggalkan bentuk otoritarianisme ternyata masih jauh dari sebuah demokrasi, bahkan tanda-tanda surutnya demokrasi kembali ke bentuk otoriter masih terbuka. Kondisi terakhir ini persis terjadi di negara-negara Eropa Selatan (1970-an) dan Amerika latin (1980-an), sebagaimana yang digambarkan Guillermo O’Donnel, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (1986), dalam bukunya ”Transitions from Authoritarian Rule”.
Benang merah dari buku tersebut menyebutkan, transisi menuju demokrasi pasti mengalami rangkaian kemungkinan dan ketidakpastian (uncertainity). Ketidakpastian yang oleh Przeworski disebut sebagai ciri utama demokrasi yang menyesatkan.
Untuk itulah tulisan ini berusaha mengupas demokrasi secara lebih dalam, dengan tinjauan yang lebih komprehensif. Ada dua tinjauan penting dari demokrasi yang harus dikaji, yaitu demokrasi sebagai sebuah tatanan nilai (value) dan demokrasi sebagai perangkat sistem yang ‘dipasarkan’ Barat kepada dunia Islam, tinjauan terakhir ini lebih sering disebut dengan istilah ‘demokratisasi’ atau lebih spesifiknya Huntington mengistilahkan sebagai ‘gelombang demokratisasi ketiga’.

DEMOKRASI : TIDAK COMPATIBLE UNTUK NEGERI MUSLIM
Demokrasi lahir dari epistemologi sekuler, yang sangat bertentangan dengan Islam. Demokrasi lahir dilatarbelakangi oleh keberadaan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasakan kekuasaann-Nya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan untuk membuat hukum sekaligus menerapkannya. Dengan kata lain, seorang penguasa dianggap memiliki kewenangan untuk memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuatnya sendiri, karena kekuasaan mereka berpijak pada kekuasaan yang bersumber dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Akibatnya mereka secara leluasa menzhalimi rakyat. Akhirnya timbullah pergolakan dan konflik antara penguasa Eropa dengan rakyatnya. Dan muncullah gerakan reformasi Gereja yang menentang dominasi gereja, dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan serta menuntut kebebasan (feedom). Puncaknya adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang berujung pada sekulerisasi, yakni upaya kompromistik untuk memisahkan gereja dari masyarakat, negara dan politik.
Pada masa itu, pemikir Eropa mencari sebuah model agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan ataupun penguasa Gereja. Dan satu-satunya referensi mereka adalah pemikiran sejarah Yunani kuno, dimana dalam bahasa Yunani, kata ”demokrasi” berasal dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Gagasan demokrasi ini muncul dalam bentuknya yang masih sangat sederhana di Yunani Kuno sekitar abad ke-6 sampai abadke-3 SM dalam bentuk demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Sistem inilah yang dipilih oleh masyarakat Eropa pada masa itu, sebagai model sistem kenegaraan terbaik, setelah penderitaan panjang akibat tekanan kediktatoran sistem monarki feodal yang berkuasa berabad-abad di Eropa. Setidaknya begitulah anggapan mereka.
Jadi secara historisitas, demokrasi muncul karena Eropa saat itu mengalami masalah serius pada dua aspek yaitu (1) problem ajaran Kristen dan (2) problem kepemimpinan negara. Penjelasannya sebagai berikut:
(1)  Demokrasi jelas dilahirkan dari cara berfikir sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang sangat bertentangan dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang sempurna, tidak sedekar agama eskatologis (akherat oriented), tetapi juga agama dunia (dindunya dan daulah). Poin mendasar inilah yang membedakannya dengan Agama Kristen. Jadi sesungguhnya umat Islam tidak pernah mengalami masalah dengan agamanya seperti halnya masyarakat Eropa Kristen. Ciri mendasar dari kesekuleran demokrasi terdapat dalam dua poin, yaitu :
a.    Ide demokrasi yang sangat antroposentrik (berpusat pada manusia). Terlihat pada prinsip berikut yakni: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaan. Manusia bisa membuat sendiri hukum dan aturan kehidupan.
b.    Ide Kebebasan. Kebebasan invididu menjadi prinsip penting dalam demokrasi, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri tanpa disertai tekanan dan paksaan. Kebebasan individu ini, sesuai Deklarasi Universal HAM PBB pada tahun 1948 nampak dalam empat hal:
(1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan kepemilikan dan (4) kebebasan bertingkahlaku.

(2)  Demokrasi adalah solusi yang dipilih oleh peradaban Barat – Sekuler, karena trauma kegagalan sistem mereka pada aspek kepemimpinan negara. Sistem yang mereka miliki tidak berhasil mencetak sosok pemimpin sejati yang mengayomi rakyat. Karena itulah mereka selalu mempertentangkan antara konsep “Demokrasi” dengan “Otokrasi” juga dengan “Teokrasi”. Dari sini bisa kita pahami ketakutan mereka yang berlebihan terhadap sistem otoriter, termasuk pada kepemimpinan bersendikan agama. Sementara, umat Islam juga tidak pernah mengalami traumatik kepemimpinan yang sangat mendalam seperti halnya yang dialami oleh Barat.

ISLAM VS DEMOKRASI
          Salah satu pemikiran paling mendasar dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Bahwa rakyat (baca: manusia / makhluq) memiliki kekuasaan untuk membuat hukum (legislasi). Inilah hakikat demokrasi. Sebagai konsekuensi dari ide kedaulatan rakyat, rakyat melalui wakilnya dipandang memiliki hak untuk membuat konstitusi, peraturan dan undang-undang apapun. Sehingga dalam demokrasi semua standar dikembalikan pada akal manusia.
          Dalam kerangka pemikiran Islam, akal manusia memiliki keterbatasan. Akal tidak dapat menilai apakah sesuatu itu baik (khayr) atau buruk (syarr), terpuji (hasan) atau tercela (qabih). Manusia bukan al-Hakim. Hanya Sang Pencipta, Allah SWT saja yang memiliki kedaulatan untuk menentukan hukum. Ditambah lagi bahwa kesempurnaan Islam sebagai sebuah ideologi. Islam sebagai agama sekaligus mabda’ yang berbeda dengan yang lain. Islam bukan saja agama yang mengurusi masalah ruhiyyah (spiritual), akan tetapi juga meliputi masalah politik (siyasiyyah), lengkapnya Islam adalah akidah spiritual dan politik (al-aqidah ar-ruhiyyah wa as-siyasiyah).
          Kalangan Barat paham betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dalam pengertiannya yang hakiki tersebut. Karena itu negara-negara Barat (khususnya AS) berusaha memeasarkan demokrasi di negeri-negeri Muslim melalui kemasan yang penuh tipuan. Mereka memasukan demokrasi ke negeri Muslim, dengan propaganda bahwa demokrasi adalah alat/ metode terbaik untuk memilih pemimpin/ penguasa negara. Dan ditanamkanlah dalam benak kaum Muslim rasa apriori terhadap bentuk kekuasaan tunggal (otoritarian), kemudian kaum Muslim diperkenalkan kepada bentuk kekuasaan kolektif dengan sistem pembagian kekuasaan. Cara pemasaran Barat inilah yang kemudian dikenal dengan ‘proses demokratisasi’ atau ‘gelombang demokratisasi’.

DEMOKRATISASI : SEBUAH TEKNOLOGI PENJAJAHAN BARU
“Gelombang demokratisasi ketiga” (1974‐1990) begitu Samuel Huntington menyebutnya, seorang ilmuwan politik terkemuka abad ini. Sebenarnya semenjak dekade 1980‐an dunia internasional sudah menyaksikan gelombang demokratisasi baru yang dimulai dengan rontoknya sejumlah rezim otoritarian di kawasan Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan beberapa negara di Afrika. Gelombang demokratisasi ini merupakan agenda perubahan politik paling menyolok akhir abad 20, dengan keruntuhan Uni Sovyet sebagai klimaksnya.
Di negara‐negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti Indonesia, Argentina, Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) agenda kapitalisme-neoliberal atas nama demokrasi masuk, ketika negara‐negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi. Pada masa itulah melalui sejumlah agen‐agen utamanya semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme mulai masuk dan membuat sejumlah “penyesuaian struktural”. Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali disebut‐sebut dengan nada optimis yang meluap: transisi menuju demokrasi.
Proses ‘demokratisasi’ kemudian dimulai secara massif. Penguatan teoritik dan supply energi politik di kalangan negara liberal Barat meneguhkan kebijakan mereka untuk mempercepat laju gelombang demokrasi liberal ke negara-negara Selatan ataupun negara-negara yang belum menganut paham demokrasi liberal. Maka, berbagai program pun diluncurkan untuk menyokong perkembangan demokrasi dan pembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga yang sejalan dengan garis liberal dalam corak pembangunannya.

1.   Munculnya Program Good Governance
          Pelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy Initiative dari US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untuk membantu mendorong dan mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaan sistem politik yang legitimate di seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, World Bank mengintrodusir untuk pertama kali istilah “good governance”, sebagai doktrin pembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang segaris dengan demokrasi liberal. Doktrin ini meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki dari perspektif hak asasi manusia, tetapi juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan berkelanjutan. Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good governance, lantas menjadi tawaran baru bagi pembangunan negara di berbagai belahan dunia, terutama dunia ketiga.
Lembaga-lembaga donor internasional yang dikoordinatori UNDP sepenuhnya menyadari arti penting gelombang besar demokratisasi ini dalam mewujudkan sistem ekonomi dan politik global yang sustainable. Bahkan UNDP merumuskan arti penting dari peran tiga institusi makro: negara, pasar (ekonomi), dan masyarakat sebagai troika dalam membangun Good Governance (UNDP, 2000). Dalam konteks Indonesia, di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Indonesia pernah mendapatkan suntikan dana sebesar 300.000 dolar AS dari UNDP (United Nations Development Program) untuk menciptakan good governance (Cides online)
Good governance itu sendiri dikritik sebagai tipe demokrasi baru yang sebetulnya "pengemasan" paling berbahaya yang pernah dilakukan kelompok kapitalisme liberal untuk memasukkan agenda mereka dengan masuk langsung dalam sistem politik (me-manage satu negara), menghilangkan "peran negara", dan menggantikannya dengan "pasar" yang tersembunyi lewat kata "masyarakat sipil" (Leftwich: 1993, Gibson: 1993; Hadenius dan Uggla: 1990).


2.   Ritual Pesta Demokrasi (Pemilu)
Praktek Pemilu yang dikembangkan di dunia Islam saat ini khususnya Indonesia, tidak lain dan tidak bukan juga merupakan desain dari proyek demokratisasi good governance. Desain Pemilu ini lebih merepresentasikan model demokrasi elektoral-prosedural, pemaknaan demokrasi lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaan prosedur dan berbagai aturan main dalam pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagai esensi demokrasi, sementara kompetisi melalui pemilu diletakkan sebagai upaya inti untuk mengglobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini digambarkan melalui definisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan yang paling kuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat secara bebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikan suaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi oleh sistem politik manapun” (Diamond, 2003:3)
          Oleh karena itulah banyak sekali intervensi asing pada proses Pemilu di negeri ini. Untuk Pemilu 2009 ini, Indonesia mendapat bantuan sebesar 37,5 juta dolar Amerika. Dana itu digunakan bagi pemilu mulai dari proses sosialiasi hingga selesai. Pendanaan itu dikoordinasikan oleh UNDP (United Nations Development Programme). Dana itu berasal dari berbagai negara donor di antara-nya Inggris, Belanda, Spanyol, Amerika Serikat, Australia. Tercatat beberapa negara dan lembaga-lembaga interna-sional telah mendaftarkan diri di Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai tim pemantau pemilu 2009. Mereka yang telah men-dapatkan akreditasi dari KPU sebanyak tujuh lembaga yakni National Democratic Institute (NDI), International Foundation for Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foun-dation (Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission), The Carter Center, dan International Republican Institute (IRI).  Sebagian besar lembaga itu bernaung di bawah USAID. Juga ada delegasi Uni Eropa, Comelec Uni (KPU Philipines), KPU Afgha-nistan, KPU Timor Leste, Ausaid (Kedutaan Australia), Duta Besar Brunei Darussalam, dan Duta Besar Pakistan. 

KHATIMAH
Konsep demokrasi terbukti tidak pernah sesuai dengan realitas. Ide-ide demokrasi hanyalah mitos, ide khayalan, tidak realistis dan mustahil terwujud dalam tatanan kehidupan. Demokrasi tak akan pernah terwujud sampai kapanpun.
Karena sejatinya demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Agama dikerdilkan sebatas moral, ritual, kewajiban individual. Kalaupun bersinggungan dengan politik hanya sebatas nilai substansialnya saja seperti kejujuran, amanah, dan semacamnya. Berdasarkan prinsip sekuler ini, siapapun yang ingin menegakkan syariah Islam akan diserang dengan opini: Indonesia bukan negara agama, Indonesia bukan hanya milik umat Islam!
Propaganda demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri Islam.
Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. 


Fika MK
My Geostrategic Passion is just for Islam...
 

No comments:

Post a Comment